Ahad, 13 Oktober 2013

Sejarah Kurban Dari Masa Ke Masa



            Kurban disebut dengan kata udhhiyyah   (  ( أُضْحِيَّة ,berasal dari kata  dhuha dan juga boleh di baca idhhiyyah, dan  bentuk jamak  dari keduanya adalah    adhaaahii  (dengan tasydid huruf ya atau tidak bertasydid).  Selanjutnya dapat juga disebut dhahiyyah, bentuk jamaknya adalah dhahaayaa, dan juga dapat  disebut dengan kata  adhhaat yang bentuk jamaknya adalah  adhha.
            Al-Ashma’i, mengatakan, bahwa kata udhhiyyah mempunyai empat lughat  (bahasa)[1] ,Namun dari keempat bahasa tersebut yang paling baik diucapkan adalah kata  udhhiyyah  (أُضْحِيَّة).[2] Secara etimologi udhhiyyah berarti permulaan waktu dhuha,  atau berarti dikerjakan pada waktu dhuha.[3]
            Sedangkan pengertian udhhiyyah dalam perspektif fiqh  adalah
ما يذبح من النعم تقربا الى الله تعالى يوم العيد وايام التشريق
Nama hewan sembelihan (hewan ternak: unta, sapi dan kambing) yang sembelih pada hari raya Idul Adhha dan hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt.[4]  
Kurban merupakan shadaqah yang paling utama, dan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban pertama kali di syari’atkan adalah pada tahun ke 2 Hijriyah, dan pada tahun yang sama,juga di syari’atkannya shalat hari raya Idul Fitri , Idul Adhha, zakat mal dan zakat fitrah.[5] 
Ritual kurban yang dilaksanakan umat Islam setiap hari raya Idul Adhha, yang dalam perspektif al-Qur’an sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah secara melimpah kepada hamba-hamba-Nya, ternyata tidak hanya merupakan upacara relegius (relegion seremony) yang terdapat dalam tradisi Islam saja, tetapi mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu.[6]
Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 34 menyatakan :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِين                                                        
Dan bagi setiap umat telah Kami Syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang Dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhan-mu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS.al-Hajj :34).[7]
            Ritual kurban bermula sejak zaman Adam as. Kisahnya menurut al-Qur’an ketika terjadi pertikaian antara Habil dan Qabil menyangkut calon pasangan hidup mereka. Allah Swt mewahyukan kepada Adam as, agar mengawinkan Habil dengan saudara kembar Qabil, namun tidak disetujui oleh Qabil karena dia ingin memperistrikan saudara kembarnya sendiri yang berparas cantik. Pada kala itu, karena jenis keturunan manusia-manusia sangat sedikit, ada adat bahwa anak lelaki dari keturunan terdahulu menikahi anak perempuan keturunan berikutnya.
            Karena saling berebut mendapatkan isteri berparas cantik, oleh Adam as, kepada kedua anaknya ini diminta memberikan kurban. Yang diterima kurbannya ,akan memperoleh gadis yang cantik. Mereka berdua memberikan kurban dan meletakkan kurbannya pada satu tempat tertentu. Ternyata salah satu kurban dimakan apa (atas kehendak Allah), yang menegaskan kurban Qabil tidak diterima, dan karena amarahnya dia membunuh saudaranya Habil.
            Dalam suatu riwayat bahwa Habil berkurban dengan buah-buahan sedangkan Qabil berkurban dengan seekor kambing betina.[8]
            Kisah perjalanan kurban tersebut ,terdapat dalam al-Qur’an pada surat al-Ma’idah ayat 27.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ                                             
Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya Menerima (amal) dari orang yang bertakwa.(QS.Al-Maidah: 27).[9]
Ritual kurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah meredanya bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka. Mereka mengurbankan beberapa hewan langsung dibakar di tempat pengorbanan. Ritual kurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim, yang sering dikait-kaitkan dengan ritual kurban yang sering dilaksanakan umat Islam sekarang.
Satu riwayat mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berkurban berupa 1000 kambing, 300 sapi dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang disekitanya, dan juga menurut kisah mengundang kekaguman para Malaikat yang berada di langit. Menyikapi kekaguman mereka ,Nabi Ibrahim berkata : ”Apa yang telah saya kurbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa, demi Allah seandainya saya mempunyai anak, saya akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah”.[10]
Allah Swt menagih janji Ibrahim melalui mimpinya dan perjalanan kisah tersebut dituturkan dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 102-107.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى  قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ  قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ  وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ                                                             
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab , “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh ,demikianlah Kami Memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS. ash-Shaffat: 102-107).[11]
Pada malam 8 Dzul-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi menerima perintah untuk menyembelih anaknya,Isma’il as. Semula dia masih meragukan mimpinya itu, apakah datang dari Allah Swt ataupun hanya gurisan setan. Karena dia ragu, dia tidak melaksanakan mimpinya itu pada keseokan harinya. Karenanyalah malam 8 Dzu al-Hijjah, disebut malam tarwiyah (malam berpikir) siangnya disebut hari tarwiyah.
Pada malam 9 Dzu al-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi, dan mimpi ini menguatkan keyakinannya bahwa mimpi ini benar datang dari Allah Swt. Hari kesembilan ini dinamakan ‘arafah. Pada malam keepuluh Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi. Maka pada waktu dhuhahari kesepuluh itu dia melaksanakan perintah Allah Swt. Hari ini disebut hari nahr. Allah Swt menggantikan Ismail dengan seekor kibasy yang menurut riwayat al-Badawy didatangkan dari surga. Tanduk kibasy disimpan dengan baik oleh Ibarahim as, dan digantungkan di dinding Ka’bah yang terus bertahan sampai zaman Rasulullah Saw. Di kala Ka’bah terbakar di masa az-Zubair, tampaknya tanduk tersebut ikut terbakar dan tidak diketahui keberadaannya lagi.
Dengan peristiwa yang terjadi pada hari kesepuluh Dzu al-Hijjah inilah, pelaksanaan kurban dilakukan secara tetap pada setiap tanggal 10 Dzu al-Hijjah. Sewaktu Nabi Ibrahim as, membawa kibasy sebagai kurban, sesampai dikampung Tsbit, kibasy terlepas dan lari. Nabi Ibrahim as, mengejarnya dan melemparnya dengan tujuh butir batu. Pelemparan ini merupakan awal dari pelaksanaan pelemparan jumrah sebanyak tujuh kali, sebagaimana yang kini menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji.
Penyelenggaraan kurban ini, dilanjutkan oleh anak-anak Nabi Ibrahim as, lazimnya hewan kurban setelah disembelih lalu dibakar.
Menurut al-Shawy, hikmah Tuhan memerintahkan Nabi Ibrahim as, menyembelih anaknya, karena Allah Swt telah menjadikan Nabi Ibrahim as, sebagai orang yang dikasihi-Nya (khalil-Nya), dan Nabi Ibrahim as, juga mencintai Allah lebih dari apapun. Ketika Nabi Ibrahim as, mendapatkan anak yang sangat dicintainya, Allah Swt ingin mengujinya. Ternyata Nabi Ibrahim as dapat mengalahkan rasa cinta kepada anaknya karena kecintaannya besar kepada Allah Swt.Teladan ini haruslah dikiuti oleh seluruh hamba Allah yag beriman.[12]
Ritual kurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunanya dengan praktek penyembelihan hewan kurban yang seterusnya di bakar, tradisi ini terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka. Dalam tradisi Musa dan kaumnya, dikenal dua macam jenis kurban. Pertama kurban yang berupa binatang yang diperuntukan untuk Allah. Kedua berupa hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung. Kurban jenis kedua ini dihapus habis oleh syari’at Islam.[13]
Di zaman Nabi Musa as, pelaksanaan kurban dilakukan dengan memisahklan antara hewan yang disembelih dengan hewan yang dibiarkan lepas. Peristiwa ini kemudian dijadikan pegangan untuk melepaskan hewan berkeliaran setelah diberi tanda yang cukup. Kurban semacam ini terus berlanjut oleh orang Arabm hingga datangnya Islam.
Pada zaman Jahiliyah, pelepasan hewan dimaksudkan untuk membesarkan berhala ,bukan untuk membesarkan Allah Swt.
Ada tiga tujuan penyembelihan kurban pada masa itu :
Pertama, untuk mendekatkan diri kepada benda yang dipuja. Hewan sembelihan dibakar. Mereka hanya mengambil kulitnya saja yang diberikan kepada seorang kahin.[14]
Kedua, untuk meminta apapun. Hewan sembelihan dibakar separo dan separo lagi diberikan untuk kahin.
Ketiga, untuk memohon keselamatan. Hewan sembelihan ini mereka makan. Penyembelihan kurban juga dimaksudkan untuk menghapus aib. Bagi mereka yang tidak mampu menyembelih hewan berkaki empat, mereka dapat menyembelih burung. Kaum Jahiliyah juga menyediakan buah-buahan sebagai kurban, dan membakarnya di ruah-rumah ibadah mereka.
Tradisi pelaksanaan kurban juga kita temukan pada bangsa YunaniKuno, mereka membagikan daging kurban kepada yang hadir, walaupun masing-masing mendapat bagian yang kecil. Pembagian ini dimaksudkan sebagai berkat. Di kala upacara berlangsung pendeta memercikkan madu dan air kepada yang hadir. Kemudian madu dan air digantikan air bunga mawar. Tradisi ini tetap dipertahankan hingga saat ini.
Ada yang berlebihan dalam berkurban, yakni tidak sebatas hewan, namun juga manusia ikut dijadikan kurban. Kurban manusia, dilakukan oleh bangsa Mesir kuno dan Romawi kuno. Tradisi ii bertahan agak lama, dan baru dilarang oleh para pemuka agama pada tahun 657 Masehi.
Raja Arab al-Hira, mempersembahkan manusia kepada Tuhannya, al-Uzza.
Menurut riwayat bangsa Mesir kuno, setiap tahunnya mempesembahkan seorang gadis untuk dikurbankan di sungai Nil setelah diberi dandanan. Setelah Amer Ibn Ash menjadi Gubernur di Mesir, adat Jahiliyah ini dilarang.
Sejarah penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim as, berulang kembali pada zaman Abdul Muththalib yang menimpa Abdullah ayahanda Rasulullah Muhammad Saw. Dengan peristiwa ini, Abdullah diberi gelar Ibnu Dzahibain = anak dari dua orang yang disembelih.[15]
Pada zaman jahiliyah Abdul Muththalib telah menyembelih seratus ekor unta sebagai kurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Sekalipun kurban tersebut dilakukan dengan niat yang baik,tidaklah termasuk kurban yang benar karena diperbuat bukan semata-mata niat ikhlas karena Allah.
            Abdul Muththalib, ketika hendak menggali kembali sumur zamzam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun, ia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu ia bernazar, bila ia dikaruniai sepukuh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa, serta mampu pula membantunya pada saat-saat menemukan kesulitan kelak, ia akan menyembelih salah seorang dari putranya itu di dekat Ka’bah.
            Abdul Muththalib dengan hati tulus memenuhi nazarnya. Kemudian dilakukan undian atas sepuluh anaknya itu di hadapan patung Hubal. Undian pun jatuh pada anaknya yang bernama Abdullah (ayah Rasulullah Saw). Kaumnya ,yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya.
            Abdul Muththalib merasa khawatir serta cemas menyalahi nazarnya, ia pergi ke Madinah untuk bertanya kepada Arrafat seorang dukun (syaman). Diterangkannya segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya. Setelah itu dinyatakan pula jumlah unta yang mesti disembelih bila ia mengurungkan penyembelihan anaknya (Abdullah).
            Arrafat menjelaskan bahwa bila undian yang dilakukan di hadapan Hubal itu jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, maka hendaklah ditebus dengan menyembelih sepuluh ekor unta untuk setiap undian. Akan tetapi, apabila undian jatuh pada unta maka terbebaslah Abdullah dari tututan nazar. Kemudian Abdul Muththalib kembeli ke Mekkah.
         Sesampainya di Makkah, Abdul Muththalib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah,dilakukan penyembelihan sepuluh ekor unta sebagai penebusnya. Demikianlah undian tersebut berkali-kali diulangi, tetapi senantiasa jatuh pada Abdullah,bukan pada unta. Baru setelah kesepuluh kalinya, undian jatuh pada unta. Maka setelah itu barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan sepuluh kali sepuluh unta sama dengan seratus ekor unta.
            Undian yang dilakukan oleh Abdul Muththalib di atas disebut azlam, dan dilakukan atau dilaksanakan di hadapan patung Hubal. (Fataatu Ghassan: 76-77). Sekalipun jumlah yang dikurbankannya itu seratus ekor unta, kemudian disembelih dengan rasa dan hati yang tulus, hal itu tidaklah termasuk kurban sebab tidak mencerminkan ketauhidan, tidak berdasarkan taat kepada Allah, tetapi karena petunjuk kaahin.[16]


DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar,Taqiyy al-Din ,Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, [tth].
Al-Qalyubi,  Syihab al-Din Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putra,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Beirut:Dar al-Fikr,1994.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab , Beirut: Dar al-Fikr,1997.
Ash-Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Tuntunan Qurban & Aqiqah,Semarang:Pustaka Rizki Putra,2002.
Abdurrahman,K.H.E, Hukum Qurban,Aqiqah dan Sembelihan, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2011.
Anwar, Rosihon,Samudera al-Qur’an, Bandung:CV.Pustaka Setia,2001.
Munawwir Ahmad Warson,Kamus al-Munawwir,Surabaya: Pustaka Progressif,1997.
RI, Departemen Agama ,Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar,2004.




[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab ,(Beirut: Dar al-Fikr,1997),juz viii,hlm.275.
kata Dahiyyah, Udhhiyyah  maknanya adalah  kurban / kambing yang dibuat kurban/ waktu dhuha (waktu matahari terbit/naik). lihat, Ahmad Warson Munawwir ,Kamus al-Munawwir,(Surabaya: Pustaka Progressif,1997),hlm.814.
[2] Syihab al-Din al-Qalyubi, Qalyubi wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putra,tth),juz iv,hlm.249.
[3] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi,(Beirut:Dar al-Fikr,1994),juz ii,hlm.441. lihat juga, al-Nawawi,loc.cit.                                                                   
[4] Taqiyy al-Din Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Fikr, tth),juz ii,hlm.235.
[5] Syihab al-Din al-Qalyubi, loc.cit.
[6] Rosihon Anwar,Samudera al-Qur’an,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2001),hlm.311
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004),hlm.467.
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tuntunan Qurban & Aqiqah,(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2002),hlm.1-2.
[9] Departemen Agama RI,op.cit.,hlm.148.
[10]  Rosihon Anwar,op.cit.,hlm.312.
[11] Departemen Agama RI,op.cit.,hlm.641.
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,op.cit.,hlm.4-5.
[13] Rosihon Anwar,op.cit.,hlm.313.
[14] Seorang ahli (tukang) sihir, juru tenung, atau ahli nujum.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,op.cit.,hlm.6-8.
[16] K.H.E.Abdurrahman, Hukum Qurban,Aqiqah dan Sembelihan,(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2011),hlm.4-5.

Sejarah Kurban Dari Masa Ke Masa



            Kurban disebut dengan kata udhhiyyah   (  ( أُضْحِيَّة ,berasal dari kata  dhuha dan juga boleh di baca idhhiyyah, dan  bentuk jamak  dari keduanya adalah    adhaaahii  (dengan tasydid huruf ya atau tidak bertasydid).  Selanjutnya dapat juga disebut dhahiyyah, bentuk jamaknya adalah dhahaayaa, dan juga dapat  disebut dengan kata  adhhaat yang bentuk jamaknya adalah  adhha.

            Al-Ashma’i, mengatakan, bahwa kata udhhiyyah mempunyai empat lughat  (bahasa)[1] ,Namun dari keempat bahasa tersebut yang paling baik diucapkan adalah kata  udhhiyyah  (أُضْحِيَّة).[2] Secara etimologi udhhiyyah berarti permulaan waktu dhuha,  atau berarti dikerjakan pada waktu dhuha.[3]
            Sedangkan pengertian udhhiyyah dalam perspektif fiqh  adalah
ما يذبح من النعم تقربا الى الله تعالى يوم العيد وايام التشريق
Nama hewan sembelihan (hewan ternak: unta, sapi dan kambing) yang sembelih pada hari raya Idul Adhha dan hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt.[4]  
Kurban merupakan shadaqah yang paling utama, dan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban pertama kali di syari’atkan adalah pada tahun ke 2 Hijriyah, dan pada tahun yang sama,juga di syari’atkannya shalat hari raya Idul Fitri , Idul Adhha, zakat mal dan zakat fitrah.[5] 
Ritual kurban yang dilaksanakan umat Islam setiap hari raya Idul Adhha, yang dalam perspektif al-Qur’an sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah secara melimpah kepada hamba-hamba-Nya, ternyata tidak hanya merupakan upacara relegius (relegion seremony) yang terdapat dalam tradisi Islam saja, tetapi mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu.[6]
Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 34 menyatakan :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِين                                                        
Dan bagi setiap umat telah Kami Syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang Dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhan-mu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS.al-Hajj :34).[7]
            Ritual kurban bermula sejak zaman Adam as. Kisahnya menurut al-Qur’an ketika terjadi pertikaian antara Habil dan Qabil menyangkut calon pasangan hidup mereka. Allah Swt mewahyukan kepada Adam as, agar mengawinkan Habil dengan saudara kembar Qabil, namun tidak disetujui oleh Qabil karena dia ingin memperistrikan saudara kembarnya sendiri yang berparas cantik. Pada kala itu, karena jenis keturunan manusia-manusia sangat sedikit, ada adat bahwa anak lelaki dari keturunan terdahulu menikahi anak perempuan keturunan berikutnya.
            Karena saling berebut mendapatkan isteri berparas cantik, oleh Adam as, kepada kedua anaknya ini diminta memberikan kurban. Yang diterima kurbannya ,akan memperoleh gadis yang cantik. Mereka berdua memberikan kurban dan meletakkan kurbannya pada satu tempat tertentu. Ternyata salah satu kurban dimakan apa (atas kehendak Allah), yang menegaskan kurban Qabil tidak diterima, dan karena amarahnya dia membunuh saudaranya Habil.
            Dalam suatu riwayat bahwa Habil berkurban dengan buah-buahan sedangkan Qabil berkurban dengan seekor kambing betina.[8]
            Kisah perjalanan kurban tersebut ,terdapat dalam al-Qur’an pada surat al-Ma’idah ayat 27.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ                                             
Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya Menerima (amal) dari orang yang bertakwa.(QS.Al-Maidah: 27).[9]
Ritual kurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah meredanya bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka. Mereka mengurbankan beberapa hewan langsung dibakar di tempat pengorbanan. Ritual kurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim, yang sering dikait-kaitkan dengan ritual kurban yang sering dilaksanakan umat Islam sekarang.
Satu riwayat mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berkurban berupa 1000 kambing, 300 sapi dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang disekitanya, dan juga menurut kisah mengundang kekaguman para Malaikat yang berada di langit. Menyikapi kekaguman mereka ,Nabi Ibrahim berkata : ”Apa yang telah saya kurbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa, demi Allah seandainya saya mempunyai anak, saya akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah”.[10]
Allah Swt menagih janji Ibrahim melalui mimpinya dan perjalanan kisah tersebut dituturkan dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 102-107.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى  قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ  قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ  وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ                                                             
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab , “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh ,demikianlah Kami Memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS. ash-Shaffat: 102-107).[11]
Pada malam 8 Dzul-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi menerima perintah untuk menyembelih anaknya,Isma’il as. Semula dia masih meragukan mimpinya itu, apakah datang dari Allah Swt ataupun hanya gurisan setan. Karena dia ragu, dia tidak melaksanakan mimpinya itu pada keseokan harinya. Karenanyalah malam 8 Dzu al-Hijjah, disebut malam tarwiyah (malam berpikir) siangnya disebut hari tarwiyah.
Pada malam 9 Dzu al-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi, dan mimpi ini menguatkan keyakinannya bahwa mimpi ini benar datang dari Allah Swt. Hari kesembilan ini dinamakan ‘arafah. Pada malam keepuluh Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi. Maka pada waktu dhuhahari kesepuluh itu dia melaksanakan perintah Allah Swt. Hari ini disebut hari nahr. Allah Swt menggantikan Ismail dengan seekor kibasy yang menurut riwayat al-Badawy didatangkan dari surga. Tanduk kibasy disimpan dengan baik oleh Ibarahim as, dan digantungkan di dinding Ka’bah yang terus bertahan sampai zaman Rasulullah Saw. Di kala Ka’bah terbakar di masa az-Zubair, tampaknya tanduk tersebut ikut terbakar dan tidak diketahui keberadaannya lagi.
Dengan peristiwa yang terjadi pada hari kesepuluh Dzu al-Hijjah inilah, pelaksanaan kurban dilakukan secara tetap pada setiap tanggal 10 Dzu al-Hijjah. Sewaktu Nabi Ibrahim as, membawa kibasy sebagai kurban, sesampai dikampung Tsbit, kibasy terlepas dan lari. Nabi Ibrahim as, mengejarnya dan melemparnya dengan tujuh butir batu. Pelemparan ini merupakan awal dari pelaksanaan pelemparan jumrah sebanyak tujuh kali, sebagaimana yang kini menjadi salah satu ritual dalam ibadah haji.
Penyelenggaraan kurban ini, dilanjutkan oleh anak-anak Nabi Ibrahim as, lazimnya hewan kurban setelah disembelih lalu dibakar.
Menurut al-Shawy, hikmah Tuhan memerintahkan Nabi Ibrahim as, menyembelih anaknya, karena Allah Swt telah menjadikan Nabi Ibrahim as, sebagai orang yang dikasihi-Nya (khalil-Nya), dan Nabi Ibrahim as, juga mencintai Allah lebih dari apapun. Ketika Nabi Ibrahim as, mendapatkan anak yang sangat dicintainya, Allah Swt ingin mengujinya. Ternyata Nabi Ibrahim as dapat mengalahkan rasa cinta kepada anaknya karena kecintaannya besar kepada Allah Swt.Teladan ini haruslah dikiuti oleh seluruh hamba Allah yag beriman.[12]
Ritual kurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunanya dengan praktek penyembelihan hewan kurban yang seterusnya di bakar, tradisi ini terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka. Dalam tradisi Musa dan kaumnya, dikenal dua macam jenis kurban. Pertama kurban yang berupa binatang yang diperuntukan untuk Allah. Kedua berupa hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung. Kurban jenis kedua ini dihapus habis oleh syari’at Islam.[13]
Di zaman Nabi Musa as, pelaksanaan kurban dilakukan dengan memisahklan antara hewan yang disembelih dengan hewan yang dibiarkan lepas. Peristiwa ini kemudian dijadikan pegangan untuk melepaskan hewan berkeliaran setelah diberi tanda yang cukup. Kurban semacam ini terus berlanjut oleh orang Arabm hingga datangnya Islam.
Pada zaman Jahiliyah, pelepasan hewan dimaksudkan untuk membesarkan berhala ,bukan untuk membesarkan Allah Swt.
Ada tiga tujuan penyembelihan kurban pada masa itu :
Pertama, untuk mendekatkan diri kepada benda yang dipuja. Hewan sembelihan dibakar. Mereka hanya mengambil kulitnya saja yang diberikan kepada seorang kahin.[14]
Kedua, untuk meminta apapun. Hewan sembelihan dibakar separo dan separo lagi diberikan untuk kahin.
Ketiga, untuk memohon keselamatan. Hewan sembelihan ini mereka makan. Penyembelihan kurban juga dimaksudkan untuk menghapus aib. Bagi mereka yang tidak mampu menyembelih hewan berkaki empat, mereka dapat menyembelih burung. Kaum Jahiliyah juga menyediakan buah-buahan sebagai kurban, dan membakarnya di ruah-rumah ibadah mereka.
Tradisi pelaksanaan kurban juga kita temukan pada bangsa YunaniKuno, mereka membagikan daging kurban kepada yang hadir, walaupun masing-masing mendapat bagian yang kecil. Pembagian ini dimaksudkan sebagai berkat. Di kala upacara berlangsung pendeta memercikkan madu dan air kepada yang hadir. Kemudian madu dan air digantikan air bunga mawar. Tradisi ini tetap dipertahankan hingga saat ini.
Ada yang berlebihan dalam berkurban, yakni tidak sebatas hewan, namun juga manusia ikut dijadikan kurban. Kurban manusia, dilakukan oleh bangsa Mesir kuno dan Romawi kuno. Tradisi ii bertahan agak lama, dan baru dilarang oleh para pemuka agama pada tahun 657 Masehi.
Raja Arab al-Hira, mempersembahkan manusia kepada Tuhannya, al-Uzza.
Menurut riwayat bangsa Mesir kuno, setiap tahunnya mempesembahkan seorang gadis untuk dikurbankan di sungai Nil setelah diberi dandanan. Setelah Amer Ibn Ash menjadi Gubernur di Mesir, adat Jahiliyah ini dilarang.
Sejarah penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim as, berulang kembali pada zaman Abdul Muththalib yang menimpa Abdullah ayahanda Rasulullah Muhammad Saw. Dengan peristiwa ini, Abdullah diberi gelar Ibnu Dzahibain = anak dari dua orang yang disembelih.[15]
Pada zaman jahiliyah Abdul Muththalib telah menyembelih seratus ekor unta sebagai kurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Sekalipun kurban tersebut dilakukan dengan niat yang baik,tidaklah termasuk kurban yang benar karena diperbuat bukan semata-mata niat ikhlas karena Allah.
            Abdul Muththalib, ketika hendak menggali kembali sumur zamzam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun, ia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu ia bernazar, bila ia dikaruniai sepukuh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa, serta mampu pula membantunya pada saat-saat menemukan kesulitan kelak, ia akan menyembelih salah seorang dari putranya itu di dekat Ka’bah.
            Abdul Muththalib dengan hati tulus memenuhi nazarnya. Kemudian dilakukan undian atas sepuluh anaknya itu di hadapan patung Hubal. Undian pun jatuh pada anaknya yang bernama Abdullah (ayah Rasulullah Saw). Kaumnya ,yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya.
            Abdul Muththalib merasa khawatir serta cemas menyalahi nazarnya, ia pergi ke Madinah untuk bertanya kepada Arrafat seorang dukun (syaman). Diterangkannya segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya. Setelah itu dinyatakan pula jumlah unta yang mesti disembelih bila ia mengurungkan penyembelihan anaknya (Abdullah).
            Arrafat menjelaskan bahwa bila undian yang dilakukan di hadapan Hubal itu jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, maka hendaklah ditebus dengan menyembelih sepuluh ekor unta untuk setiap undian. Akan tetapi, apabila undian jatuh pada unta maka terbebaslah Abdullah dari tututan nazar. Kemudian Abdul Muththalib kembeli ke Mekkah.
         Sesampainya di Makkah, Abdul Muththalib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah,dilakukan penyembelihan sepuluh ekor unta sebagai penebusnya. Demikianlah undian tersebut berkali-kali diulangi, tetapi senantiasa jatuh pada Abdullah,bukan pada unta. Baru setelah kesepuluh kalinya, undian jatuh pada unta. Maka setelah itu barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan sepuluh kali sepuluh unta sama dengan seratus ekor unta.
            Undian yang dilakukan oleh Abdul Muththalib di atas disebut azlam, dan dilakukan atau dilaksanakan di hadapan patung Hubal. (Fataatu Ghassan: 76-77). Sekalipun jumlah yang dikurbankannya itu seratus ekor unta, kemudian disembelih dengan rasa dan hati yang tulus, hal itu tidaklah termasuk kurban sebab tidak mencerminkan ketauhidan, tidak berdasarkan taat kepada Allah, tetapi karena petunjuk kaahin.[16]


DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar,Taqiyy al-Din ,Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, [tth].
Al-Qalyubi,  Syihab al-Din Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putra,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Beirut:Dar al-Fikr,1994.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab , Beirut: Dar al-Fikr,1997.
Ash-Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Tuntunan Qurban & Aqiqah,Semarang:Pustaka Rizki Putra,2002.
Abdurrahman,K.H.E, Hukum Qurban,Aqiqah dan Sembelihan, Bandung: Sinar Baru Algesindo,2011.
Anwar, Rosihon,Samudera al-Qur’an, Bandung:CV.Pustaka Setia,2001.
Munawwir Ahmad Warson,Kamus al-Munawwir,Surabaya: Pustaka Progressif,1997.
RI, Departemen Agama ,Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar,2004.




[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab ,(Beirut: Dar al-Fikr,1997),juz viii,hlm.275.
kata Dahiyyah, Udhhiyyah  maknanya adalah  kurban / kambing yang dibuat kurban/ waktu dhuha (waktu matahari terbit/naik). lihat, Ahmad Warson Munawwir ,Kamus al-Munawwir,(Surabaya: Pustaka Progressif,1997),hlm.814.
[2] Syihab al-Din al-Qalyubi, Qalyubi wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putra,tth),juz iv,hlm.249.
[3] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi,(Beirut:Dar al-Fikr,1994),juz ii,hlm.441. lihat juga, al-Nawawi,loc.cit.                                                                   
[4] Taqiyy al-Din Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Fikr, tth),juz ii,hlm.235.
[5] Syihab al-Din al-Qalyubi, loc.cit.
[6] Rosihon Anwar,Samudera al-Qur’an,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2001),hlm.311
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004),hlm.467.
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tuntunan Qurban & Aqiqah,(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2002),hlm.1-2.
[9] Departemen Agama RI,op.cit.,hlm.148.
[10]  Rosihon Anwar,op.cit.,hlm.312.
[11] Departemen Agama RI,op.cit.,hlm.641.
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,op.cit.,hlm.4-5.
[13] Rosihon Anwar,op.cit.,hlm.313.
[14] Seorang ahli (tukang) sihir, juru tenung, atau ahli nujum.
[15] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,op.cit.,hlm.6-8.
[16] K.H.E.Abdurrahman, Hukum Qurban,Aqiqah dan Sembelihan,(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2011),hlm.4-5.