Khamis, 11 Julai 2013

Syarat,Jenis,Takaran dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah




احكام زكاة الفطر فى مذهب الشافعى
Hukum-Hukum Zakat Fitrah Dalam Madzhab Syafi’i

Syarat Wajib Zakat Fitrah
1.      Islam, artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang muslim
2.      Merdeka (bukan budak).
3.      Menemui sebagian waktu dari bulan Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan  dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau malam hari raya idul fitri.
4.      Memiliki kelebihan dari nafaqahnya sendiri dan orang-orang yang wajib di nafaqahi  di malam hari raya idul fitri dan siang harinya.   
Berkaitan dengan syarat wajib yang ke 3,maka apabila ada seorang muslim yang  meninggal dunia setelah  matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya .Lain halnya apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah. Adapun seorang bayi yang lahir sebelum  matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh orang tuanya.namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah). Demikian juga dengan laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri)  dia tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya.  Akan tetapi Kewajiban membayar zakat fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.
 Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang ke 4, maka apabila ada seseorang  muslim yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya, maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu). Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak,maka agar mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.[1]
Jenis , Takaran dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah
Seorang Muslim yang berkewajiban zakat fitrah ,maka ia harus mengeluarkan 1 sha’ atau 4 mud berwujud makanan yang di jadikan kekuatan tubuh yang biasa di gunakan di daerahnya ( makanan pokok.)[2] Di antara hadis yang menjelaskan tentang besarnya zakat fitrah yang wajib di keluarkan adalah :

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب[3]
Artinya:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur".(HR.Bukhari).

Pengertian hadis diatas adalah bahwa yang dimaksud Rasulallah SAW, dengan banyaknya fitrah itu adalah 1 sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab adalah nama ukuran atau takaran.
Dalam madzhab Syafi’i, jenis yang di keluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok bukan uang seharga makanan tersebut, dan juga harus sejenis tidak boleh campuran. [4]Apabila zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan I sha' dari makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok yang lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok daerah  terdekat.[5]
Menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan (693 1/3 dirham).[6]  Maka jika dikonversi dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram atau setara dengan 2,75 kg. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi,1 sha’ sama dengan (685 5/7 dirham).[7] Maka Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya sekitar 2176 gramatau setara dengan 2,176 kg atau kurang dari 2,5 kg. Secara umum masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan zakat fitrah sebesar 2,5 kg, sebagaimana keputusan  fatwa MUI pusat tahun 2003. Ini mungkin mencari pertengahan di antara berbagai pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha dalam masalah takaran ini, 
Sedangkan (MUI Prov Jatim tahun 2010) menyarankan umat muslim untuk mengelurkan zakat fitrah sebesar 3 kg. Pada zaman Rosulullah Muhammad SAW besarnya zakat ditentukan dengan 1 sha atau empat mud. Pada saat ini, setelah dialihkan dari mud menjadi kilogram maka terjadi perselisian penentuan besarnya satu mud menjadi ons. Ada ulama yang menyatakan 1 mud adalah 6 ons, sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan 1 mud 6,5 ons bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg, dan ada juga yang menyatakan satu mud 7 ons bila dikalikan empat maka 2,8 kg. Dari ukuran ini terjadi perbedabatan, dan ulama memberikan imbauan untuk mengelurakan zakat 3 kg, agar keluar dari perdebatan tersebut. Apabila berzakat menggunakan ukuran 3 kg, maka apabila ada kelebihan dianggap untuk shadaqah pada kaum dhuafa. Sebab lebih baik lebih saat memberi pada yang membutuhkan daripada kurang apalagi ukurannya tidak pas.[8]
            Sedangkan waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni :
1)      Waktu jawaz : mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal, dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.
2)      Waktu wajib : mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian Ramadhan)  sampai 1 syawal (menemui sebagian syawal).
3)      Waktu sunnat : setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.
4)      Waktu makruh : setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal menanti kerabat dekat ,tetangga ,orang yang lebih utama atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.
5)      Waktu haram :  setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun Jika pengakhiran tersebut karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada ditempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.[9]
 

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, ,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-  Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah.
Al-Bantani , Nawawi, Nihayah al-Zain, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth].
http://jatim.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=9981.
Syatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin,  Beirut: Dar al-Fikr,1993.


[1]Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1994), hlm.415-417,
Abu Bakar Syatha,  I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,1993),juz ii,hlm.189-191.
[2] Ibid,hlm.195.
[3] Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah), hadis no:1437, lihat juga no:1432 (di atas)
1437 - حدثنا عبد الله بن منير: سمع يزيد العدني: حدثنا سفيان، عن زيد بن أسلم قال: حدثني عياض بن عبد الله بن أبي سرح، عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب، فلما جاء معاوية، وجاءت السمراء، قال: أرى مدا من هذا يعدل مدين.
[4] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.197.
[5] Ibrahim al-Baijuri,loc.cit
[6] Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Fikr),juz i,hlm.190.
[7] ------------------------hlm.190.
[8] Lihat selengkapnya: http://jatim.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=9981
[9] Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain,(Semarang: Toha Putera,tth),hlm.176. lihat juga Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.198.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan