Ahad, 1 Mei 2016

Tafsir Isra' Mi'raj



TAFSIR ISRA' MI’RAJ

Al-Qur’an memulai peristiwa Isrā’ Mi’rāj dengan lafadz subḥānallah (Maha Suci Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) melintasi dimensi dan waktu hanya pada sebagian malam saja. Sebuah ungkapan yang menunjukan peristiwa yang maha dahsyat, fantastik, dan luar biasa yang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. 
Dengan mengendarai Buraq, ditemani Malaikat Jibri dan Mikail, Nabi Saw berangkat dari Masjid al-Harām (Makkah) menuju Masjid al-Aqshā (Palestina). Kemudian melanjutkan perjalanannya dengan mirqah menuju Sidrah al-Muntahā dan mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Sesaat setelah Nabi menginjakan kakinya di bumi, kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya tersebut, maka terpecahlah umat pada masa itu, sehingga menimbulkan banyak keraguan di antara mereka, sebagian dari mereka ada yang beriman dan sebagian lagi menentang dan memusuhi Nabi. 
Hal ini dapat dimengerti, karena Isrā’ Mi’rāj Nabi Muhammad Saw adalah peristiwa agung yang tidak mungkin dijangkau oleh nalar berpikir manusia, karena hanya keimananlah yang akan bicara.
Tulisan ini akan membahas seputar perjalanan penting Rasulullah Saw pada malam beliau di perjalankan oleh Alah SWT melalui peristiwa yang disebut dengan Isrā’ Mi’rāj
Isrā’ Mi’rāj
Salah satu mu’jizat terbesar yang terjadi pada diri Rasulullah Saw adalah Peristiwa Isrā’ Mi’rāj. Makna Isrā’ dari sudut pandang bahasa (lughat) adalah diambil dari kata mai sarā-sirāyah-sarayānan.  Artinya adalah berjalan dimalam hari. Isrā’ secara istilah didevinisikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad Saw pada suatu malam (sebagian malam) dari Masjid al-Harām (makkah) sampai ke Masjid al-Aqshā (palestina).
Sebelum memulai pembicaraan tentang kisah perjalanan Isrā’ Mi’rāj, terlebih dahulu penulis paparkan tafsir surat al-Isrā’.
Peristiwa Isrā’ di dokumentasikan dalam QS.al- Isrā’ [17 ]:1, sebagai berikut:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ                                                                                        

Maha Suci (Allah), yang telah Memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Harām ke Masjid al-Aqsā yang telah Kami Berkahi sekelilingnya agar Kami Perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS.al- Isrā’ [17 ]:1).

Surat al- Isrā’ termasuk surat Makiyyah. Menurut aṣ-Sāwī surat ini juga dikenal dengan nama surat Banī Isrā’īl dan Subḥān. Disebut surat Banī Isrā’īl karena terdapat ayat-ayat yang mengetengahkan tentang Bani Isra’il yang terdapat pada awal maupun akhir surat tersebut. Dan disebut surat Subhan, karena ayat pertama dalam surat tersebut dimulai dengan kata “subḥāna”. Oleh sebab itu, penamaan surat-surat dalam al-Qur’an biasanya diambil dari nama dari sebagian isi surat tersebut. Jumlah ayatnya ada 110 (seratus sepuluh), atau 111 ayat, dan ada 8 ayat yang tidak termasuk Makiyyah, yaitu: ………..وإن كادوا ليفتنونك
Ayat di atas dimulai dengan kata سُبْحَانَ  (subḥāna). Menurut Ar-Rāzī, kata subḥāna adalah bentuk maṣdar dari kata sabbaḥa sebagaimana ungkapan “sabbahtu tasbīḥan wa subḥānan”. Kata subḥāna merupakan isim ‘alam yang digunakan untuk mensucikan (tanzīh) Allah dari segala kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun yang dikehendakinya. Aṣ-ṣāwī menyatakan bahwa, pemakaian kata tasbīh dilakukan saat terjadinya peristiwa yang mempesona, luar biasa (ta’jīb) dan diluar nalar kebiasaan (khāriq al-‘ādah). Menurut Ibnu Kaṡīr kata subḥāna memiliki makna bahwa, Allah SWT memuji diri-Nya sendiri, serta mengagungkan akan kedudukan-Nya, karena kekuasan yang dimilki-Nya tidak dapat dikuasai oleh seorang pun.
 Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, pengucapan tasbih pada ayat tersebut dilakukan saat terjadi perkara-perkara yang besar.
Kata الَّذِي  (al-lażī) merupakan isim mauṣūl yang disandarkan (muḍaf) pada subḥāna. Sedangkan kata أَسْرَى  (asrā) memiliki dua bahasa (lughat) yakni sarā dan asrā yang maknanya berjalan pada malam hari. 
Selanjutnya, kata بِعَبْدِهِ  (bi 'abdihi) yakni Mahasuci Allah yang telah memperjalankan (hamba-Nya). Dalam ayat di atas,  Allah SWT tidak mengatakan nabi-Nya atau rasul-Nya, hal ini dimaksudkan untuk memberikan isyarat atas dua hakikat penting. 
Pertama, penggunaan kata bi ‘abdihi (hamba-Nya) memberikan pemahaman bahwa semua makhluq Allah adalah hamba-Nya, dan pengabdian kepada-Nya merupakan kemulian yang tiada tara. Karena hakikatnya hamba (‘abdun) kepada Tuhannya (rabb) adalah pengabdian kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya. Maka orang yang mengabdi dengan ikhlas ia akan mendapatkan kebahagiaan. Oleh sebab itu, Allah SWT ingin menyampaikan pesan bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi (maqāmat asy-syarīfah) yang dapat dicapai oleh seorang hamba. Di sisi lain, pemakaian kata ‘abdihi juga dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari kesesatan sebagaimana yang dilakukan umat Nabi Isa as yang menganggap bahwa Isa adalah anak Tuhan. 
Kedua, penggunaan kata ‘abdihi dalam surat al- Isrā’ merupakan ungkapan yang utuh yang mencakup ruh dan jasad, oleh sebab itu, Isrā’ adalah peristiwa yang hakiki yang dialami oleh Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga dan bukan mimpi.
Mengenai peristiwa Isrā’ Mi’rāj apakah melibatkan fisik dan ruh, atau hanya ruhnya saja memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa, Rasulullah Saw diperjalankan dengan ruh-nya (fi al-manām), seraya meyakini bahwa mimpi para Nabi adalah sebuah kebenaran (haq). Hal ini merujuk pada pernyataan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ketika ditanya tentang isra’nya Nabi Saw, maka jawabnya adalah Isrā’ adalah mimpi dan yang benar (haq) dari Allah SWT.
Selain itu, Aisyah ra, juga pernah menyatakan bahwa, pada malam tersebut ia tidak kehilangan jasad Rasulullah Saw. Pendapat yang serupa juga didisasarkan pada hadis dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa :
“Pada malam Rasulullah diisrā’kan dari Masjid al-Harām, beliau didatangi tiga orang sebelum menerima wahyu yang pada saat itu beliau tengah tidur di Masjid Harām……………..pada akhir kisah ini, Anas mengatakan, kemudian Rasulullah bangun sedang beliau berada di Masjid al-Harām”.

Pendapat kedua menyatakan bahwa, peristiwa Isrā’ terjadi dengan ruh dan jasad (yaqaḍah), beberapa alasan dikemukakan oleh para ulama untuk mendukung pendapat tersebut.
Pembukaan surat al-Isrā’ dimulai dengan kata سُبْحَانَ, pengucaan tasbih dilakukan saat terjadi perkara-perkara yang besar. Hal ini dilakukan untuk menampik anggapan yang mengatakan bahwa, peristiwa Isrā terjadi dalam kondisi tidur (mimpi). Jika Nabi Muhammad Saw dalam kondisi tidur, berarti hal tersebut bukanlah kejadian yang luar biasa dan bukan sesuatu yang penting. 
Al-Qurṭubī dalam tafsirnya memberikan interpretasi terhadap ayat ( سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ) bahwa, seandainya Rasulullah Saw dalam kondisi tidur, maka firman Allah dalam ayat tersebut tentu menggunakan “rūhi abdihi”. bukan menggunakan kata ‘abdihi yang diistilahkan dengan manusia yang terdiri dari ruh dan jasad. 
Demikian pula dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى

Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melaumpainya.(QS. an-Najm: 17).

Pada ayat di atas, kata al-baṣar bermakna alat material berupa penglihatan, jika dilakukan dalam kondisi tidur maka bukan merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukan pula merupakan mu’jizat. 
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga menyatakan: 

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ

Dan kami tidak menjadikan pandangan mata yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia. .(QS. al- Isrā’[17]: 60).

Menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Ibnu Kaṡīr mengatakan bahwa, kata “ar-ru’yā” dalam ayat tersebut bermakna material berupa pandangan mata (keadaan terjaga) yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada saat di-Isrā’ kan Allah.
Peristiwa Isrā’ terjadi dengan ruh dan jasad (yaqaḍah) juga dikuatkan pula dengan tema sentral kendaraan Rasulullah Saw yang dipakai dalam peristiwa tersebut adalah berupa buraq. Ulama memberikan penafsiran bahwa, buraq merupakan kendaraan yang memiliki kecepatan tingkat tinggi laksana kilat yang bersinar, di mana buraq merupakan kendaraan untuk jasad, karena ruh tidak membutuhkan kendaraan yang dinaiki untuk bergerak menuju tempat tujuan.
Bertolak dari beberapa penjelasan di atas, maka seandanya Isrā’ hanyalah mimpi atau hanya ruhnya saja, tentu bukanlah peristiwa yang menakjubkan, istimewa, dan tidak akan menimbulkan perdebatan ataupun fitnah bagi manusia. Pengucapan tasbih, penggunaan kata ‘abdihi, kendaraan buraq, dan beberapa alasan lain yang memperkuat merupakan bukti bahwa peristiwa tersebut merupakan kejadian yang luar biasa atas kehendak Allah SWT, dan bukan sekedar mimpi Nabi Muhammad Saw belaka.
Dengan demikian, pendapat yang ṣahīh menurut mayoritas ulama adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa, Rasulullah Saw diperjalankan pada malam Isrā’ dengan melibatkan ruh dan jasadnya dalam keadaan terjaga (yaqaḍah), bukan tidur.
Kata لَيْلا  (lailan) dibaca nashab sebagai dzaraf, maknanya sebagian malam. Penggunaan nakirah pada kata lailan (tanpa alif lam (al)/ma’rifat) menunjukan makna bahwa,perjalanan Isrā’ yang dilakukan ditempuh dalam masa yang sedikit (taqlīl al-muddat al-isrā’). Atas pandangan tersebut, para ulama memberikan interpretasi dengan batasan waktu. Ada yang berpendapat hanya 4 (empat) jam perjalanan, ada pula yang berpendapat membutuhkan waktu 3 (tiga) jam, dan bahkan dari mereka ada yang memberikan batasan waktu yang sebentar (lahẓah). 
Kata مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى  (min al-masjid al-harām ilā al- Masjid al-Aqshā) artinya Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad Saw pada sebagian malam dari Masjid al-harām yang terletak di kota Makkah sampai ke Masjid al-Aqshā yaitu Bait al-Maqdis yang terletak di Iliya (sekarang:Palestina) yang merupakan pusat para Nabi sejak Nabi Ibrahim as. Mereka berkumpul di Bait al-Maqdis, dan Nabi Muhammad Saw di daulat menjadi Imam shalat (tahiyatul masjid) di sana. Hal ini menunjukan bahwa, Nabi Saw seorang pemimpin yang agung (imam al-a’dzam) dan terdepan (imam muqaddam).
Masjid al-Aqshā menjadi tempat akhir perjalanan Isrā’ (ghāyah al-isrā’). Disebut al-Aqshā karena letaknya yang jauh dari Masjid al- Harām. Masjid al-Aqshā adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi setelah Masjid al- Harām. Pembangunan Masjid al- Aqshā oleh Nabi Adam as. Jarak pembangunan Masjid al- Harām dengan Masjid al-Aqshā adalah 40 tahun. Lalu perehaban Masjid al-Aqshā dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman as dengan mengadakan perbaikan-perbaikan akibat terkena imbas banjir pada masa Nabi Nuh as, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ibrahim as pada saat mendirikan kembali pilar-pilar Bait al-Harām yang rusak. 
Adapun hikmah perjalanan (Isrā’)nya Nabi Saw sampai di Masjid al-Aqshā adalah untuk menampakan kemuliaan Nabi Saw dari seluruh para Nabi sebelumnya dengan menjadikan beliau Imam shalat di tempat tersebut. Dari kejadian ini terdapat pelajaran yang berharga bahwa, seorang yang didahulukan untuk berada di depan (menjadi pemimpin) adalah mereka yang menjadi tuan rumah, karena ia merupakan pemimpin di tempatnya, dan lebih layak di dahulukan dari pada yang lain. Tentu saja dengan mempertimbangkan kredibilitas, integritas dan memang kompeten dibidangnya.
Selanjutnya kata الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ  (yang telah kami berkahi sekelilingnya). Artinya Allah SWT memberikan keberkahan akhirat (ukhrawi) yakni tempat tersebut merupakan pusat para Nabi sejak Nabi Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan lain-lain. Dan Allah SWT memberikan keberkahan dunia (dunyawi) bagi penduduk-penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut, seperti melimpahnya buah-buahan, tanaman yang subur dan sungai-sungai yang mengalir. 
Kataلِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا  (agar Kami Perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami). Huruf lam yang terdapat pada kata لِنُرِيَهُ  adalah lam hikmah, artinya hikmah atau tujuan Rasulullah Saw diisra’kannya oleh Allah SWT adalah untuk melihat sebagian bukti atau tanda-tanda (ayat-ayat) kebesaran Allah SWT dan ayat-ayat yang menakjubkan dan mempesona (al-‘ajāib al-fakhimah). Hal ini menunjukan atas keagungan dan kekuasaan Allah SWT.
Kata إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير  (Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat). Maksudnya Allah SWT adalah Tuhan yang mendengar atas apa yang dialami Nabi Saw saat beliau didustakan dan dicaci maki oleh penduduk Makkah tentang diperjalankannya Nabi Saw dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqshā. Maka Allah memberikan kenikmatan kepada Nabi Saw dengan memperjalankan (Isrā’) dari Masjid al-Harām ke Masjid al-Aqshā dan (Mi’rāj) naik ke langit disambut para para Nabi, dan melihat keindahan alam malakut yang paling tinggi dari jagat raya ini yang tiada bandingannya, dan sebagai puncaknya bertemu dengan Allah SWT. 
Sedangkan Mi’rāj berarti al-‘urūj atau a-u’ūd (naik). Pengertiannya adalah naiknya Nabi Muhammad Saw dari Masjid al-Aqshā (Bait al-Maqdis) menuju langit ke tujuh sampai ke tempat yang ditentukan yakni Sidrat al-Muntahā.
Menurut Ibnu Kaṡīr, Mi’rāj (naik) nya Nabi Saw dari Masjid al-Aqshā menuju langit tidak menggunakan Buraq sebagaimana yang disangkakan sebagian umat Islam. Sebab, buraq hanya menemani Nabi sampai di Masjid al-Aqshā dan ditambatkan di tiang (depan pintu) masjid (sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi terdahulu saat menambatkan kendaraan yang dinaikinya) untuk di naiki kembali menuju Makkah setelah selesai dari perjalanan Mi’rāj.
Sarana yang digunakan Nabi Saw untuk melanjutkan perjalanan dari Masjid al-Aqshā menuju langit adalah mirqah (sejenis tangga) yang berhias emas dan perak dari sorga firdaus.
Peristiwa Mi’rāj didokumnetasikan dalam QS. An-Najm[53] sebagai berikut:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِندَسِدْرَةِ الْمُنْتَهَى  (١٤) عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥)

Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal (QS. an-Najm [53]:13-15).

            Makna ayat di atas adalah bahwa, Rasulullah Saw melihat[1] bentuk asli Malāikat Jibrīl (yang memiliki enam ratus sayap yang masing-masing sayap menutupi kaki langit, dari dalam sayap jibril bertaburan butir-butir mutiara dan permata) di Sidrat al-Muntahā untuk yang kedua kalinya pada malam beliau di Mi’rajkan oleh Allah SWT. Sebelumnya Nabi Saw sudah pernah melihat bentuk asli Malāikat Jibrīl pada waktu menerima wahyu pertama kali di gua Hira.
            Sidrat al-Muntahā merupakan batas akhir sesuatu yang dinaikan dari bumi, dan batas akhir sesuatu yang turun dari tempat yang ada di atas Sidrat al-Muntahā. Tempat tersebut merupakan hukum tertingi yang dicapai oleh makhluk Allah SWT, dan Rasulullah Saw telah mencapainya.
             Lalu apakah Rasulullah Saw melihat Allah SWT saat malam beliau di Israkan? Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzarr, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Apakah engkau pernah melihat Rabb-mu? ‘Beliau menjawab:  نورا أنى أراه (dalam bentuk cahaya sesungguhnya aku telah melihat-Nya).
            Dan ia juga meriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: “Aku pernah katakana kepada Abu Dzarr: ‘Seandainya aku sempat melihat Rasulullah Saw, niscaya aku akan bertanya kepada beliau. ‘Maka Abu Dzarr bertanya” ‘Tentang masalah apa yang akan engkau tanyakan? ‘Ia menjawab: ‘Aku akan menanyakan: ‘Apakah engkau telah melihat Rabb-mu? ‘Abu Dzarr berkata: ‘Aku telah menanyakan hal itu kepada beliau, maka beliau menjawab: رأيت نورا ‘Aku telah melihat cahaya.”[2]
            Ru’yah (Nabi melihat Allah SWT) pada malam beliau berjumpa dengan-Nya tidaklah terjadi, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis di atas. Hal ini juga sejalan dengan maksud dari QS. An-Najm [53]:18, dan al- Isrā’ [17 ]:1.
لقد رأى من ءاياته الكبرى
Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang paling besar.( QS. An-Najm [53]:18).

لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا  
Agar Kami Perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS.al- Isrā’ [17 ]:1).

Seandainya Rasulullah Saw melihat Rabbnya, niscaya hal itu akan diberitahukan kepada umat manusia, dan akan menjadi tema perbincangan di antara mereka. Wallahu A’lam.
Kisah perjalanan Isrā’ dan Mi’rāj Nabi Muhammad Saw dari Masjid al-Harām ke Masjid al-Aqshā, dilanjutkan ke Sidrat al-Muntahā dituturkan di bawah ini:[3]
Suatu malam, sebelum Nabi Saw di Isrā’kan oleh Allah SWT. Nabi Saw sedang berbaring di hātim[4] bersama Hamzah dan Ja’far bin Abu Thalib. Kemudian didatangi oleh Malāikat Jibrīl, Mīkāīl dan lainnya, dan membawanya ke sumur zamzamlalu dibedah tubuh Nabi dari bawah leher sampai ke bawah pusarn
ya, dan dikeluarkan hatinya, kemudian disucikan dengan air zamzam (tiga kali). Mīkāīl lalu membawakan sebuah baskom terbuat dari emas yang berisi penuh dengan hikmah dan iman. setelah menuangkan sifat santun, ilmu, keimanan dan keislaman. Kemudian dikembalikan lagi seperti semula. Dan setelah Malāikat Jibrīl memasang cap kenabian pada sepasang lengan Nabi Saw, didatangkan Buraq[5]  lengkap dengan kendali dan tali kekang. Barulah Nabi Saw, berangkat dari Masjid al-Harām (Makkah) dengan mengendarai Buraq di sertai Malāikat Jibrīl dan Mīkāīl.
Di tengah perjalanan Nabi dan kedua Malaikat tersebut berhenti di Madinah untuk menjalankan shalat 2 rakaat, lalu melanjutkan perjalanan dan berhenti lagi di Madyan[6] untuk menjalankan shalat 2 rakaat. Setelah itu melanjutkan perjalanan kembali dan berhenti lagi di gunung Turisina[7]Selanjutnya rombongan tiba dan berhenti di sebuah tanah lapang (Betlehem)[8] untuk melakukan shalat 2 raka’at, dari situ nampak  dengan jelas beberapa bangunan istana Syam/Syiria. Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi hingga sampai di Masjid al-Aqshā (Bait al-Maqdis/Palestina).
Sementara itu Buraq di tambatkan di tiang (depan pintu) Masjid, untuk di gunakan saat kembali ke Makkah. Di Masjid al-Aqshā sudah berkumpul para Nabi-nabi terdahulu, dan Nabi Saw di daulat menjadi Imam untuk melaksanakan shalat 2 rakaat. Setelah selesai shalat, sebelum melanjutkan perjalanan (Mi’rāj), Nabi merasa haus, dan ditawari oleh Malāikat Jibrīl untuk memilih minuman antara arak dan susu. Dan minuman susulah yang dipilih Nabi[9].
Bersama Malāikat Jibrīl, Nabi Saw dari Masjid Aqshā dibawa naik menggunakan mirqah (tangga) menuju pintu langit  yang 1 (pertama) atau langit dunia. Sampai di langit 1 (pertama), beliau berjumpa dengan Nabi Adam as, kemudian naik lagi sampai di langit yang ke 2 (dua), dan berjumpa dengan Nabi Isa as, dan Nabi Yahya. lalu naik ke langit ke 3 (tiga), bertemu dengan Nabi Yusuf as. Saat sampai di langit yang ke 4 (empat), beliau berjumpa dengan Nabi Idris, kemudian naik ke langit yang ke 5 (lima) dan berjumpa dengan Nabi Harun as. Sesampainya di langit ke 5 (lima), beliau naik lagi hingga sampai ke langit ke 6 (enam), disana bertemu dengan Nabi Musa as. Pada langit yang ke 7 (tujuh), Nabi Saw bertemu dengan Nabi Ibrahim as.
Setelah ada di langit ke 7 (tujuh),Nabi Muhammad Saw dan Malāikat Jibrīl kemudian naik ke Sidrat al-Muntahā. Di Sidrat al-Muntahā, Nabi Saw, diperlihatkan kondisi telaga kautsar, surga dan neraka. di surga Nabi Saw, melihat beragam kesenangan yang ada di surga. Demikian halnya dengan siksaan yang ada di neraka.
Setelah dari Sidrat al-Muntahā, kemudian naik ke Mustawā, disana beliau mendengar suara goresan-goresan qalam yang digunakan untuk menulis  qadha’ (keputusan) dan hukum-hukum Allah di lauh al-mahfudz. Saat di mustawā, Malāikat Jibrīl berkata kepada Nabi Saw: “Saya tidak bisa mengantarkan engkau ke atas lagi untuk menghadap Allah, karena saya nanti  bisa terbakar oleh nurullah”.
Kemudian Nabi Saw, naik ke atas lagi dengan diliputi oleh awan sampai ke nur al-Arsy, menghadap Allah SWT beliau mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat 50 waktu dalam sehari semalam.
Setelah itu, Nabi Saw turun sampai ke langit ke 7 (tujuh) bertemu dengan Nabi Ibrahim, namun beliau tidak memberikan pesan. Lalu Nabi Saw turun ke langit ke 6(enam), bertemu dengan Nabi Musa as, atas saran Nabi Musa, Nabi Saw, menghadap Allah Swt kembali, memohon keringanan. Hal ini dilakukan sebanyak sembilan kali. Sehingga menjadi lima waktu.
Dari langit ke 6 (enam), Nabi Saw dan Malaikat Jibril kemudian turun sampai ke langit yang ke-1 (pertama), hingga ke Masjid al-Aqsha (baitul maqdis). Lalu melanjutkan perjalanan menaiki Buraq menuju Makkah.[]

Setelah shubuh, Nabi Saw menceritakan pengalaman Isrā’ dan Mi’rāj kepada pengikutnya dan masyarakat Makkah.
Sebagian mereka ada yang beriman, ada pula yang mencibir dan menentang, bahkan menduduh Nabi membuat cerita-cerita palsu. Termasuk diantara mereka yang menentang adalah Abu Lahab. Dan orang yang pertama kali percaya dan iman adalah sahabat Abu Bakar, dari sinilah kemudian julukan as-idīq melekat padanya.
Di dalam QS.al- Isrā’ [17 ]:60, Allah SWT berfirman:

وَمَاجَعَلْنَا الرُّؤيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلاَّفِتْنَةً لِّلنَّاسِ
Dan Kami tidak menjadikan (penglihatan yang dialami Rasulullah Saw. pada waktu malam Isra dan Mi’raj) yang telah Kami Perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia penglihatan yang maksudnya. (QS.al- Isrā’ [17 ]:60).

Wallahu A'lam

REFRENSI
Aṣ-Sāwī, Ahmad bin Muhammad, Tafsīr Hāsyiyah as- Şāwī ‘alā Tafsīr al-Jalālain. Semarang: Toha Putera,t.t.

Ar-Rāzī, Muhammad Fakhruddin, Tafsīr Fakhri ar-Rāzī, Beirut: Dār al-Fikr,1981.

Al-Qurṭubī, Syamsuddin al-Jāmi’ li ahkām al-Qur’an, Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub,2003.

Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Baerut: Dar al-fikr, t.t.

DardīriSayyid Ahmad Syara Bainamā Qiṣṣat al-Mi’rāj, Semarang: Toha Putera,t.t.

Kaṡīr, Ibn Abu al-Fidā Isma’il bin ‘Umar, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, Dār at-Taibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’,t.t.p.,t.t.
Munawir, Ahmad Warson al-Munawir Kamus bahasa Arab –Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,1997.

Al-Qādhi, Abdurrahīm Ahmad, Daqāiq al-Akhbār, Semarang: Toha Putera,t.t.   


[1] Pada QS. An-Najm [53]: 8 disebutkan bahwa, Nabi Saw melihat Malāikat Jibrīl sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.
[2] Lihat, selengkapnya Muslim bin al-Hajjāj Al-Naisapuri, Ṣaḥīḥ Muslim, (Baerut: Dar al-fikr, t.t), jilid I Kitab Iman (hadis no: 291 dan 292).
[3] Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab Iman (hadis no 259).
[4] Hatim ialah hijr ka’bah atau dindingnya,letaknya menurut qaul yang Ṣaḥīḥ antara rukun dan zamzam dan maqam Ibrahim. Sebagian riwayat menyatakan, pada malam itu Nabi Saw berada di rumahnya Umi Hani (puteri pamannya)..
[5] Buraq adalah kendaraan yang dinaiki Nabi Saw pada malam di Israkan. Menurut Sa’id bin Musayyab bahwa, Buraq juga menjadi kendaraan para Nabi-nabi Allah SWT, termasuk kendaraan yang dipakai Nabi Ibrahim as ketika ia pergi menuju Bait al-Haram. Buraq digambarkan seekor binatang yang berwarna putih yang lebih tinggi dari pada keledai dan lebih pendek dari pada bighal. Disebut. Buraq, karena memiliki kecepatan terbang super cepat seperti kilat (al-barq). Ada yang mengatakan (qīl) bahwa, Buraq mempunyai 2 buah sayap yang digunakan untuk terbang, wajahnya seperti wajah manusia, lisannya seperti orang Arab, alisnya lebar, tanduknya besar,kedua telinganya tipis, diciptakan dari zabarjud hijau, kedua matanya hitam bagaikan bintang yang bersinar, ubun-ubunnya dari yaqut merah, dan ekornya seperti sapi dilapisi emas.
[6] Nama desa di daerah Syam/Syiria, tempat tersebut dulu merupakan tempat singgah Nabi Musa as saat keluar dari Mesir karena khawatir akan kekejaman Fir’aun dan sekutunya.
[7] Nama gunung di Syam/Syiria, yakni tempat Nabi Musa as ketika ditetapkan menjadi Rasul.
[8] Tempat Nabi Isa as dilahirkan.
[9] Malaikat Jibril menuturkan: minuman susu adalah perlambang agama Islam, jika engkau memilih arak, maka kelak umatnya akan menjadi manusia yang durhaka.