Ahad, 21 April 2013

Pemikiran Pendidikan Menurut Ibn Khaldun

Stain Pekalongan, 21 April 2013.


PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT IBN KHALDUN
Oleh Bahar Segoro
 
I.                   PENDAHULUAN
قال إبن خلدون فى مقدمته
اعلم أن تلقين العلوم للمتعلمين إنما يكون مفيدا إذا كان على التدريج شيئا فشيا قليلا فقليلا يلقى عليه أولا مسائل من كل باب من الفن هي أصول ذلك الباب.ويقرب له فى  سرحها  على  سبيل الاجمال و يراعى في ذلك قوة عقله واستعداده لقبول ما يورد عليه حتى ينتهى الى اخر الفن و عند ذلك يحصل له ملكة في ذلك العلم إلا أنها قريبة و ضعيفة. و غايتها أنها هيأته لفهم الفن وتحصيل مسائله[1].

            Ibn Khaldun mengingatkan kepada para pendidik bahwa “pengajaran bermacam ragam keilmuan akan berguna bila dilaksanakan dengan secara bertahap sedikit demi sedikit. Pertama-tama dikemukakan permasalahan pokok dari tiap bab, kemudian di jelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kemampuan anak didik”.
            Pembelajaran dengan model bertahap dari yang umum (global) menuju ke yang terperinci (parsial) inilah diantara sebagian prinsip proses belajar mengajar yang di terapkan oleh Ibn Khaldun dalam kitabnya.
            Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[2] Begitu besar dan harum nama Ibn Khaldun sehingga dunia pun  tak segan untuk mengakuinya dan mengkaji pemikiran-pemikirannya kembali. Inilah yang akan di sajikan oleh penulis pada  makalah ini , yakni yang berkaitan dengan pemikiran pendidikan Ibn Khladun, meliputi riwayat hidup Ibn Khaldun dan  karyanya, tujuan pendidikan , prinsip-prinsip proses belajar mengajar dan metode pembelajaran yang beliau tuangkan dalam kitabnya.

II.           PEMBAHASAN
A.                Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Sebelum kita mengkaji tentang pemikiran pendidikan menurut Ibn Khaldun, terlebih dahulu penulis ketengahkan riwayat hidup Ibn Khaldun dan sekilas penjelasan  tentang karyanya.
Ibn Khaldun adalah seorang yang sejak kecil haus akan ilmu pengetahuan, selalu tidak puas dengan ilmu yang telah diperolehnya, sehingga memungkinkan beliau mempunyai banyak guru. Tidak heran jika beliau termasuk orang yang pandai dalam ilmu Islam, tidak saja dalam bidang agama, tetapi juga bidang-bidang umum, seperti sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain (A. Susanto,2009:45).
Ibn Khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M dari keluarga ilmuan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu. Sebelum menyebrang ke Afrika, keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad. Dengan latar belakang keluarganya yang demikian. Ibn Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat. Pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan. Kedua, cinta jabatan dan pangkat. Menurut H. Ramayulis dan Samsul Nizar (2009: 281) kedua faktor tersebut sangat menentukan dalam perkembangan pemikirannya.[3]
Menurut Abuddin Nata, Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang di tandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah memberikan kerangka berpikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.[4]
Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ia berkecimpung dalam bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik serta menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian (Abd Al-Rahman Ibn Khaldun, jilid 1,t.th.:10-11). Ia ahli dalam bahasa dan sastra Arab, ia meninggal pada 794 H/1384 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika ayahnya meninggal, Ibn Khaldun baru berusia 18 tahun.[5]
 Selanjutnya pada 1.362 Ibn Khaldun menyebrang ke Spanyol dan bekerja pada Raja Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepada Ibn Khaldun. Tetapi Khaldun memilih tawaran yang sama dari raja Granada. Kesananalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.
Khaldun tidak lama di Granada, kecakapan dan prestasinya yang diperlihatkan selama itu telah menimbulkan iri hati Perdana Menteri, itulah sebabnya ia kembali menyebrangi Gibraltar untuk kembali ke Afrika, kemudian ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Sultan Aljazair, Bongi. Namun antara tahun 1.362-1.375 bukanlah masa tenang dalam kehidupan Khaldun. Pada masa-masa itu pergolakan-pergolakan politik yang sering ditandai dengan pembunuhan dan penumbangan kekuasaan telah menyebabkan ia berganti tuan, kesetiaan dan sempat mengembara ke Maroko dan spanyol, hidup dengan kabilah-kabilah Badui di Aljazair, dan beberapa kali memimpin pasukan tentara dalam medan pertempuran.
Ketenangan hidup baru ia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Namun, oleh karena ia menghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di Granada, maka ia memutuskan diri untuk naik haji.[6]
Pada tahun 1382, ia melaksanakan ibadah haji. Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke Iskandariah dan selanjutnya ke Mesir, ia kemudian di angkat menjadi ketua Mahkamah Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal sebagai filsuf, Ibnu Khaldun dikenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan.[7] Hal ini antara lain terlihat dari pengalamannya sebagai pendidik yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada tahun 1406, Ibn Khaldun meninggal dunia di Mesir dalam usia 74 tahun (Ramayulis dan Samsul Nizar, 2009: 282)
Ibn khaldun mengawali pendidikannya dengan membaca al-Qur’an, Hadis, fiqih, sastra, nahwu sharaf pada sarjana-sarjana terkenal pada waktu itu. Tunisia pada waktu itu merupakan pusat ulama dan sastrawan di daerah Maghrib. Dan ,umur 20 tahun ia bekerja sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko. Akan tetapi, setelah Tunisia dan sebagian besar kota-kota di Masyriq dan Maghrib dilanda wabah pes yang dahsyat pada 749 H, mengakibatkan ia tidak dapat melanjutkan studinya. Bahkan dalam peristiwa tersebut ia kehilangan orang tuanya dan beberapa orang pendidiknya. Dengan kondisi yang demikian, pada tahun 1362 ia pindah ke Spanyol.
Di antara pendidik Ibn Khaldun yang terkenal adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Saad Ibn Burral al-Anshari. Darinya ,ia belajar al-Qur’an dan Qira’ah al-sab’ah. Selain itu, gurunya yang lain adalah Syeikh Abu Abdullah Ibn al-Arabi al-Hasyiri, Muhammad al-Syawwas al-Zarazli, Ahmad Ibn al-Qassar, Syaikh Syamsudin Abu Abdullah Muhammad al-Wadisyasyi (belajar ilmu hadis, bahasa Arab, fiqih), dan Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Salam (belajar kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik), Muhammad Ibn Sulaiman al-Satti, Abd al-Muhaimin al-Hadrami dan Muhammad Ibn Ibrahim al-Abili (belajar ilmu-ilmu pasti, logika dan seluruh ilmu/teknik kebijakan dan pengajaran di samping dua ilmu pokok al-Qur’an dan Hadis. Di antara sekian banyak pendidik tempat Ibn Khaldun menimba ilmu, ada dua orang yang di anggap paling berjkasa terhadapnya ,yaitu Syaikh Muhammad  Ibn Ibrahim al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan Syaikh Abdul Muhaimin Ibn al-Hadrami dalam ilmu-ilmu agama. Dari kedua pendidik tersebut, ia mempelajari kitab-kitab hadis seperti al-kutub al-sittah dan al-Muwattha’ (Ramayulis dan Samsul Nizar,2009: 283).[8]
B.            Sekilas Tentang Karya Ibn Khaldun
Karya tulis Ibn Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq, dan ringkasan filsafat Ibn Rusyd,juga mengarang tentang fiqih, matematika,kesusasteraan Arab, sejarah dan ilmu hitung. Tetapi yang sampai kepada kita hanyalah sebuah karangan yang masyhur yang telah kita kenal , yaitu kitab tentang ungkapan dan pranata dasar dari masyarakat Arab dan non Arab, Barbar beserta para pemegang kekuasaan besar pada masanya. Sebagaimana ungkapan beliau yang masyhur yaitu :
العبر وديوان المبتدء والخبر فى أيام العرب والعجم والبربر ومن عاصرهم من ذوالسلطان الآكبر[9]
Ibn Khaldun kemudian menulis sebuah kitab tentang sejarah hidupnya sendiri dengan judul “Perjalanan Ibn Khaldun di negara-negara Maghribi dan di Timur”
رحلة ابن خلدون فى المغرب والمشرق
Juz pertama dari kitab ini adalah dikenal dengan “Muqaddimah” yang menjadikan diri beliau terkenal baik dikawasan Negara Timur maupun di Barat. beliau membagi “Muqaddimah”nya yang terkenal itu menjadi bagian yang membahas tentang ilmu sejarah, yang terdiri dari 6 pasal yakni pada pasal pertama tentang kehidupan manusia menurut jumlah,dan jenis-jenis penyebarannya di bumi. Dan yang kedua ialah tentang kehidupan orang Baduwi dan kabilah-kabilahnya dan bangsa-bangsa primitiv. Yang ketiga ialah tentang Negara dan kerajaan dan disebutkan pula tentang tingkat-tingkat kekuasaannya. Yang keempat ialah tentang kehidupan peradaban,kota-kota dan tempat-tempat tinggal, dan yang kelima ialah tentang pekerjaan, penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi, yang keenam ialah tentang ilmu pengetahuan dan cara-cara memperolehnya.[10]
Pembahasan berikutnya adalah berkaitan dengan pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan yang tersaji pada makalah ini, meliputi tujuan pendidikan, kurikulum dan klasifikasi ilmu ,prinsip-prinsip dalam proses belajar mengajar. Dan metode pembelajaran yang seharusnya menjadi perhatian dan rujukan  bagi setiap pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Dan sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa pokok-pokok pemikiran  Ibn Khaldun sangat brilian dan gamblang yang hanya dapat mampu dikenali oleh orang-orang cermat dan analitik.
C.           Pemikiran[11] Ibn Khaldun Tentang Pendidikan
1.                  Tujuan Pendidikan
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dalam bukunya menyatakan bahwa menurut Ibn Khaldun tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik.[12]
Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Alloh sebagai “sunnatullah”.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniyah dan jasmaniyah, juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan/pertumbuhannya.[13]
Pendidikan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life). Diantara pandangan hidup adalah rasionalisme. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa kebenaran diperoleh melalui akal dan di ukur dengan akal. Atau akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran.
Pendidikan harus mampu mendidik manusia menjadi manusia. Tujuan pendidikan ialah meningkatkan derajat kemanusiaan manusia. Sebenarnya manusia yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi yang dapat disebut manusia.[14] Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut :
a)             Tujuan Peningkatan Pemikiran
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktifitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan ketrampilan. Dengan menuntut ilmu dan ketrampilan ,seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Di samping itu, melalui potensinya ,akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. melalui proses belajar, manusia senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan menginventarisasikan ketrampilan-ketrampilan yang dikuasainya untuk memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagai hasil dari aktivitas akal manusia (Ibn Khaldun, Jilid 1,t.th:1018-1019). Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berpikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.[15]
b)             Tujuan Peningkatan Masyarakat
Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia (Ibn Khaldun, Jilid 1,t.th,:1018). Ilmu dan pengajaran sangat di perlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, semakin bermutu dan dinamis pula ketrampilan masyarakat tersebut (Ibn Khaldun, Jilid 1,t.th,:1021). Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan ketrampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya.
Jadi eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan. Disamping bertujuan meningkatkan segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyarakat  ke arah yang lebih baik.[16]
c)             Tujuan Pendidikan Dari Segi Keruhanian
Tujuan pendidikan dari segi keruhanian adalah dengan meningkatkan keruhanian manusia dengan menjalankan praktek ibadah, dzikir, khalwat (menyendiri), dan mengasingkan diri dari khayalak ramai sedapat mungkin untuk tujan ibadah sebagaimana yang dilakukan para sufi (Ibn Khaldun,Jilid 1,t.th:1097).
Disini jelas, bahwa Ibn Khaldun tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana perolehan ilmu ansich, melainkan pendidikan dipandang sebagai investasi masa depan dan memiliki keterkaitan dengan pekerjaan (promise of job), disamping tentu saja pembentukan kepribadian dan pembimbing menuju berpikir dan berbuat yang benar.[17]
2.             Kurikulum Pendidikan Dan Klasifikasi Ilmu
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi (1995:1930), kurikulum pendidikan adalah seluruh program pendidikan yang didalamnya tercakup  masalah-masalah metode, tujuan, tingkat pengajaran, materi pelajaran setiap tahun ajaran, topik-topik pelajaran, serta aktivitas yang dilakukan siswa pada setiap materi pelajaran. Ibn Khaldun membuat klasifikasi ilmu dan menerangkan pokok bahasannya bagi peserta didik. Ia menyusun kurikulum yang sesuai sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Hal ini dilakukan karena kurikulum dan sistem pendidikan yang tidak selaras dengan akal dan kejiwaan peserta didik akan menjadikan mereka enggan dan malas belajar. Berkenaan dengan hal tersebut, Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi tiga macam :
Pertama, kelompok ilmu lisan (bahasa) :ilmu tentang tata bahasa (gramatika). Sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
Kedua, kelompok ilmu naqli : ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
Ketiga, kelompok ilmu ‘aqli ;ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berpikir[18] Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal.(Ramayulis dan Samsul Nizar,2009:284).[19]
Klasifikasi ilmu tersebut menurut Azyumardi Azra bukan dimaksud mendikhotomi ilmu antara satu dengan yang lain, melainkan klasifikasi tersebut menunjukan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban Islam. Dalam konteks ini ,ilmu agama Islam merupakan salah satu saja dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan.[20]
Ibn Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu :  
a)      Al-Qur’an
b)      ‘Ulumul Qur’an
c)      ‘Ulumul Hadis
d)     Ushul Fiqh
e)      Fiqh
f)       Ilmu Kalam
g)      Ilmu Tasawuf
h)      Ilmu Ta’bir al-Ru’ya.[21]
Suatu hal yang amat penting diperhatikan adalah bahwa Ibn Khaldun mempunyai dualitas sikap terhadap ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Terkait dengan ilmu pertama ia menganggapnya sebagai sesuatu yang disyari’atkan oleh Tuhan pada kita (masyru’at lana). Termasuk kedalam ilmu ini adalah ilmu-ilmu syar’iyyah yaitu Kitab Suci, Hadis, dan ilmu-ilmu pendukungnya, lalu ilmu kebahasa-araban, karena bahasa Arab merupakan bahasa “Agama” dan bahasa Kitab Suci[22].
Adapun ilmu-ilmu ‘aqli dibaginya menjadi empat kelompok :
1)      Ilmu Mantik (Logika) yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui (generalisasi dan inferensi) agar tdak mengalami kesalahan, kegunaan ilmu ini adalah memilah-milah antara yang benar dan yang salah menyangkut objek penalaran seseorang, untuk bisa sampai pada realitas yang dijangkau akal pikirnya.
2)      Ilmu Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawiah, baik berupa unsur-unsur atomok, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam dan jiwa manusia yang menimbulkn gerak, dan sebagainya.
3)      Teologi (ilmu ketuhanan dan metafisika), yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
4)      Ilmu matematik. Ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’alim, yakni :
a.       Ilmu Ukur (al-Handasah) yaitu hasil pemikiran tentang seluk-beluk ukuran secara umum;panjang pendeknya sesuatu, baik satu dimensi atau dua dimensi baik sebagai satuan-satuan atau tersusun.
b.      Ilmu Aritmatika, yaitu ilmu tentang seluk beluk hitungan.
c.       Ilmu Musik, yaitu pengetahuan tentang nada, suara, penataan keduanya dan penyusunan lagu.
d.      Astronomi ,yaitu penentuan bentuk benda-benda angkasa,jumlahnya, kecepatan geraknya, rotasi dan orbitnya.[23]
Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid. Pandangannya itu di dasarkan asumsi bahwa ilmu tersebut dapat dipergunakan untuk mengamalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal ini merupakan sesuatu yang batil dan berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah.
Menurut Ibn Khaldun ,mempelajari ilmu-ilmu ‘aqli (rasio) dipandang sebagai sesuatu yang lumrah bagi manusia dan tidak hanya milik suatu agama. Ilmu-ilmu ‘aqli (rasio) dipelajari oleh penganut seluruh agama. Mereka sama-sama memenuhi syarat untuk mempelajari dan melakukan penelitian terhadap ilmu-ilmu ‘aqli (rasio). Ilmu-ilmu ini telah dikenal manusia sejak peradaban dikenal oleh manusia di dunia ini. Ia menyebut bahwa ilmu-ilmu ‘aqli (rasio) merupakan ilmu-ilmu filsafat dan kearifan.[24]
3.             Prinsip-Prinsip Dalam Proses Belajar Mengajar
Ibn Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai suatu hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa.prinsip-prinsip tersebut secara garis besarnya meliputi beberapa hal sebagai berikut. [25]
Pertama, pentahapan dan pengulangan. Mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang di ajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak tersebut serta kesiapan kemampuan menerima apa yang di ajarkan.
Kemudian guru mengulangi lagi ilmu yang di ajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai pada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas, setelah itu beralih dari uraian yang global kepada uraian yang hingga tercapai tujuan akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi pelajaran tersebut, sehingga tidak adalagi terdapat kesulitan murid/anak untuk memahaminya dan tak ada lagi bagian-bagian yang di ingatkan.[26]
Kedua, tidak membebani pikiran siswa. Dalam masalah ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa pemikiran manusia tumbuh dan berkembang secara berproses (bertahap). Dan, hal ini akan mempengarui pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya. Ini semua akan kembali pada bagaimana dan sejauh mana perkembangan dan kesuksesan tersebut berkembang secara positif dan negatif. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya selalu mempersiapkan cara yang akan dipergunakan dan dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu secara bertahap. Terutama ketika ia berusaha memberikan materi baru atau pengetahuan baru, yang tentunya akan memberikan beban tambahan dalam proses penerimaan pengetahuan dan materi lainnya.[27]
Ketiga, tidak pindah dari satu materi ke materi lain[28] sebelum siswa memahaminya secara utuh. Dalam hal ini ,Ibn Khaldun mengaskan bahwa dalam proses belajar mengajar seorang siswa merupakan objek, seorang guru tidak dianjurkan berpindah pada materi yang baru sebelum ia yakin bahwa siswanya telah paham terhadap materi pelajaran yang lalu. Hal tersebut di tandai dengan bertambahnya tingkat kemampuan yang dimiliki seorang siswa dan daya kesiapan yang dimilikinya.[29]
Keempat, lupa merupakan hal biasa dalam belajar. Solusinya adalah dengan sering mengulang dan mempelajarinya kembali. Ibn Khaldun dengan prinsip belajar mengajarnya, menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan terhadap proses pendidikan potensi yang dimiliki seorang siswa. Pendidikan terhadap potensi pada individu menuntut agar siswa tersebut memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut tentu membutuhkan proses waktu. Sementara, waktu juga berperan secara negatif terhadap memori seseorang. Namun ,hal negatif tersebut dapat diselesaikan dengan senantiasa mengulang kembali tanpa adanya pemisahan tepat dan memutuskannya.[30] Pengulangan secara bertingkat ini, menurut pendapat Ibn Khaldun sangat besar faedah dalam upaya menjelaskan dan memantapkan untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah kemahiran anak dalam mengamalkannya, serta mengambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa kali (tiga kali) adalah karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau seni berlangsung secara bertahap.[31]
Kelima, tidak bertindak keras terhadap siswa. Menurut Ibn Khaldun, tindakan keras atau kasar terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya sikap rendah diri, dan mendorong seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan buruk. Menurutnya siapapun yang mendidik dengan proses kekerasan dan pemaksaan yang di tunjukannya akan mengakibatkan seseorang mempunyai sifat dusta dan buruk, sehingga membuat seseorang memiliki ruang gerak yang sempit. [32]
Metode Dalam Pembelajaran
            Menurut Ibn Khaldun , pengajaran tidak selamanya disampaikan melalui ceramah, tetapi perlu ada metode praktik langsung, metode tersebut oleh Ibn Khaldun dianggap lebih mengena dan lebih merasuk. Disinilah maka Ibn khaldun menyarankan perlunya “wisata akademik” atau study tour wawasan keilmuan (sharing ideas). Ibn Khaldun menyatakan : “wisata akademik adalah untuk mencari nilai tambah dengan berjumpa dengan para pakar secara langsung.[33]
            Dari aspek metode, Ibn Khaldun tidak menyukai pembelajaran dengan menggunakan sistem hafalan, karena dianggap tidak efektif dan efiesen. Hal ini telah dibuktikan dengan riset yang pernah dilakukan di Maroko dan Tunis. Di Maroko pendidikan dasar ditempuh 16 tahun sementara di Tunis hanya 5 tahun. Tetapi hasil yang dicapai sama saja. Di Marokko metode yang digunakan bersifat verbalistik, hafalan, sementara di Tunis menggunakan metode diskusi, dialog dan demonstratif.[34]
            Adapun metode yang membawa pengaruh positif terhadap pengajaran adalah memulai dengan yang umum (global) kemudian berangsur-angsur ke arah terinci. Hal ini penting, sebab secara naluri, manusia selalu melihat sesuatu berangkat yang umum dulu, baru setelah itu sampai pada yang detail-detail.
            Ibn Khaldun juga menyarankan perlunya metode dialog dan diskusi dalam pembelajaran. Metode ini menurut Ibn Khaldun sangat bermanfaat dan merupakan metode paling efektif dalam pembelajaran. Ada hal penting lagi yang menutut Ibn Khaldun perlu dipersiapkan sebelum memulai mengajar, yaitu berdoa, yang ini sering dilupakan oleh banyak orang. Jika hal ini dilakukan, menurut Ibn Khaldun akan menghantarkan kita kepada pencerahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan (nur) yang akan memudahkan proses tranfer of knowledge. Para ulama dulu tidak belajar dan mengkaji ilmu kecuali mereka memulai dengan pensucian hati dan berdoa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, Zat pemilik cahaya itu.[35]
            Demikianlah beberapa hal yang terkait dengan pemikiran pendidikan yang di kemukakan oleh Ibn Khaldun dalam kitab al-Muqaddimahnya.

III.        KESIMPULAN
            Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa, Ibn Khaldun nama lengkapnya  Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M dari keluarga ilmuan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan.
            Pemikiran pendidikan Ibn Khaldun berpijak pada asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya “tidak tahu” (jahil), ia menjadi “tahu” (‘alim) dengan belajar.        Berkaitan dengan klasifikasi ilmu, Ibn Khaldun mempunyai dualitas sikap terhadap ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Terkait dengan ilmu pertama ia menganggapnya sebagai sesuatu yang disyari’atkan oleh Tuhan pada kita (masyru’at lana. Mengenai ilmu ‘aqli (rasio) dipandang sebagai sesuatu yang lumrah bagi manusia dan tidak hanya milik suatu agama. Ilmu-ilmu ‘aqli (rasio) dipelajari oleh penganut seluruh agama.
Dalam hal  prinsip-prinsip proses belajar, secara garis besarnya meliputi beberapa hal: 1) adanya penahapan dan pengulangan secara berproses, yang harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan tema-tema yang di ajarkan secara bersamaan. 2) tidak membebani pikiran siswa. 3) tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahaminya secara utuh. 4) lupa merupakan hal biasa dalam belajar. Solusinya adalah dengan sering mengulang dan mempelajarinya kembali. 5) tidak bertindak keras terhadap siswa.
Dari aspek metode, Ibn Khaldun tidak menyukai pembelajaran dengan menggunakan sistem hafalan, karena dianggap tidak efektif dan efiesen. Adapun metode yang membawa pengaruh positif dan paling efektif adalah memulai dengan yang umum (global) kemudian berangsur-angsur ke arah terinci dan dengan metode keteladanan serta metode dialog dan diskusi.
                                 
IV.        DAFTAR PUSTAKA
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi Penerjemah Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah),Jakarta: PT Rineka Cipta 2002.
Arifin, Muzayyin Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: PT Bumi Aksara,2009.
Khaldun ,Ibn, al-Muqaddimah, Bait al-Funun wal Adab,2005,juz iii, [ttp].
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011.
Langgulung, Hasan,  Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam ,Bandung: PT Al- Ma’arif,1980.
Nata, Abuddin ,Filsafat Pendidikan Islam ,Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam ,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004.
Ridla,Muhammad Jawwad ,Penerjemah Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang:UIN-Malang Press,2009.
Tafsir, Ahmad,  Filsafat Pendidikan Islam ,Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2006.




[1] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah (Bait al-Funun wal Adab,2005),juz iii,hlm.213 [ttp]
   [2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997),hlm.175.
  [3] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011),hlm.99-100.
  [4] Abuddin Nata, op.cit.,hlm.171.
  [5] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,loc.cit.
[6] Abuddin Nata,op.cit.,hlm.172.
   [7] Menurut Hasan Langgulung, Ibn Khaldun bukan hanya seorang filosof sosial saja tetapi ia adalah seorang ahli sosial yang menciptakan ilmu masyarakat (sociology)  dengan dasar-dasarnya yang di mengerti oleh orang sekarang. Tidak seorangpun mendahuluinya dalam hal ini. Ahli-ahli sosiologi yang muncul kemudian, dari orang-orang Barat sendiri, melupakan atau mengabaikannya dalam berbagai teori sosial. Atau mereka lupa sama sekali kepada hukum peradaban yang ditemukannya pada abad ke delapan Hijrah atau abad ke empat belas Masehi, sewaktu ilmu-ilmu sosial Eropa dan Amerika sudah berkembang pesat barulah ahl-ahli ilmu menyadari nilai fikiran dan pendapat, keunggulan undang-undang menyeluruh dan jauhnya pandangan Ibn Khaldun yang di kemukakannya dalam bukunya yang masyhur :Muqaddimah”.[lihat, Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: PT Al-Ma’arif,1980),hlm.123].
  Berikut ini penulis kemukakan mengenai sifat-sifat dan akhlak Ibn Khaldun. Menurut pendapat Lisanuddin bin al-Katib, sebagaimana yang dikutip Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, bahwa Ibn Khaldun adalah seorang pria yang baik akhlaknya, penuh dengan keutamaan, besar rasa malu (wira’i), memiliki gaya hidup yang khas, hati-hati dalam bertindak agar tidak salah, sulit untuk dipimpin, pandai berbicara yang penuh dengan nasehat, maju dalam ilmu-ilmu ‘aqliyah dan naqliyah, teliti dalam pembahasan (analisa), banyak hafalan, penulis hat yang cemerlang, memiliki daya tarik untuk dihormati orang lain, terutama dalam pergaulan /diplomasi. [Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi Penerjemah Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah),(Jakarta: PT Rineka Cipta 2002),hlm.185-186].
[8] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.101-102.
   [9] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi ,op.cit.,hlm.192.
[10] Ibid,hlm.193.
   [11] Pemikiran pendidikan Ibn Khaldun berpijak pada asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya “tidak tahu” (jahil), ia menjadi “tahu” (‘alim) dengan belajar. Artinya ,manusia adalah jenis hewan, hanya saja Allah telah memberinya keistimewaan akal pikir sehingga memungkinkannya bertindak secara teratur dan terencana, yaitu berupa akal “pemilah” (al-‘Aql al-Tamyizi) atau memungkinkannya mengetahui ragam pemikiran dan pendapat, ragam keuntungan dan kerugian dalam tata relasi dengan sesama, yaitu berupa akal eksperimental (al-‘Aql al-tajribi) atau juga menjadikannya mampu mengkonseptualisasikan realitas empiris dan non empiris, yaitu berupa akal kritis. Akal pikir demikian berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna “kehewanannya” yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia tidak mempunyai pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai “hewan” karena terdapat kesamaan dalam proses kejadiannya dari sperma, segumpal darah, sekerat daging dan seterusnya. Jadi pemberian Tuhan pada manusia berupa cerapan inderawi dan penalaran itulah yang disebut akal pikir. .[Muhammad Jawwad Ridla, Penerjemah Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,(Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.184].
  Menurut Ibn Khaldun ,sebagaimana yag dikutip oleh Abuddin Nata,bahwa yang membedakan manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang tidak. Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari penghidupannya, dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah timbulnya ilmu pengetahuan. [Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.251].
   [12] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,(Malang:UIN-Malang Press,2009),hlm.247.
[13] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara,2009),hlm.12.
   [14]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2006),hlm.46.
[15] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.103.
   Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana yang di kutip Muhammad Jawwad Ridla,manusia mempunyai kelebihan dibanding makhluk lainnya, karena kemampuan idrak yang dimilikinya, ia juga memiliki akal pikiran yang berpusat pada sistem saraf otak, sehingga mampu melakukan apersepsi, abstraksi dan imajinasi. Aktivitas berpikir adalah proses kejiwaan dibalik pencerapan inderawi dan proses “mondar-mandir” Kognitif, mengabstraksi dan mensistematisasi cerapan inderawi. Inilah yang di sebut dengan “al-af’idah” dalam firman Allah : “waja’ala lakumus sam’a wal abshara wal af’idah”. Kata al-af’idah adalah merupakan bentuk plural kata al-fu’ad yang berarti al-fikr (berpikir, akal pikiran).
Kiranya sangat penting disini mempertegas pembedaan yang dimaksud oleh Ibn Khaldun antara al-idrak, yang berarti kesadaran subjek akan sesuatu di luar dirinya, dengan al-fikr yang merupakan sarana subjek (manusia), mengabstrasikan cerapan-cerapan inderawi untuk konseptualisasi dan sistematisasinya. Oleh karena itu ,untuk melengkapi fungsi kompleks al-fikr tersebut, Ibn Khaldun menjelaskan tiga tingkatan berjenjang yang distingtif yaitu :
1.     al-‘aql al-tamyizi (akal pemilah)
2.     al-‘aql al-tajribi (akal eksperimental)
3.     al-‘aql al-nadhari (akal kritis).
Ibn Khaldun menempatkan al-‘aql al-tamyizi pada peringkat terbawah dari tingkatan akal, karena kemampuannya hanya terbatas pada mengetahui hal-hal luar yang bersifat empiris inderawiah. Konsep-konsep yang di hasilkan taraf berpikir ini umumnya berupa tashawwurat, yang mengarah pada perolehan keuntungan dan pencegahan madlarat.
                Adapun tingkatan kedua dari berpikir (al-fikr) ialah berpikir yang menghasilkan gagasan pemikiran cemerlang dan moralitas etik bagi tata pergaulan bersama. Sebagian banyak taraf berpikir ini menghasilkan tashdiqat yang di simpulkan dari eksperimentasi sedikit demi sedikit secara berkelanjutan hingga mencapai kesempurnaan dan kegunaan. Pada taraf berpikir inilah operasionalisasi al-‘aql al-tajribi, yakni akal yang di bangun dari pengalaman.
                Adapun taraf yang ketiga dari berpikir (al-‘aql al-nadhari) adalah proses berpikir yang membuahkan keimuan atau asumsi kuat akan hal ‘meta-empiris’ (abstrak filosofis) yang merupakan kompleksitas hubungan dari berbagai tashawwur dan tashdiq hingga membangun disiplin keilmuan tertentu. Orientasi yang di tuju adalah konseptualisasi realitas sebagaimana adanya sempurna menjadi akal ‘murni’ yang tercerahkan. Disinilah hakikat kemanusiaan.[Muhammad Jawwad Ridla, op.cit.,,hlm.176-178].
[16] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.103-104.
[17] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,op.cit.,hlm.248.
   [18] Jenis ilmu yang bersifat alami bagi manusia, yaitu ilmu-ilmu yang diperoleh manusia lewat bimbingan penalaran akal pikirnya. Termasuk ke dalam jenis ilmu ini adalah filsafat dan teosofi (hikmah). Jenis ilmu ini diperoleh manusia dengan kemampuan akal pikirnya.lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
Jenis ilmu naqli (transmited) dari orang yang menghasilkannya. Jenis ini meliputi ilmu-ilmu al-naqliyyah al-wahidiyyah, yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada “warta” otoritatif Syar’I (Tuhan/Rasul) dan akal pikir manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya” kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Itupan masih berada dalam kerangka dictum dasar “warta” otoritatif tersebut. .[Muhammad Jawwad Ridla, op.cit.,,hlm.186].
[19] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.104-105.
[20] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,op.cit.,hlm.247.
[21] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,loc.cit.
             Berkaitan dengan penjelasan lengkapnya tentang ilmu-ilmu naqli, termaktub dalam kitab al-Muqaddimah juz iii. Berikut ini penulis tertarik untuk mengemukakan tentang “ta’bir ar-ru’ya” yang menurut Ibn Khaldun dikelompokan dalam ilmu naqli atau ilmu syar’i. Menurutnya ilmu “ta’bir ar-ru’ya”  sudah ada pada masa khalaf dan salaf, dan Nabi Yusuf as, pun mentafsirkan mimpi (ta’bir ar-ru’ya) seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Demikian pula di jelaskan dalam hadis nabi Muhammad saw.  lihat selengkapnya dalam al-Muqaddimah juz iii, hlm.65 (fasal 6, pembahasan yang ke 17) yakni :
علم تعير الرؤيا
هذا العلم من العلوم الشرعية و هو حادث في الملة عندما صارت العلوم صنائع و كتب الناس فيها. و أما الرؤيا و التعبير فقد كان موجودا في السلف كما هو في الخلف و ربما كان في الملوك و الأمم من قبل . إلا أنه لم يصل إلينا للاكتفاء فيه بكلام المعبرين من أهل الإسلام.و إلا فالرؤيا
موجودة في صنف البشر على الإطلاق و لابد من تعبيرها وقد كان يوسف الصديق صلوات الله عليه يعبر الرؤيا كما وقع فى القرأن وكذا ثبت فى الصحيح عن النبى صلى الله عليه وسلم وعن أبي بكر رضي الله عنه و الرؤيا مدرك من مدارك الغيب......
[22] Muhammad Jawwad Ridla, op.cit.,,hlm.187,
[23] Ibid,hlm.190.
   [24] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.106 / lihat selengkapnya dalam  al-Muqaddimah juz iii,hlm.71-78 (fasal 6,pembahasan yang ke 18), yakni :
و أما العلوم العقلية التي هي طبيعية للإنسان من حيث إنه ذو فكر غير مختصة بملة بل بوجه النظر فيها إلى أهل الملل كلهم و يستوون في مداركها و مباحثها وهى موجودة في النوع الإنساني منذ كان عمران الخليق و  تسمى هذه العلوم علوم الفلسفة و الحكمة و هي مشتملة على أربعة علوم: الأول علم المنطق وهى علم يعصم الذهن عن الخطأ في اقتناص المطالب المجهولة من الأمور الحاصلة المعلومة و فائدته تمييز الخطأ من الصواب. فيما يلتمسه الناظر في التصورات والتصديفات الذاتية والعرضية  ليقف على تحقيق الحق في الكائنات نفيا و ثبوتا بمنتهى فكره. ثم النظر بعد ذلك عندهم إما في المحسوسات من الأجسام العنصرية و المكونة عنها من المعدن و النبات و الحيوان و الأجسام الفلكية والحركات الطبيعية و النفس التي تنبعث عنها الحركات و غير ذلك و يسمى هذا الفن العلم الطبيعي و هو العلم الثاني منها. و إما أن يكون النظر في الأمور التي وراء الطبيعة من الروحانيات و يسمونه العلم الإلهي  و هو الثالث منها والعلم الرابع و هو الناظر في المقادير ويشتمل على اربعة علوم  وهى التى تسمى  التعاليم.........                                                                                                                 .                                                                                                                                  
   [25] Ibid,hlm.109.
   Menurut Ibn Khadun, sebagaimana yang dikutip Muhammad Jawwad Ridla, pembelajaran dengan model ini bisa diperoleh mastery learning (belajar dengan penguasaan penuh) akan materi keilmuan yang diajarkan.meski memang masih embrionik. Lebih jauh, metode pembelajaran demikian mempersiapkan anak didik untuk memahami secara penuh-integral subjek malter pembelajaran dan seluk-beluk permasalahannya. Pengulangan subjek malter tadi untuk yang kedua kalinya pun akan membuka “cakrawala’ baru dan elaboratif, sehingga permasalahan-permasalahan pelik yang ada bisa terpecahkan,dan anak didik menjadi tercerahkan, model pembelajaran seperti inilah yang akan benar-benar berguna (efektif), meski memang (mungkin) ada pengulangan-pengulangan dalam materi pembelajaran.[ Muhammad Jawwad Ridla,op.cit.,hlm.191].
[26] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,op.cit.,hlm.199-200.
[27] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,loc.cit.
   [28] Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaasini dalam bukunya menyatakan; pandangan Ibn Khaldun menunjukan bahwa takhassus ilmu itu penting karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu dan memahami detail-detailnya tanpa menuntaskan studi ilmu itu, begitu juga pendapat beliau ,bahwa tak mungkin mengajar anak dengan problema-problema dari dua macam ilmu yang berbeda.
   Kita berpendapat bahwa Ibn Khaldun yang menyatakan agar tidak mengajarkan anak kecuali ilmu yang satu macam saja, dan jika telah menguasainya baru beralih kepada ilmu yang lainnya dan seterusnya. Pola pendidikan modern tidak membenarkan hal tersebut, bahkan sebaliknya pola modern menganjurkan agar memberikan pengetahuan yang bervariasi dalam pelbagai kurikulum. Namun Ibn Khaldun secara tegas menekankan bahwa pola pendidikan anak harus didasarkan pada proses belajar satu macam ilmu saja, dan jika satu macam ilmu telah dipahami benar baru beralih ke ilmu yang lain.[ Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,op.cit.,hlm.205-206].
[29] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.110.
[30] Ibid,hlm.111
[31] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,op.cit.,hlm.200.
[32] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.112.
   Selengkapnya pembahasan ini dapat di lihat dalam al-Muqaddimah juz iii, hlm.213-217, ( Fasal 6, pembahasan yang ke 36) yakni : في وجه الصواب في تعليم العلوم و طريق إفادته
   Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana yang di kutip Muhammad Jawwad Ridla, bahwa “Pendidik yang dalam proses pembelajaran teramat keras dan galak terhadap anak didiknya, maka sikap keras dan galak tadi membekas dalam diri anak didik, sehingga ia terlatih hidup dalam kepura-puraan, kepalsuan dan ketidak wajaran, dan nyalinya pun menjadi kecil. Keadaan ini terus berlanjut hingga membentuk kebiasaan dan akhlak anak didik. Maka nilai kemanusiaannya mengikis dan rasa egonya sirna. Bahkan lebih jauh, jiwa anak didik yang bersangkutan menjadi malas untuk berkembang  ke arah kebaikan, melainkan justru turun ke titik nol”.[ Muhammad Jawwad Ridla,op.cit.,hlm.195].
   Perlu penulis sampaikan pada makalah ini ,berkaitan dengan sifat-sifat pendidik (guru).yang harus dimiliki untuk mendukung profesionalismenya yakni diantaranya adalah : Pertama, pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik. Kedua, pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatuhasanah (teladan) bagi peserta didik. Ketiga, pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional. Kelima, pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya,serta kesiapan untuk menerima pelajaran.[lihat, Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus,op.cit.,hlm.107-108].
[33] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,op.cit.,hlm.250.
   Pendidikan modern sekarang memperkuat pandangan Ibn khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana yang besar, artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan, dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Sehingga beliau mengatakan; “Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyakorang yang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang di anut serta keutamaan-keutamaan mereka kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah ,dan kadangkala dengan cara meniru dan belajar melalui pergaulan dengan merek. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.[ Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,op.cit.,hlm.202].
  Penjelasan ini dapat di lihat dalam  kitab al-Muqaddimah, juz iii, hlm.226 (fasal 6 ,pembahasan yang ke 40), yakni :
في أن الرحلة في طلب العلوم و لقاء المشيخة مزيد كمال في التعلم
و السبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم و أخلاقهم و ما ينتحلون به من المذاهب و الفضائل: تارة علما و تعليما و إلقاء و تارة محاكاة و تلقينا بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة و التلقين أشد استحكاما و أقوى رسوخا. فعلى قدر كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات و رسوخها. و الاصطلاحات أيضا في تعليم العلوم مخلطة على المتعلم حتى لقد يظن كثير منهم أنها جزء من العلم. و لا يدفع عنه ذلك إلا مباشرته لاختلاف الطرق فيها من المعلمين. فلقاء أهل العلوم و تعدد المشايخ يفيده تمييز الاصطلاحات بما يراه من اختلاف طرقهم فيها فيجرد العلم عنها و يعلم أنها أنحاء تعليم و طرق توصل و تنهض قواه إلى الرسوخ و الاستحكام في المكان و تصحح معارفه و تميزها عن سواها مع تقوية ملكته بالمباشرة و التلقين و كثرتهما من المشيخة عند تعددهم و تنوعهم. و هذا لمن يسر الله عليه طرق العلم و الهداية. فالرحلة لا بد منها في طلب العلم لاكتساب الفوائد و الكمال بلقاء المشايخ و مباشرة الرجال. و الله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.
[34] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,loc.cit.
[35] Ibid,hlm.253-254.