Sabtu, 25 Oktober 2014

Muharram dalam Pandangan Ulama



Muarram dalam Pandangan Ulama
Oleh: Kang Bahar

As-suyūṭi (w. 911 H) dalam kitab Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, mengutip pernyataan Abu Bakar Ahmad bin Zahir an-Nasā’i (279 H) dalam Tārīkh-nya menyatakan bahwa, ketika Nabi Adam as dikeluarkan dari Sorga dan memiliki banyak keturunan di bumi, maka sistem kalender pada masa itu disebut dengan tahun hubūṭi ādam (dikeluarkannya Adam as dari sorga). Penamaan tahun tersebut berlangsung sampai diutusnya Nabi Nuh as.  Sejak Nabi Nuh as diutus oleh Allah sampai peristiwa banjir bandang (tenggelam) yang membuat binasa orang-orang dimuka bumi, maka masa tersebut disebut dengan tahun ba‘ṡi nuh (diutusnya Nabi Nuh as). Setekah peristiwa tersebut bumi terbelah menjadi tiga bagian. Sejak masa itu sampai datangnya peristiwa nār Ibrahim (Nabi Ibrahim dimasukkan ke dalam Api), maka tahun tersebut dinamai tahun Ṭuffān.
Maka setelah Nabi Ibrahim as memiliki banyak keturunan, penamaan tahun disesuaikan dengan Masa Nabi diutus. Bani Ishaq menamai tahun dimasukannya api Nabi Ibrahim as sampai diutusnya Nabi Yusuf as, dari diutusnya Nabi Yusuf  as sampai diutusnya Nabi Musa as, dari diutusnya Nabi Musa as sampai diutusnya Nabi Sulaiman as, dari Nabi Sulaiman as sampai diutusnya Nabi Isa as, dari masa diutusnya Nabi Isa as sampai  diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Sementara itu, Bani Isma’il menamainya tahun nār Ibrahim (dari dimasukannya Nabi Ibrahim ke dalam api)  sampai pada masa dibangunnya Baitullah oleh Nabi Ibrahim dan Isma’il. Kemudian anak keturunan Bani Isma’il menyebut tahun khuruj (keluarnya kaum) semenjak masa dibangunnya Baitullah sampai keluarnya kaum dari Makkah, Sebagian Bani Isma’il yang lain menaminya dengan tahun khuruj qabilah Sa’id (keluarnya qabilah Sa’id) sampai wafatnya Ka’ab bin Lu’ay (kakek Nabi Saw yang ke tujuh). Semenjak wafatnya Ka’ab bin Luay sampai pada peristiwa tentara bergajah yang bermaksud menghancurkan Baitullah, maka tahun tersebut dinamai tahun gajah (fīl). Penyebutan tahun gajah (fīl) berlangsung sampai pada masa Khalīfah Umar bin Khaṭṭab ra.
Penggunaan kalender Islam (hijriyah), dimulai sejak hijrahnya Rasulullah Saw yang ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khaṭṭab ra.  Masyarakat Arab (quraisy) sebelum datangnya Islam telah menggunakan bulan-bulan yang terdapat pada bulan ((hijriyah), namun mereka tidak menetapkan tahun ke berapa, hanya menetapkan tahun apa, misalnya tahun fīl. Sebagian  lagi menamainya dengan tahun nama bapaknya, misalnya kulāb awāl dan kulāb āni. Sedangkan orang-orang Nasrani menamainya dengan tahun al-iskandar żi al-qarnain (mungkin yang dimaksud: Yunani, bukan żu al-Qarnain yang disebut al-Qur’an sebagai Nabi).[1]
Salah satu riwayat menyebutkan bahwa, penetapan hijriah sebagai kalender Islam, bermula dari Abu Musa Al-Asy’ari (gubernur di masa Khalīfah Umar). menulis surat kepada Khalīfah Umar bin Khaṭṭab, yang isinya menanyakan beberapa surat balasan sebelumnya dari Khalīfah yang hanya tertera tanggal dan bulan saja, tanpa mencantumkan tahun penulisan,
Kritik Abu Musa al-Asy’ari ditanggapi serius oleh Khalīfah Umar, lalu ia mengumpulkan beberapa sahabat pada waktu itu. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Sebagian sahabat mengusulkan maulid Rasulullah Saw. Ada juga yang menyarankan berdasarkan pengangkatan Nabi saw menjadi Rasul (mab’a). Ada pula yang mengusulkan berdasarkan hari wafatnya Nabi Saw,
Sementara itu sahabat Ali bin Abi alib ra mengusulkan berdasarkan momen hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah, Usul tersebut nyatanya disetujui oleh semua para sahabat yang bermusyawarah, sehingga ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Nabi Saw. Sedangkan mengenai penetapan bulan apa sebagai bulan yang pertama dalam mengawali kalender Islam (hijriah), para sahabat berbeda pendapat, sebagian sahabat mengusulkan bulan Rajab karena bulan tersebut diagungkan oleh kaum Jāhiliah, Sebagian yang lain mengusulkan bulan Ramadhan,  Ada pula yang mengusulkan bulan dimana keluar dari Makkah, dan ada pula yang menyarankan saat masuk ke Makkah, Sedangkan Usman bin Affan mengusulkan bulan Muarram sebagai bulan yang pertama dalam kalender Islam,
Usulan sahabat Usman bin Affan ra, diterima oleh semua sahabat, Semenjak itu, Muarram ditetapkan sebagai  bulan yang pertama dalam sistem kalender Islam (penanggalan tahun Hijriah),[2]
Mengenai Muarram, bulan tersebut adalah salah satu dari empat bulan arām atau bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Empat bulan tersebut adalah Żulqadah, Żulijjah, Muarram dan Rajab. Allah Swt berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah:36).
Empat bulan arām (arbaah al-urum) memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah).
Ibnu Kaīr ((w.774 H)  dalam tafsirnya menyatakan:
{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ } في كلِّهن، ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراما، وعَظم حُرُماتهن، وجعل الذنب فيهن أعظم، والعمل الصالح والأجر أعظم                                                                                             
Mengenai ayat { فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ } “maka janganlah janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” .
Allah melarang berbuat ālim di 12 bulan, namun lebih terlarang lagi pada empat bulan ḥarām. Karena pada empat bulan tersebut bulan yang haram dan sangat diharamkan, bermaksiat di bulan ini dosanya akan besar (dilipatgandakan) dan beribadah pada bulan haram pahalanya akan besar pula (dilipatgandakan).[3]
Mengenai bulan Muarram, Abu Bakar Syaṭa’ dalam kitabnya menuturkan:
وإنما سميت حرما لإن العرب كانت تحترمها وتعظمها وتحرم فيها القتال, حتى أن احدهم لو لقى قاتل ابيه او إبنه اوأخيه فى هذه الأشهر, وكان القتال فيها محرما فى صدر الإسلام , ثم نسخ بقوله تعالى : فَإِن تَوَلَّوْاْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتَّمُوهُمْ_____________ وإنما سمى محرما لتحريم الجنة على ابليس                                                                                                                                                                                                       
Bulan Muarram dinamakan “harām”, karena orang Arab sebelum datangnya ajaran Islam, sudah dikenal sebagai bulan yang dimuliakan dan diagungkan oleh kaum Jāhiliyah. Pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan.  Sampai-sampai andaikan seorang bertemu dengan orang yang pernah membunuh bapaknya, anak maupun saudaranya, maka tidak boleh ada persengketaan (balas membunuh). Ketika ajaran Islam datang, kemuliaan bulan Muarram dikembalikan dan ditetapkan, sementara tradisi Jāhiliyah yang lain dihapuskan (naskh) termasuk kesepakatan tidak berperang, sebagaimana terungkap pada ayat:
فَإِن تَوَلَّوْاْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتَّمُوهُمْ -
Apabila mereka berpaling,maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka kamu temukan (an-Nisa:89).
            Abu Bakar Syaṭa’ juga menyatakan bahwa, dinamakan “Muarram” ,karena diharamkannya Iblis masuk sorga.[4]
                Keutamaan Muarram, karena pada bulan ini disunatkan berpuasa, dan sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muarram.
حدثني قتيبة بن سعيد. حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر، عن حميد بن عبدالرحمن الحميري، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  "أفضل الصيام، بعد رمضان، شهر الله المحرم. وأفضل الصلاة، بعد الفريضة، صلاة الليل"
Menceritakan kepadaku Qutaibah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Bisyr, dari Humaid bin Abdurrahman al-Humairi, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muarram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim).[5]
Terdapat pula penjelasan, bahwa puasa pada hari Āsyūra’ (10 Muarram) dapat menghapuskan dosa-dosa yang telah lewat.
عَنْ أَبي قَتَادة الأنصاري رضي اللَّهُ عنهُ أَنَّ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم سُئلَ عنْ صوم يوْمِ عرفة فقال: "يُكفِّر السّنةَ الماضية والباقية" وسئل عَنْ صَوْم يوْم عاشُوراءَ فقال: "يُكفِّر السّنَة الماضية                                                                
Dari Abu Qatadah al-Anshari ra, bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau bersabda: “Puasa Arafah menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat dan akan datang. Dan Rasulullah ditanya tentang puasa  Āsyūra’, beliau bersabda: “Puasa Āsyūra’ dapat menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat. …….....…....”  (HR. Muslim).[6]
Menurut Jumhūr al-‘Ulama, pada mulanya hukum puasa Āsyūra’ adalah wajib, namun setelah turun kewajiban puasa Ramadhan, maka puasa Asyura’menjadi sunnah.[7]  Disunatkan puasa Āsyūra’ (10 Muarram) berdasarkan hadis dari Abu Qatadah tersebut. Sementara itu, disunnatkan pula puasa Tāsūā (9 Muarram) merujuk pada hadis riwayat Ibnu Abbas ra,
فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع.
“Jika datang tahun depan Insyaallah kita akan berpuasa pada hari ke sembilan”. Namun Rasullah Saw wafat dan tidak mendapati tahun depan”. (HR. Muslim).
Para ulama dari kalangan mażhab Syāfi’i telah sepakat bahwa, puasa Āsyūra’ (10 Muarram)  dan Tāsūā (9 Muarram) hukumnya sunnat.[8] 
Pada tanggal (10 Muarram), Allah Swt menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka (Yahudi), riwayat lain (Quraisy Jāhiliah) memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah Saw menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai bentuk rasa syukur atas pertolongan Allah. Beberapa penjelasan mengenai hal ini, dapat ditemui dalam Ṣaḥīḥain.
حدثنا عبد الله بن مسلمة، عن مالك، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان يوم عاشوراء تصومه
قريش في الجاهلية، وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصومه، فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء، فمن شاء صامه ومن شاء تركه.
Menceritakan kepada kami Abdullah bin Musalamah, dari Malik, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah ra, beliau berkata: “Pada hari Āsyūra’ (10 Muarram),  orang-orang quraisy Jahuliah berpuasa, dan Rasulullah Saw pun berpuasa. Maka ketika beliau sampai di Madinah, beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Setelah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka Nabi Saw tidak mewajibkan berpuasa. Barangsiapa yang berkeinginan berpuasa maka lakukanlah, barangsiapa yang berkeinginan tidak puasa maka tinggalkanlah”. (HR. Bukhāri).[9] 
حدثنا أبو معمر: حدثنا عبد الوارث: حدثنا أيوب: حدثنا عبد الله بن سعيد بن جبير، عن أبيه، عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة، فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء، فقال: (ما هذا). قالوا: هذا يوم صالح، هذا يوم نجى الله بني إسرائيل من عدوهم، فصامه موسى. قال: (فأنا أحق بموسى منكم). فصامه وأمر بصيامه.
Menceritakan kepada kami Abu Mu’ammar, menceritakan kepada kami Abdul Waris, menceritakan kepada kami Ayyub, menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas ra, Ia berkata: bahwa, ketika Nabi Saw datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Āsyūra’ (10 Muarram) . Maka Nabi bertanya: “Hari apa ini” ? Mereka menjawab: “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuhnya, maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasulullah Saw kemudian berkata, “Saya lebih berhak mengikuti  Musa as. dari kalian semua.”  Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa”. (HR. Bukhāri).[10]
حدثنا حرملة بن يحيى. أخبرنا بن وهب. أخبرني يونس عن ابن شهاب. أخبرني عروة بن الزبير ؛ أن عائشة رضي الله عنها قالت
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر بصيامه قبل أن يفرض رمضان فلما فرض رمضان، كان من شاء صام يوم عاشوراء ومن شاء افطر
Menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami Ibn Wahab, mengkhabarkan kepadaku Yunus, dari Ibn Syihab, mengkhabarkan kepadaku Urwah bin Zubair, bahwa Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw memerintahkan berpuasa Āsyūra’ (10 Muarram) sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, maka setelah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka barangsiapa yang berkenan puasa Āsyūra’ maka kerjakan dan yang berkeinginan meninggalkan, maka berbukalah”. (HR. Muslim).[11]
وحدثني ابن أبي عمر. حدثنا سفيان عن أيوب، عن عبدالله بن سعيد بن جبير، عن أبيه، عن ابن عباس رضي الله عنهما ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة. فوجد اليهود صياما، يوم عاشوراء. فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم:
 "ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟ " فقالوا: هذا يوم عظيم. أنجى الله فيه موسى وقومه. وغرق فرعون وقومه. فصامه موسى شكرا. فنحن نصومه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فنحن أحق وأولى بموسى منكم" فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم. وأمر بصيامه.
Dan menceritakan kepadaku Ibnu Abi Umar, menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ayyub, dari Abdullah bin Sa’id bin Jubair, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas ra,  bahwa Rasulullah Saw ketika datang ke Madinah, mendapati orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Āsyūra’ (10 Muarram). Maka Rasulullah Saw bertanya kepada mereka “Hari apa ini yang kalian semua berpuasa?”, maka mereka menjawab “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya,  dan pada hari ini Allah menenggelamkan Firaun beserta kaumnya. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah”. Oleh sebab itu kami pun berpuasa. Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Saya lebih berhak mengikuti  Musa as dari pada kalian semua” . Maka Rasulullah Saw berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa. (HR. Muslim).[12]
Walaupun terdapat kemiripan dalam hal ibadah puasa dengan apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi maupun Kaum Quraisy pada masa itu, akan tetapi Rasulullah Saw tetap memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum sebelumnya. Dari penjelasan hadis, Nabi Saw menyarankan agar puasa hari Āsyūra’ diikuti oleh puasa satu hari sebelumnya (Tāsūā /9 Muarram).
وحدثنا الحسن بن علي الحلواني. حدثنا ابن أبي مريم. حدثنا يحيى بن أيوب. حدثني إسماعيل بن أمية ؛ أنه سمع أبا غطفان بن طريف المري يقول: سمعت عبدالله بن عباس رضي الله عنهما يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Menceritakan kepada kami al-Hasan bin Ali al-Halwani, menceritakan kepada kami Ibn Abi Maryam, menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub, menceritakan kepada kami Isma’il bin Umayyah, bahwa Isma’il mendengar Abu Ghathafan bin Tharif al-Murriy berkata: Saya mendengar Abdullah bin Abbas berkata:”Ketika Rasulullah Saw berpuasa Asyura’ dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa, maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, bukankan hari Āsyūra’ (10 Muarram) adalah yang dimuliakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani”. Maka beliau bersabda:”Jika datang tahun depan Insyaallah kita akan berpuasa pada hari ke 9 Muarram.. Namun Rasullah Saw wafat dan tidak mendapati tahun depan”. (HR. Muslim).[13]
Ibnu Ḥajar al-Haitami (w. 973 H) berpandangan bahwa, hikmah disunnatkannya pelaksanaan puasa 9 Muarram (Tāsūā) adalah dimaksudkan agar berbeda dengan kaum Yahudi.[14] An-Nawāwi (W. 677 H) dalam kitab al-Majmūmenyatakan bahwa, menurut para pengikut Syāfi‘i, ada tiga indikator mengenai hikmah dibalik disunnatkannya puasa 9 Muarram (Tāsūā). Pertama, agar berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Yahudi, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11 Muarram. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا
Berpuasalah kalian semua pada hari Asyura’ dan bedakanlah dengan kaum Yahudi, dan puasalah kalian semua pada hari sebelum maupun Āsyūra’ (10 Muarram).
Kedua, dimaksudkan agar menyambungkan Āsyūra’ dengan salah satu hari (sebelum atau sesudahnya), yaitu tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan 11 Muarram. Hal ini dilakukan sebagaimana puasa yang dikerjakan pada hari jum’at. Ketiga,  sebagi bentuk kehati-hatian (iḥtiyā) atas kekawatiran dan penghitungan tanggal (hilāl) Muarram.[15]
            Bertolak dari beberapa riwayat hadis, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah-nya menyimpulkan bahwa, puasa 10 Muarram yang dilakukan oleh Nabi Saw, dapat dilihat dari 4 hal:
1.      Sewaktu Nabi Saw berada di Makkah, dan tidak memerintahkan umatnya untuk berpuasa, berdasar aḥīḥain dan lainnya, dari Aisyah ra, bahwa, pada hari Āsyūra’, kaum Quraisy berpuasa dan Nabi Saw pun berpuasa, hal ini dilakukan pada masa Jāhiliyah (sebelum turun wahyu).
2.      Ketika datang di Madinah, dan melihat kaum Ahlul Kitab berpuasa Āsyūra’, dan Nabi Saw memerintahkan umatnya untuk berpuasa.
3.      Ketika telah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka Nabi Saw, mensunnahkan puasa Āsyūra’.
4.      Azam Nabi Saw dalam usianya, untuk melakukan puasa tanggal 9 Muarram/Tāsūā (menggabungkan dengan 10 Muarramsyūra’), agar berbeda dengan puasa yang dilakukan Ahlul Kitab, namun Nabi Saw wafat sebelum sampai pada tahun berikutnya.[16]
Dari uraian di atas, maka, ada tiga pilihan dalam menyikapi puasa Āsyūra’. Pertama, dapat dilakukan pada tanggal 10 Muarram saja. Kedua, dilakukan tiga hari (9-11 Muarram). Ketiga, dilakukan dua hari yakni 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muarram.
Bulan Muarram adalah bulan mulia, oleh sebab itu, kita anjurkan melaksanakan amalan-amalan yang baik. Menurut sebagian ulama’ terdapat beberapa amalan baik yang dapat dilaksanakan pada hari Āsyūra’ (10 Muarram). di antaranya adalah:
1)     Memakai celak mata
2)     Berpuasa
3)     Shalat (sunnah muthlaq)
4)     Mandi
5)     Berziarah kepada orang shaleh
6)     Bermunajat kepada Allah
7)     Menjenguk orang sakit
8)     Menambah nafaqah keluarga
9)     Bershadaqah
10)Membaca surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali
11)Mengusap kepala anak yatim
12)Membaca ayat kursi sebanyak 360 kali disertai bismillah setiap satu kali
13)Menghidupkan malamnya
14)Mendoakan mayyit.[17]

Wallahu Alam.

Daftar Pustaka

Ad-Dimyaṭi, Abu Bakar Muhammad Syaa’, I’ānah aṭ- Ṭālibīn, Beirut: Dar al-Fikr,1993.
Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjāj aḥīḥ Muslim, [Maktabah Syāmilah).
Al-Asqalani ,Ibnu Hajar, Bulūg al-Marām, Semarang: Toha Putra,t.t.
Al- Bukhāri, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, aḥīḥ Bukhāri, (Maktabah Syāmilah).
Al-Haitami, Ibnu ajar, Tuhfah al-Muḥtāj, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah t.t.
_________________________ Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,1997.
Al- arami Sayyid Abdurrahman bin Muhammad, Bugyah al-Mustarsyidīn, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,t.t.
Jalāl ad-Din As-suyūi , Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, Maktabah al-Adab, ttp.,t.t.
Aṣ-Sanāni, Subul as-Salām,  Mesir :Maktabah Muṣṭafā al-Bābi al-Halabi, 1960.
An-Nawāwi, al-Majmū Syarh al-Muhażżab, Beirut: Dar Ālim al-Kutub,2003.
Kaīr , Ibnu, Tafsīr al-Qur’an al-‘A īm (Maktabah Syāmilah).



[1] Jalāl ad-Din As-suyūi , Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, (Maktabah al-Adab, ttp.,t.t.),hlm.7-10.
[2] Ibid,,hlm, 11-15,
[3] Ibnu Kaīr , Tafsīr al-Qur’an al-‘A īm (Maktabah Syāmilah),jllid IV,hlm.148.

[4] Abu Bakar Muhammad Syaa’ ad-Dimyaṭi, I’ānah aṭ-ālibīn,  (Beirut: Dar al-Fikr,1993), jilid II,hlm.307.

[5] Muslim bin al-Hajjāj Al-Naisapuri, aī Muslim, [Maktabah Syāmilah], hadis no: 1163.

[6] aī Muslim,hadis no: 1166, lihat pula Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulūg al-Marām, (Semarang: Toha Putra,t.t),hlm.137.

[7] Aṣ-Sanāni, Subul as-Salām,  (Mesir :Maktabah Muṣṭafā al-Bābi al-Halabi, 1960),jilid II,hlm.166.

[8] An-Nawâwi, al-Majmū Syarh al-Muhażżab, (Beirut: Dar Ālim al-Kutub,2003),jilid VI,hlm 280.

[9] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al- Bukhāri, aīḥ Bukhāri, (Maktabah Syâmilah), hadis no: 1898 (bab puasa Āsyūra’).

[10] aḥīḥ Bukhāri, hadis no: 1900 (bab puasa Āsyūra’).

[11] aḥīḥ Muslim,hadis no: 1125 (bab puasa Āsyūra’).

[12] aḥīḥ Muslim,hadis no: 1130 (bab puasa Āsyūra’).

[13] aḥīḥ Muslim,hadis no: 1134 (bab puasa Āsyūra’).

[14] Ibnu ajar al-Haitami, Tuhfah al-Muḥtāj, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.t),jilid  I,hlm. 532.

[15] An-Nawāwi, loc.cit.

[16] Ibnu ajar al-Haitami, Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,1997),jilid  II,hlm. 22.

[17] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al- arami, Bugyah al-Mustarsyidīn, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,t.t),hlm.114.