احكام
زكاة الفطر فى مذهب الشافعى
Hukum-Hukum Zakat Fitrah Dalam Madzhab
Syafi’i
Syarat Wajib Zakat Fitrah
1.
Islam, artinya orang yang tidak
beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan
kerabatnya yang muslim
2.
Merdeka (bukan budak).
3.
Menemui sebagian waktu dari bulan
Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau
malam hari raya idul fitri.
4.
Memiliki kelebihan dari nafaqahnya
sendiri dan orang-orang yang wajib di nafaqahi
di malam hari raya idul fitri dan siang harinya.
Berkaitan dengan syarat
wajib yang ke 3,maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan
Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat
fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya .Lain halnya
apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan
Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah. Adapun seorang bayi yang
lahir sebelum matahari tenggelam pada
hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh
orang tuanya.namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari
terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung
jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah). Demikian juga dengan
laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan
Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak
berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi Kewajiban membayar zakat
fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.
Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang
ke 4, maka apabila ada seseorang muslim
yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya,
maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk
dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu).
Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka
wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya
beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak,maka agar
mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih
kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.[1]
Jenis , Takaran dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah
Seorang Muslim yang berkewajiban
zakat fitrah ,maka ia harus mengeluarkan 1 sha’ atau 4 mud berwujud makanan
yang di jadikan kekuatan tubuh yang biasa di gunakan di daerahnya ( makanan
pokok.)[2] Di antara
hadis yang menjelaskan tentang besarnya zakat fitrah yang wajib di keluarkan
adalah :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله
عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من
تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب[3]
Artinya:
Dari Abu
Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa
Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari
korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur".(HR.Bukhari).
Pengertian hadis diatas adalah bahwa
yang dimaksud Rasulallah SAW, dengan
banyaknya fitrah itu adalah 1 sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab
adalah nama ukuran atau takaran.
Dalam madzhab Syafi’i, jenis yang di
keluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok bukan uang seharga makanan
tersebut, dan juga harus sejenis tidak boleh campuran. [4]Apabila
zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan I sha' dari
makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok
yang lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu
makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak
memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan
makanan pokok daerah terdekat.[5]
Menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan (693 1/3 dirham).[6] Maka jika dikonversi
dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram atau setara dengan 2,75 kg. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi,1 sha’ sama dengan (685 5/7 dirham).[7]
Maka Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya sekitar 2176 gramatau setara
dengan 2,176 kg
atau kurang dari 2,5 kg. Secara umum masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan
zakat fitrah sebesar 2,5 kg, sebagaimana
keputusan fatwa MUI pusat tahun 2003. Ini mungkin mencari pertengahan di
antara berbagai pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha dalam
masalah takaran ini,
Sedangkan (MUI Prov Jatim
tahun
2010)
menyarankan umat muslim untuk mengelurkan zakat fitrah sebesar 3 kg. Pada zaman Rosulullah Muhammad SAW besarnya zakat ditentukan dengan 1 sha’ atau empat mud. Pada saat ini,
setelah dialihkan dari mud menjadi kilogram maka terjadi perselisian penentuan
besarnya satu mud menjadi ons. Ada ulama yang menyatakan 1 mud adalah 6 ons,
sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan 1 mud 6,5 ons
bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg, dan ada juga yang menyatakan satu mud 7
ons bila dikalikan empat maka 2,8 kg. Dari ukuran ini terjadi perbedabatan, dan
ulama memberikan imbauan untuk mengelurakan zakat 3 kg, agar keluar dari
perdebatan tersebut. Apabila berzakat menggunakan ukuran 3 kg, maka apabila ada
kelebihan dianggap untuk shadaqah pada kaum dhuafa. Sebab lebih
baik lebih saat memberi pada yang membutuhkan daripada kurang apalagi ukurannya
tidak pas.[8]
Sedangkan
waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni :
1) Waktu
jawaz : mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal,
dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.
2) Waktu
wajib : mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian
Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui sebagian
syawal).
3) Waktu sunnat
: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.
4) Waktu makruh
: setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal
1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya
makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal
menanti kerabat dekat ,tetangga ,orang yang lebih utama atau orang yang lebih
membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.
5) Waktu haram
: setelah tenggelamnya matahari pada
tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan
zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa
adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan
segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun Jika pengakhiran tersebut karena adanya
udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada ditempat, atau menunggu orang
yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakar,
Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, ,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri
‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al- Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah.
Al-Bantani , Nawawi, Nihayah al-Zain, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth].
http://jatim.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=9981.
Syatha,
Abu Bakar, I’anah
at-Thalibin, Beirut: Dar al-Fikr,1993.
[1]Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1994), hlm.415-417,
Abu Bakar Syatha,
I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar
al-Fikr,1993),juz
ii,hlm.189-191.
1437 -
حدثنا عبد الله بن منير: سمع يزيد العدني: حدثنا سفيان، عن زيد بن أسلم قال: حدثني
عياض بن عبد الله بن أبي سرح، عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في
زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو
صاعا من زبيب، فلما جاء معاوية، وجاءت السمراء، قال: أرى مدا من هذا يعدل مدين.
[4]
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.197.
[7]
------------------------hlm.190.
[9]
Nawawi al-Bantani, Nihayah
al-Zain,(Semarang: Toha
Putera,tth),hlm.176. lihat juga Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.198.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan