احكام
زكاة الفطر فى مذهب الشافعى
Hukum-Hukum Zakat Fitrah Dalam Madzhab
Syafi’i
A.
Pengertian
Dan Dasar Hukum
Zakat secara bahasa adalah bertambah atau meningkat (an-Namaa), dan juga
dapat di artikan berkah (barakah), banyak kebaikan (katsir al-khair),
dan mensucikan (tathhir). Sedangkan zakat secara syara’ adalah
nama harta tertentu ,di keluarkan dari harta yang tertentu, dengan cara-cara
tertentu dan di berikan kepada golongan yang tertentu pula.[1]
Adapun
makna Fitrah adalah merujuk pada keadaan manusia saat baru di ciptakan atau khilqah.
Allah SWT berfirman :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Artinya:
Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia
telah Menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.(Q.S.ar-Rum/30:30).[2]
Selanjutnya zakat
fitrah juga dapat di sebut zakat puasa atau zakat yang sebab
diwajibkanya adalah futhur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan.Dan juga
bisa di sebut zakat badan karena berfungsi untuk mensucikan diri. Dalam
istilah ahli fiqih (fuqaha), zakat fitrah adalah zakat diri yang di
wajibkan atas setiap individu muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah
di tetapkan.
Menurut Waqi’
bin Jarah, zakat fitrah bagi puasa bulan
ramadhan adalah seperti sujud sahwi
terhadap shalat. pengertiannya adalah zakat
fitrah dapat menambal kekurangan puasa
sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan shalat. Perkataan ini di perkuat dengan sabda
Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan bahwa
“zakat fitrah dapat membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan
perkataan keji”. [3]Demikian pula
dengan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa “puasa Ramadhan
tergantung antara langit dan bumi dan tidak akan di angkat ke hadapan Allah
kecuali dengan zakat fitrah”. Abu bakar Syata’ dalam kitabnya menjelaskan bahwa
maksud dari “tidak di angkat” adalah meupakan kinayah dari sempurnanya pahala
puasa di bulan Ramadhan itu tergantung dari orang yang berpuasa, apakah ia mengeluarkan
zakat fitrah atau tidak. Pengertiannya bukan berarti, tanpa zakat fitrah
berarti puasanya tidak diterima. Jadi seandainya saja seseorang yang berpuasa
di bulan Ramadhan kemudian tidak mengeluarkan zakat fitrah, maka puasanya tetap
di terima oleh Allah SWT. [4]
Zakat mal (harta) pertama
kali diwajibkan pada bulan sya’ban tahun kedua hijriah beserta di wajibkannya
pula zakat fitrah, menurut pendapat yang masyhur kewajiban mengeluarkan zakat
pertama kali di lakukan pada bulan syawal tahun ke dua hijriah, sedangkan zakat
fitrah pada bulan syawal, yakni 2 hari menjelang hari raya idul fitri.[5]
Berikut ini adalah ayat al-Qur’an
dan hadis Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber hukum kewajiban menunaikan
zakat fitrah, di antaranya adalah:
وَاَقِيْمُوْ االصَّلَوةَ
وَاَتُوْاالزَّ كَوْةَ, وَمَـاتُقَدّ ِمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍتَجِدُوْهُ
عِنْدَاللهِ, اِنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya :
Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari
kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Baqarah /02:110).[6]
Hadis Nabi berkenaan dengan
kewajiban zakat fitrah :
عن ابن عمر رضي الله عنهما
قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير،
على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى
قبل خروج الناس إلى الصلاة.(متفق عليه)
Artinya :
Dari Ibnu
Umar, radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah saw. telah mewajibkan
mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atas hamba
sahaya ataupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau
dewasa, dari orang-orang (yang mengaku) Islam. Dan beliau menyuruh menyerahkan
sebelum orang-orang keluar dari shalat Hari Raya Fitri.(muttafaqun ‘alaih).[7]
B.
Syarat Wajib
Zakat Fitrah
1.
Islam, artinya orang yang tidak
beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan
kerabatnya yang muslim
2.
Merdeka (bukan budak).
3.
Menemui sebagian waktu dari bulan
Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau
malam hari raya idul fitri.
4.
Memiliki kelebihan dari nafaqahnya
sendiri dan orang-orang yang wajib di nafaqahi
di malam hari raya idul fitri dan siang harinya.
Berkaitan dengan syarat
wajib yang ke 3,maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan
Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat
fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya .Lain halnya
apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan
Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah. Adapun seorang bayi yang
lahir sebelum matahari tenggelam pada
hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh
orang tuanya.namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari
terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung
jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah). Demikian juga dengan
laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan
Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak
berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi Kewajiban membayar zakat fitrahnya
adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.
Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang
ke 4, maka apabila ada seseorang muslim
yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya,
maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk
dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu).
Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka
wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya
beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak,maka agar
mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih
kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.[8]
C.
Jenis , Takaran
dan Waktu Pengeluaran Zakat Fitrah
Seorang Muslim yang berkewajiban
zakat fitrah ,maka ia harus mengeluarkan 1 sha’ atau 4 mud berwujud makanan
yang di jadikan kekuatan tubuh yang biasa di gunakan di daerahnya ( makanan
pokok.)[9] Di antara
hadis yang menjelaskan tentang besarnya zakat fitrah yang wajib di keluarkan
adalah :
عن أبي سعيد الخدري رضي الله
عنه قال: كنا نعطيها في زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من
تمر، أو صاعا من شعير، أو صاعا من زبيب[10]
Artinya:
Dari Abu
Sa’id Al-Khudri, ra., ia berkata : “Kami memberikan zakat fithrah pada masa
Rasulullah saw. satu sha’ dari makanan (sehari-hari) kami, atau satu sha’ dari
korma, atau satu sha’ dari sya’ir, atau satu sha’ dari anggur".(HR.Bukhari).
Pengertian hadis diatas adalah bahwa
yang dimaksud Rasulallah SAW, dengan
banyaknya fitrah itu adalah 1 sha’ sedangkan nama sha’ menurut arti bahasa Arab
adalah nama ukuran atau takaran.
Dalam madzhab Syafi’i, jenis yang di
keluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok bukan uang seharga makanan
tersebut, dan juga harus sejenis tidak boleh campuran. [11]Apabila
zakat fitrah wajib pada seseorang, maka dia wajib mengeluarkan I sha' dari
makanan pokok. Apabila dalam suatu daerah atau negara terdapat makanan pokok yang
lebih dari satu maka ia dapat mengeluarkan zakat fitrah dengan salah satu
makanan pokok yang lebih dominan. Apabila seseorang berada di daerah yang tidak
memiliki makanan pokok, maka ia hendaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan
makanan pokok daerah terdekat.[12]
Menurut Imam Ar-Rafi’i 1 sha’ itu sama dengan (693 1/3 dirham).[13] Maka jika dikonversi
dalam satuan gram, sama dengan 2,751 gram atau setara dengan 2,75 kg. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi,1 sha’ sama dengan (685 5/7 dirham).[14]
Maka Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya sekitar 2176 gramatau setara
dengan 2,176 kg
atau kurang dari 2,5 kg. Secara umum masyarakat Indonesia dalam mengeluarkan
zakat fitrah sebesar 2,5 kg, sebagaimana
keputusan fatwa MUI pusat tahun 2003. Ini mungkin mencari pertengahan di
antara berbagai pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha dalam
masalah takaran ini,
Sedangkan (MUI Prov Jatim
tahun
2010)
menyarankan umat muslim untuk mengelurkan zakat fitrah sebesar 3 kg. Pada zaman Rosulullah Muhammad SAW besarnya zakat ditentukan dengan 1 sha’ atau empat mud. Pada saat ini,
setelah dialihkan dari mud menjadi kilogram maka terjadi perselisian penentuan
besarnya satu mud menjadi ons. Ada ulama yang menyatakan 1 mud adalah 6 ons,
sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan 1 mud 6,5 ons
bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg, dan ada juga yang menyatakan satu mud 7
ons bila dikalikan empat maka 2,8 kg. Dari ukuran ini terjadi perbedabatan, dan
ulama memberikan imbauan untuk mengelurakan zakat 3 kg, agar keluar dari
perdebatan tersebut. Apabila berzakat menggunakan ukuran 3 kg, maka apabila ada
kelebihan dianggap untuk shadaqah pada kaum dhuafa. Sebab lebih
baik lebih saat memberi pada yang membutuhkan daripada kurang apalagi ukurannya
tidak pas.[15]
Sedangkan
waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni :
1) Waktu
jawaz : mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal,
dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.
2) Waktu
wajib : mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian
Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui
sebagian syawal).
3) Waktu sunnat
: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.
4) Waktu makruh
: setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal
1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya
makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal
menanti kerabat dekat ,tetangga ,orang yang lebih utama atau orang yang lebih
membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.
5) Waktu haram
: setelah tenggelamnya matahari pada
tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan
zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa
adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan
segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun Jika pengakhiran tersebut karena adanya
udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada ditempat, atau menunggu orang yang
berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram. [16]
D.
Penyerahan
Zakat Fitrah
Zakat di golongkan sebagai praktek
ibadah yang wajib di lakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut
di tandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan
wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima
zakat. Kewajiban yang di tanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat
segera (‘ala al-faur) maka berkonsekwensi terhadap hukum keharaman untuk
mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat
setelah memungkinkan untuk diserahkan (tamakun),
maka ia berdosa dan mewajibkan
mnggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang di zakati.
Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat,tetangga,
orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib
menggantinya (dhoman).[17]
Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat
yang harus di ketahui :
1) Niat di
dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.
Berkaitan
dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah,
karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda
dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu..[18]
Penyerahan zakat boleh di lakukan
oleh sendiri ,melalui wakil atau di serahkan kepada Imam (amil).
Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik dari pada di serahkan
kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan
atau pengelolaan zakat, maka lebih baik di serahkan sendiri atau lewat wakil.
Sedangkan penyerahan zakat yang di lakukan sendiri itu lebih baik dari pada
lewat wakil.
Zakat yang diserahkan melalui
wakil,menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah
mencukupi, namun yang lebih utama wakilpun juga niat ketika menyerahkan zakat
tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya di wakilkan kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya
wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka
niatnya cukup dilakukan disaat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun
amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.[19]
An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’
menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah)
itu pada hakikatnya tidak boleh di wakilkan kecuali dalam pembayaran zakat,
pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran
atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki)
boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam / amil). Di
perbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang
menyerupai dengan pembayaran hutang untuk di bayarkan kepada yang berhak
sebagai penunjang kebutuhannya.[20]
Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban
mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu
di lakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah
mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam,
berikut ini contohnya :
a) Zakat fitrah
untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah
atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala.
b)
Zakat untuk orang yang menjadi
tanggungjawab nafaqahnya : niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan
izin dari orang yang dizakati (tanggungjawab nafaqah) semisal seorang suami
yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat di perbolehkan memberikan makanan
yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri.
-
Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan
نوَيْتُ أَنْ
أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah
atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya),
Fardhu karena Allah Ta’ala.
-
Niat zakat fitrah untuk istri
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah
atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala.
-
Niat zakat fitrah untuk
diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ
نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat atas
diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka
secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.
-
Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili
نَوَيْتُ
أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah
atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.
2)
Memberikan kepada yang berhak
menerima zakat (mustahiqquzzakat).
Dalam madzhab Syafi’i ,zakat
haruslah di berikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara
merata, hal itu apabila memang jumlah
orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak
demikian maka di perbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga
orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap
golongan tidak ada ,maka di berikan kepada golongan yang ada.
Menurut Ibn Hajar, sebagaimana di
kutip Abu Bakar Syatha : bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam
Malik, di perbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah
yang juga telah di fatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah di fatwahkan
oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh di ikuti, karena pada masa
sekarang akan kesulitan untuk meratakan keseluruh golongan yang berhak menerima
zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal di perbolehkannya
memindah zakat atau naqluzzakat.[21]
-
Do’a saat menerima zakat.
أجَرَكَ
اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ
Artinya
:
Mudah-mudahan
Allah memberi pahala atas Apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya
sebagai pembersih bagimu. Dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.
-
Do’a sesudah memberikan zakat:
ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم
Artinya :
Ya Tuhan kami,
terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
E.
Golongan
Yang Berhak Menerima Zakat
Golongan
yang berhak menerima zakat ada 8
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an.
اِنَّمَاالصَّدَقَتُ
لِلْفُقَرَآءِوَالْمَسَكِيْنِ وَالْعَمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوْبُهُمْ وَفىِ الرِقَابِ وَالْغَرِمِيْنَ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ
السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mu’allaf, yang dilunakan
hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba
sahaya, (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui ,Maha Bijaksana. (QS.
At-Taubah : 60).[23]
1)
Fuqara’ (faqir) adalah orang yang
tidak memiliki harta benda atau pekerjaan
sama sekali atau mempunyai pekerjaan namun tidak bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya.
2)
Masakin (miskin) adalah orang yang
memiliki harta benda atau pekerjaan namun tiduk bisa mencukupi hidupnya.
3) Amilin
(amil) adalah orang-orang yang diangkat (di pekerjakan) oleh Imam atau
pemerintah untuk menarik zakat dan menyerahkannya kepada orang yang berhak
menerimanya, dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau Negara.
Orang-orang yang termasuk amil zakat di antaranya adalah bagian pendataan zakat, penarik zakat,
pembagi zakat dan yang lainnya.[24]
4)
Mu’allaf, golongan ini terbagi
menjadi 4 macam ,yakni :
-
Orang yang baru masuk Islam dan
niatnya masih lemah
-
Orang yang baru masuk Islam dan
niatnya sudah kuat, disamping itu ia
memiliki pengaruh di kalangan kaumnya, sehingga dengan memberikan zakat
kepadanya dapat di harapkan masuk islamnya orang-orang dari kaum tersebut.
-
Orang yang membela kaum (muslimin)
dari kejahatan orang-orang kafir.
-
Orang yang membela kaum (muslimin)
dari keburukan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.
5) Riqab (budak Mukatab) adalah budak yang di
janjikan meredeka oleh tuannya setelah melunasi sejumlah tebusan yang sudah
disepakati bersama dan juga di bayar secara berangsur.
6) Gharimin, golongan ini terbagi menjadi 3
macam yakni:
-
Orang yang
memiliki tanggungan hutang untuk mendamaikan pihak yang bertikai.
-
Orang yang
berhutang untuk keperluan dirinya sendiri atau untuk keluarganya dengan tujuan
di gunakan pada perkara yang mubah. Apabila berhutang untuk tujuan maksiat maka
hukumnya tafsil :
a.
Jika di
tasharufkan pada maksiat dan tidak taubat ,maka tidak berhak menerima zakat.
b. Jika ternyata di
tasharufkan pada maksiat namun telah taubat
dan di duga kesungguhan taubatnya oleh orang yang zakat, maka berhak
menerima zakat.
c.
Jika ternyata di
tasharufkan pada perkara yang mubah ,maka berhak menerima zakat.
7) Sabilillah, adalah orang yang berperang di
jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai
dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim,
sekalipun dia termasu korang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus
mengembalikanzakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan
kelebihannya setelah berperang.
8) Ibnu Sabil, adalah orang yang memulai
bepergian dari daerah tempat zakat (baladuzzakat) atau melewati daerah
tempat zakat. Disyaratkan bepergiannya bukanlah maksiat, atau tujuan tidak di
benarkan dalam agama.[26]
F.
Problematika
Zakat
Zakat
Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya
Berikut ini penulis sajikan
pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut beberapa ulama yang
kemudian menjadi landasan di perbolehkannya memberikan zakat kepada kyai,
masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.
Sabilillah,
pada dasarnya adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan
gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan
keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasuk orang
kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikan zakat yang
telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah
berperang.[27]
Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah kepada selain golongan yang
telah di tetapkan dalam al-Qur’an menjadi permasalahan yang pelik, disisi lain
praktek tersebut sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Seperti
dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok
pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau (kyai), yayasan sosial atau keagamaan
dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan
pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah
dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).
Imam Syihabuddin al-Qasthalani
misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang
yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu
mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut
ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara' , orang-orang yang mencari
kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang
ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang
lurus.[28]
Imam Kasani memaknai sabililah
dengan semua jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan
kepada Allah, dan menegakan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan
pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian
ulama Hanafiyah juga
ada yang memaknai sabilillah adalah
orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya.[29] Imam al-Qaffal menukil
dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat
kepada segala sektor kebaikan (wujuh
al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun
masjid dan sebagainya, Karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).[30]
Untuk
mengetahui hukum selengkapnya tentang memberikan zakat kepada selain golongan
yang sudah tercantum dalam al-Qur’an, berikut ini penulis kemukakan Hasil
Bahtsul Masa’il PWNU Jatim tanggal 9 Oktober 2010 di PP. Al-Hikam Bangkalan
Madura
Deskripsi Masalah:
Beberapa tahun belakangan ini, kian terlihat bertambah
kencang polemik dan perselisihan dikalangan warga NU dibeberapa daerah dalam
hal penerapan golongan sabilillah dalam asnaf mustahiq zakat. Hal ini dipicu
karena ketidakseragaman dasar mereka dari hasil keputusan hukum yang
disosialisasikan oleh jam’iyah NU secara kelembagaan. Sebagaimana diketahui
dari penuturan ulama’ salaf (madzhab al-arba’ah) bahwa yang dimaksud sabilillah
dalam asnaf mustahiq zakat adalah ghuzzat (para tentara perang sabil). Terkecuali wacana pendapat yang telah dinuqil
oleh Imam al-Qaffal dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa kata sabilillah
itu bisa bermakna luas mencakup seluruh jalur sektor kebaikan (wujuh
al-Khair).
Sejak awal berdiri, NU sudah
mengambil langkah tegas dan antisipasi melalui keputusan no.5 dalam Muktamar NU
pertama di Surabaya tanggal 21 oktober 1926, bahwa: “Tidak diperbolehkan
mentasharufkan zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok-pondok dengan
mengatasnamakan sabilillah dengan berdasar pada kutipan Imam al-Qaffal, sebab
pendapat yang dikutip Imam al-Qaffal tersebut adalah dha’if”. (lihat Ahkamul Fuqoha’:
1/09 – CV. Toha Putra Semarang 1960). Namun, hasil keputusan masalah serupa
diambil oleh PWNU jatim di era-era berikutnya ternyata berbicara lain. Dalam
data hasil keputusan Bahtsul Masa’il PWNU yang dilaksanakan di PP. An-Nur
Tegalrejo Nganjuk tahun 1981, di PPAI Ketapang Malang tahun 1987 dan di PP.
Langitan Tuban tahun 1988.
Semuanya
menyimpulkan bahwa : “Hukumnya ada dua alternatif, yakni tidak boleh dengan
merujuk keputusan Muktamar 1926 dimaksud. Dan yang kedua diperbolehkan dengan
dasar mengikuti pendapat kutipan Imam al-Qaffal dan fatwa Syekh Moh. Ali
Al-Maliki dan ulama-ulama yang lain”. (lihat CD hasil keputusan Bahtsul Masail
PWNU Jatim 1979-1994, 1996 dan 2002).
Pertanyaan:
Pendapat siapakah sebenarnya yang dikutip oleh Imam
Qoffal tersebut? Dan seberapa mu’tabar pendapatnya dalam takaran madzhab? (PCNU
Sidoarjo).
Jawaban:
Belum diketahui secara pasti siapa yang dimaksud oleh
Imam al-Qaffal tersebut, namun ada kemungkinan besar mengarah pada Imam Hasan
dan Imam Anas bin Malik. Sedangkan pendapat tersebut menurut Jumhur al-ulama
(mayoritas ulama) tidak mu'tabar. Pendapat
ini didukung oleh mufti Hadramaut karena pendapat tersebut di luar lingkup
madzhab empat. Namun ada juga yang sependapat dengan pendapat kutipan Imam al-Qaffal,
seperti Syeikh Hasanain Makhluf dan ulama mu'ashirin Mesir yang memfatwakan dan
memilih pendapat tersebut.[31]
Zakat Fitrah
dengan Uang
Konsep dasar dalam mengeluarkan
zakat fitrah adalah dengan makanan poko di setiap daerah, bukan dengan uang seharga
makanan tersebut (qimah).[32] Dalam kajian fiqh
mengeluarkan zakat fitrah dengan uang di warnai perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn
Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak di perbolehkan. Hal
ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu
Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga)
makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan
kecuali dalam keadaan dharurat.[33] Menurut Imam
Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang itu lebih efektif, karena
dengan uang ,penerima zakat akan mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan
keinginanannya, dan yang terpenting lagi kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan
dari yang wajib dari membayar atau mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan
bagi para orang yang membutuhkan (ighna’ al-fuqara’).[34]
Imam Ibnu
Hajar al-Haitami dan Imam al-Bulqini dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain,
cenderung membenarkan pendapat yang di fatwahkan
oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah
dengan uang (seharga makanan). Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh
di ikuti atau taqlid ,mengingat kapasitas mereka di akui sebagai ulama ahli
tarjih dan ahli takhrij.[35]
G.
Golongan Yang Tidak Berhak Menerima
Zakat
. Golongan orang yang tidak berhak
menerima zakat ada lima ,yakni :
1) Orang kaya.yaitu
orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya.
2) Budak atau hamba sahaya selain (budak
mukatab).
3) Keturunan
dari bani Hasyim dan bani Muthalib.
4) Orang kafir.
5) Orang yang menjadi
tanggungan nafaqahnya. Artinya tidak boleh memberikan zakat kepadanya atas nama
fakir miskin. Namun apabila sebagai
orang yang berperang membela agama Allah “Ghuzat” atau orang yang
berhutang “Gharim” maka di perbolehkan.[36]
Wallahu A’lam.
والله
المستعان لإصابة الصواب وعليه التكلان واليه المآب
Abu
Bakar,
Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, ,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri
‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Mashri, Musthafa
Muhammad ‘Imarah Jawahir al-Bukhari,[Maktabah
Syamilah].
Al-Bantani , Nawawi, Nihayah al-Zain, Semarang: Toha Putera,[tth].
---------------------------Tafsir
al-Munir ,Semarang: Toha Putera, [tth].
Al- Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah.
Al-Hadhrami, Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra al-Karim,
Indonesia: Dar al-Kutub
al-Arabiyah,[tth].
Al-Nawawi, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, al-Majmu’ Syarah
al-Muhaddzab,Beirut:Dar al-Fikr,1997.
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah
Toha Putera,[tth]
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul
Maram, Semarang: Toha Putera,tth.
Al- Sijitsani, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Maktabah Syamilah].
As-Saqaf ,Sayid 'Alawi Ahmad,Tarsyih al-Mustafidin. [Maktabah Syamilah].
Al-Zuhayli,
Wahbah, Fiqh al-Islam
wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
[tth].
Hasil Bahtsul Masa’il PWNU Jatim tanggal 9 Oktober
2010,PP. Al-Hikam Bangkalan Madura.
http://jatim.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=9981
RI,Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Juz 1-30, Surabaya:Danakarya,2004.
Syatha,
Abu Bakar, I’anah
at-Thalibin, Beirut: Dar al-Fikr,1993.
[1]
Ibrahim
al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar
al-Fikr, 1994),hlm.386-387.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Juz 1-30, (Surabaya:Danakarya,2004)
1609ـ حدثنا محمود بن خالد الدمشقي وعبد اللّه بن عبد الرحمن
السمرقندي قالا: ثنا مروان، قال عبد اللّه: قال: ثنا أبو يزيد الخَوْلاني، وكان
شيخ صدق، وكان عبد اللّه بن وهب يروي عنه، ثنا سيار بن عبد الرحمن، قال: محمود
الصدفي عن عكرمة، عن ابن عباس قال:
فرض رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم زكاة
الفطر طهرةً للصائم من اللغو والرَّفثِ وطعمةً للمساكين، من أداها قبل الصلاة فهي
زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات.
[4]
Abu Bakar Syatha, I’anah at-Thalibin,
(Beirut: Dar al-Fikr,1993),juz
ii,hlm.189-190. Lihat
juga, Ibrahim
al-Baijuri,op.cit.,hlm.413-414, Taqiyyudin
Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Fikr),juz i,hlm.192.
[5] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan
al-Hadhrami, Busyra al-Karim,(Indonesia :Dar al-Kutub
al-Arabiyah,tth),juz ii,hlm.40.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Juz 1-30, (Surabaya:Danakarya,2004)
[7]
Ibn Hajar
al-Asqalani, Bulughul Maram, (Semarang: Toha Putera,tth].hlm.649.
lihat juga Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Toha Putera,Semarang,
juz ii,[tth]./ Shahih
Bukhari,
(Maktabah Syamilah), hadis no:1432.
1432 -
حدثنا يحيى بن محمد بن السكن: حدثنا محمد بن جهضم: حدثنا إسماعيل ابن جعفر، عن عمر
بن نافع، عن أبيه، عن ابن عمر رضي الله عنهما قال:
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم
زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير، على العبد والحر، والذكر والأنثى،
والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.
Abu Dawud al-Sijitsani, Sunan
Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:1611.
1611ـ حدثنا عبد اللّه بن مسلمة، ثنا مالك، وقرأه عليَّ مالك
أيضاً، عن نافع، عن ابن عمر
أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم
فرض زكاة الفطر، قال فيه فيما قرأه عليَّ مالك: زكاة الفطر من رمضان صاع من تمر أو
صاع من شعير، على كل حرّ أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين.
lihat juga Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.189-191.
1437 -
حدثنا عبد الله بن منير: سمع يزيد العدني: حدثنا سفيان، عن زيد بن أسلم قال: حدثني
عياض بن عبد الله بن أبي سرح، عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نعطيها في
زمان النبي صلى الله عليه وسلم صاعا من طعام، أو صاعا من تمر، أو صاعا من شعير، أو
صاعا من زبيب، فلما جاء معاوية، وجاءت السمراء، قال: أرى مدا من هذا يعدل مدين.
[11]
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.197.
[14]
------------------------hlm.190.
[16]
Nawawi al-Bantani, Nihayah
al-Zain,(Semarang: Toha
Putera,tth),hlm.176. lihat juga Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.198.
[17]
Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi
wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.46. lihat juga
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.299-200.
[18] Ibid,hlm.204.
[19]Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm
.41-42.Lihat juga, Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.204-207.
[20] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzab,(Beirut: Dar
al-Fikr,1997),juz vi,hlm.165 dan hlm.179.
[23]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Juz 1-30, (Surabaya:Danakarya,2004).
[24]
Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.420-421,
lihat juga Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami,op.cit.,hlm.58-59.
[26]
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.219,
lihat juga, Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.423.
[27]
Abu Bakar Syatha,loc.cit.,hlm.219
[28] Musthafa Muhammad ‘Imarah
al-Mashri, Jawahir al-Bukhari, (Maktabah
Syamilah) hlm.173.
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ
الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى
الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ
الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ
وَاْلإِرْشَادِ وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْف
.
أتفق جماهير فقهاء المذاهب على أنه لا
يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى من بناء المساجد ونحو ذلك من القرب
التى لم يذكرها الله تعالى مما لا تمليك فيه: لأن الله سبحانه وتعالى قال (إنما
الصدقات للفقرء) وكلمة إنما للحصر والإثبات. ثبت المذكور وتنقضى ما عداه فلا يجوز
صرف الزكاة إلى هذه الوجه: لأنه لم يوجد التمليك اصلا، لكن فسر الكسانى فى البدائع
سبيل الله بجميع القرب فيدخل فيه كل من سعى فى طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان
محتاجا لأن فى سبيل الله عام فى الملك اى يشمل عمارة المسجد ونحوها مما ذكر وفسر
بعض الحنيفية "فى سبيل الله" بطلب العلم ولو كان الطلب عنيا
[30] An-Nawawi al-Bantani , Tafsir
al-Munir (Semarang: Toha Putera, tth),juz i, hlm.244.
(فى سبيل الله) ويجوز للغازى ان يأخذ من مال الزكاة وإن كان غنيا
كما هو مذهب الشافعية ومالك واسحق وقال أبو حنيفة وصاحباه لا يعطى إلا إذا كان
محتاجا ونقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم اجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير
من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المسجد لان قوله تعالى فى سبيل الله عام فى
الكل
[31]
Dasar Pengambilan Hukum:
1) Hasanain
Muhammad Makhluf, Fatawi Syar'iyyah Wa Buhuts Islamiyah hlm : 255
فتاوى شرعية وبحوث إسلامية حسنين محمد
مخلوف ص 255
(الجواب) إن من مصارف الزكاة الثمانية المذكورة
فى قوله تعالى: {إنما الصدقات للفقراء} إلى آخر الآية إنفاقها {فى سبيل الله}
وسبيل الله عام يشمل جميع وجوه الخير للمسلمين من تكفين الموتى وبناء الحصون
وعمارة المساجد وتجهيز الغزاة فى سبيل الله، وما أشبه ذلك مما فيه مصلحة عامة
للمسلمين كما درج عليه بعض الفقهاء واعتمده الإمام القفال من الشافعية ونقله عنه
الرازى فى تفسيره وهو الذى نختاره للفتوى. وبناء عليه لا مانع من صرف زكاة النقدين
والحبوب والماشية وكذا زكاة الفطر فى الأغراض المشار إليها فى السؤال لما فيها من
المصلحة الظاهرة للمسلمين خصوصا فى هذه الديار. وأما جلود الأضاحى فلا وجه للتوقف
فى صرفها فى هذه المشروعات التى تعود بالخير على المسلمين إذا تصدق بها المضحون فى
ذلك، والله تعالى أعلم
2) Fatawa
al-Azhar, juz 1 hlm
: 139
فتاوى الأزهر -ج 1 /139
جواز صرف الزكاة فى بناء المساجد
اطلعنا على هذا السؤال ونفيد أنه يجوز صرف الزكاة لبناء المسجد ونحوه من وجوه البر
التى ليس فيها تمليك أخذا برأى بعض فقهاء المسلمين الذى أجاز ذلك استدلالا بعموم
قوله تعالى {وفى سبيل اله} من آية
{إنما الصدقات للفقراء والمساكين} الآية وإن كان مذهب الأئمة الأربعة على غير ذلك
وما ذكرناه مذكور فى تفسير هذه الآية للإمام فخر الدين الرازى ونص عبارته (واعلم
أن ظاهر اللفظ فى قوله وفى سبيل اللّه لا يوجب القصر على كل الغزاة فلهذا المعنى
نقل القفال فى تفسيره عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير
من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن قوله وفى سبيل اللّه عام فى
الكل) انتهت عبارة الفخر ولم يعقب رحمه اللّه على ذلك بشىء وقد جاء فى المغنى لابن
قدامة بعد أن قال ولا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر اللّه تعالى من بناء المساجد
والقناطر والجسور والطرق فهى صدقة ماضية والأول أصح لقوله سبحانه وتعالى إنما
الصدقات للفقراء والمساكين وإنما للحصر والإثبات تثبت المذكور وتنفى ما عداه انتهى
وظاهر أن أنسا والحسن يجيزان صرف الزكاة فى بناء المسجد لصرفها فى عمل الطرق
والجسور وما قاله ابن قدامة فى الرد عليهما غير وجيه لأن ما أعطى فى الجسور والطرق
مما أثبتته الآية لعموم قوله تعالى {وفى سبيل الله} وتناوله بكل وجه من وجوه البر كبناء
مسجد وعمل جسر وطريق. ولذلك ارتضاه صاحب شرح كتاب الروض النضير إذ قال. وذهب من
أجاز ذلك أى دفع الزكاة فى تكفين الموتى وبناء المسجد إلى الاستدلال بدخولهما فى
صنف سبيل اللّه إذ هو أى سبيل اللّه طريق الخير على العموم وإن كثر استعماله فى
فرد من مدلولاته وهو الجهاد لكثرة عروضه فى أول الإسلام كما فى نظائره ولكن لا إلى
حد الحقيقة العرفية فهو باق على الوضع الأول فيدخل فيه جميع أنواع القرب على ما
يقتضيه النظر فى المصالح العامة والخاصة إلا ما خصه الدليل وهو ظاهر عبارة البحر
فى قوله قلنا ظاهر سبيل اللّه العموم إلا ما خصه الدليل انتهت عبارة الشرح
المذكور. والخلاصة أن الذى يظهر لنا هو ما ذهب إليه بعض فقهاء المسلمين من جواز
صرف الزكاة فى بناء المسجد ونحوه فإذا صرف المزكى الزكاة الواجبة عليه فى بناء
المسجد سقط عنه الفرض وأثيب على ذلك واللّه أعلم
3) Fatawa Abu
Bakar, hlm : 70-76
فتاوى أبو بكر باغيثان 76- 70
سئل (س او
الإنفاق عليها او اى شيئ من المرافق العامة والنافعة للمسلمين الى ان قال
......... (فاجاب بقوله ) الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه
الجواب لايجوز صرف الزكاة فى شيئ مما ذكره السائل من بناء المساجد وعمارتها او
بناء المدارس او الإنفاق عليها او غير ذلك من المشارع الخيرية الى ان قال .....
ولا رحمه الله ) هل تخرج شيئ من زكاة المال اى النقد فى المشارع الخيرية كبناء
مساجد أوعمارتها او بناء مدار نعلم خلافا بين أهل العلم فى انه لايجوز دفع هذه
الزكاة الى غير هذه الأصناف الا ماروى عن انس والحسن انهما قالا ما أعطيت فى
الجسور والطرقات فهى صدقة ماضية الى ان قال ....... رايت عن السيد محمد رشيد رضا
على قول الشرح المذكور لأن سبيل الله عند الإطلاق هو الغزو ما لفظه هذا غير صحيح
بل سبيل الله هو الطريق الموصل الى مرضاته وجنته وهو الإسلام فى جملته وايات
الإنفاق فى سبيل الله تشمل جميع أنواع النفقة المشروعة وماذا يقول فى ايات الصد
والإضلال عن سبيل الله والهجرة فى سبيل الله بل لا يصح ان يفسر سبيل الله فى أيات القتال
نفسها بالغزو وإنما يكون فى سبيل الله اذا اريد به ان نكون كلمة الله هى العليا
ودينه المتبع فسبيل الله فى الأية يعم الغزو الشرعي وغيره من مصالح الإسلام بحسب
لفظه العربى ويحتاج التخصيص الى دليل صحيح انتهى فلعل من قال بجواز دفع الزكاة الى
من ذكر السائل من علماء الأزهر وغيرهم أخذ بقول السيد رشيد رضا هذا ولكن هذا مخالف
لما قاله أهل المذاهب المعمول بها كما رأيته فيما نقلناه عن الشرح المذكور ثم كثر
استعماله فى الجهاد لإنه سبب للشهادة الموصلة الى الله تعالى ثم وضع على هؤلاء
لانهم جاهدوا لا فى مقابل فكانوا افضل من غيرهم وتفسير أحمد وغيره المخالف لما
عليه أكثر العلماء له بالحجج لحديث فيه أجابوا عنه اى بعد تسليم صحته التى زعمها
الحاكم
[32]
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.197
(مسألة ) لا
تجزئ القيمة في الفطرة عندنا . وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر . وقال أبو حنيفة
يجوز حكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري قال وقال إسحاق
وأبو ثور لا تجزئ إلا عند الضرورة
[34]
Wahbah al-Zuhayli,op.cit.,huz ii,hlm..909-901.
قال الحنفية تجب زكاة الفطر من أربعة
أشياء الحنطة والشعير والتمر والزبيب وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو
تمر أو زبيب والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي
مئة وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين،
ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه وهو أصغر من الهاشمي،
وكانوا يستعملون الهاشمي.. إلى أن قال.. دفع القيمة: ويجوز عندهم أن يعطي عن جميع
ذلك القيمة دراهم او دنانير او فلوسا او عروضا او ما شاء لأن الواجب في الحقيقة
إغناء الفقير لقوله صلى الله عليه وسلم اغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم
والإغناء يحصل بالقيمة بل اتم واوفر وايسر لأنها اقرب الى دفع الحاجة فتبين ان
النص معلل بالإغناء اهـ
Tiada ulasan:
Catat Ulasan