Jumaat, 28 Jun 2013

Terimalah Omelan Istrimu

Bismillahirrahmanirrahim.

Diriwayatkan ........
Bahwa, ada seseorang bermaksud menghadap Sahabat Umar bin Khattab ra, hendak mengadukan perihal perangai buruk istrinya. Sampai ke rumah yang dituju orang itu menanti Umar ra, di depan pintu. Saat itu ia mendengar istri Umar mengomeli dirinya, sementara Umar sendiri hanya berdiam diri saja tanpa bereaksi.

Orang itu bermaksud balik kembali sambil melangkahkan kaki seraya bergumam:"kalau keadaan Amirul Mu’minin saja begitu, bagaimana halnya dengan diriku

Bersamaan itu Umar ra, keluar, ketika melihat orang itu hendak kembali. Umar memanggilnya, dan berkata :

"Ada keperluan penting" ?

Ia menjawab :
"Wahai Amirul mu’minin kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal istriku lantaran suka memarahiku, tetapi begitu aku mendengar istrimu sendiri berbuat serupa, maka aku bermaksud kembali, dalam hatiku aku berkata kalau istrinya seperti itu bagaimana halnya dengan diriku

Umar ra, kemudian berkata kepadanya:
Wahai saudaraku sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari istriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Istriku bertindak sebagai juru masak makananku, ia selalu membuatkan roti untukku, ia selalu mencucikan pakaian-pakaianku, ia menyusui anak-anakku padahal semua itu bukan kewajibannya, aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku, karena itu aku menerimanya sekalipun di marahi”.

Kata orang itu : "Demikian pulakah dengan istriku" ?

Jawab Umar ra : “Ya, terimalah marahnya karena yang di lakukan istrimu tidak akan lama, hanya sebentar saja...."
['Uqudullijain,hlm.5]

وروي: {أنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَشْكُوْ إِلَيْهِ خُلُقَ زَوْجَتِهِ، فَوَقَفَ بِبَابِهِ يَنْتَظِرُهُ، فَسَمِعَ امْرَأَتَهُ تَسْتَطِيْلُ عَلَيْهِ بِلِسَانِهَا، وَهُوَ سَاكِتٌ لاَ يَرُدُّ عَلَيْهَا، فَانْصَرَفَ الرَجُلُ قَائِلاً: إِذَا كَانَ هَذَا حَالُ أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ، فَكَيْفَ حَالِيْ ؟. فَخَرَجَ عُمَرُ فَرآهُ مُدْبِرًا فَنَادَاهُ، مَا حَاجَتُكَ ؟. فَقَالَ: يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، جِئْتُكَ أَشْكُوْ إِلَيْكَ خُلُقَ زَوْجَتِيْ وَاسْتِطَالَتِهَا عَلَيَّ، فَسَمِعْتُ زَوْجَتَكَ كَذَلِك َ، فَرَجَعْتُكَ وَقُلْتُ: إِذَا كَانَ هَذَا حَالُ أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ، فَكَيْفَ حَالِيْ ؟. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: ياَ أَخِيْ إنّيْ احْتَمَلْتُهَا لِحُقُوْقٍ لَهَا عَلَيَّ، إنَّهَا طَبَّاخَةٌ لِطَعَامِيْ، خَبَّازَةٌ لِخُبْزِيْ، غَسَّالَةٌ لِثِيَابِيْ، مُرْضِعَةٌ لِوَلَدِيْ. وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهَا، وَيَسْكُنُ قَلْبِيْ بِهَا عَنِ الحَرَامِ، فَأَنَا احْتَمَلْتُهَا لِذَلِكَ، فَقَالَ الرَجُلُ: يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، وَكَذَلِكَ زَوْجَتِيْ. قَالَ
عُمَرُ: فَاحْتَمِلْهَا يَا أَخِيْ، فَإِنَّمَا هِيَ مُدَّةٌ يَسِيْرَةٌ

Isnin, 24 Jun 2013

Jangan Ada Waswas diantara Kita


 
والوسوسة عند تكبيرة الإحرام من تلاعب الشيطان وهى تدل على خبل فى العقل او جهل فى الدين وكان الأستاذ ابوا الحسن الشاذلى يعلم اصحابه لدفع الوسواس والخواطر الرديئة ويقول لهم من احس بذلك فليضع يده اليمنى على صدره وليقل سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال سبع مرات ثم يقل :" إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيز"ٍ (الفاطر: ١٦ -١٧
نهاية الزين ص:52


Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya menyatakan :
Waswas saat takbiratul ihram merupakan permainan (tala’ub) syaitan, dan waswas menunjukan ada gangguan yang hinggap pada akal, atau karena bodoh dalam hal agama.
Al-Ustadz Abu al-Hasan asy-Syadzili sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi

mengajarkan do’a kepada murid-murid beliau untuk mencegah atau menolak waswas dan gangguan pikiran-pikiran yang buruk, beliau mengatakan:

“Barang siapa merasakan waswas, maka hendaknya letakkanlah tangannya pada dada, kemudian mengucapkan doa":

سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال
doa ini di baca 7 kali

Kemudian mengucapkan doa :

إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ
 

[Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain,(Beirut: Dar al-Fikri, tth),hlm.52].

Ahad, 23 Jun 2013

Qaidah Untuk Mengetahui Lailatul Qadr



Qaidah Untuk Mengetahui Lailatul Qadr

Malam ke berapakah lailatul qadr ? dan apakah lailatul qadr dapat di ketahui kapan terjadinya ? Pertanyaan ini mengusik hatiku, makanya  penulis tertarik untuk menampilkan pada kajian ini.
Pada hakikatnya kapan tepatnya lailatul qadr hanyalah Allah SWT, yang mengetahuinya, hikmahnya adalah agar setiap hari atau malam di bulan Ramadhan di gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun sinyal atau petunjuk berdasar hadis Nabi menyebutkan bahwa lailatul qadr terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.[1]
Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, dalam kitabnya menuturkan: ada 40 qaul ulama yang membahas kapan terjadinya lailatul qadr. Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullah sendiri cenderung memilih malam 21 dan 23 Ramadhan, dengan   landasan bahwa Nabi Muhammad SAW melihatnya pada malam tersebut.[2]
Syihabuddin al-Qalyubi dalam kitabnya menulis tentang tuntunan atau qaidah untuk mengetahui lailatul qadr, yang beliau rangkum dalam sebuah syi’ir berikut ini :
يا سائلى عن ليلة  القدر التى        فى عشر رمضان الأخير حلت
فإنها   فى   مفردات   العشر        تعرف  فى  يوم  ابتداء   الشهر
فبالأحد والأربعا فى التاسعة         وبجمعة    مع الثلاثا    السابعة
وإن بدا  الخميس  فالخامسة         وإن     بدا    بالسبت    فالثالثة
 وإن بدا الإثنين فهى الحادى         هذا   عن     الصوفية    الزهاد[3]
Artinya :
Wahai yang memintaku untuk dapat  mengetahui lailatul qadr di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Sesungguhnya lailatul qadr jatuh pada malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dapat di ketahui dengan hari permulaan Ramadhan.
Apabila Ramadhan di mulai hari ahad atau rabu ,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 29. Jika  jum’at atau selasa maka, malam ke 27.
Apabila Ramadhan di mulai hari kamis,,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 25. Namun jika sabtu ,maka malam ke 23.
Apabila Ramadhan di mulai hari senin, maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 21. Demikian ini adalah pendapat dari ulama sufi yang zuhud.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Hadhrami, Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra al-Karim, Indonesia: Dar al-Kutub al-Arabiyah,[tth].       
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth]
Al-  Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah



[1] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Toha Putera,Semarang, juz ii,[tth]./ Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah), hadis no:1916.
(1916) - حدثني محمد: أخبرنا عبدة، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان، ويقول: (تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان)                                                             
[2] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, Busyra al-Karim,(Indonesia :Dar al-Kutub al-Arabiyah,tth),juz ii,hlm.75.
[3] Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.76.

Qadha dan Fidyah



Tentang Qadha dan Fidyah
A.           Qadha dan Fidyah Puasa
Wanita yang hamil  (حامل) dan wanita yang menyusui  ( مرضع),apabila tidak puasa karena menghawatirkan anaknya ,maka keduanya wajib mengganti (qadha) puasa dan membayar fidyah dengan mengeluarkan 1 mud (6,75 ons) makanan pokok perhari sejumlah hari ia tidak melakukan puasa. Namun apabila ia tidak puasa karena menghawatirkan kesehatan dirinya sendiri maka ia wajib mengganti (qadha) saja di lain hari.
Demikian juga bagi orang yang lanjut usia/sangat tua (كبر ), dan orang sakitمرض لا يرجى برؤه )  ) yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka wajib mengeluarkan 1 mud tanpa qadla. Apabila sakit yang dimungkinkan bisa sehat, maka hanya di wajibkan untuk mengqadha di lain hari.[1] Demikian juga bagi musafir (bepergian jauh yang di bolehkan jama’ dan qashar /2 marhalah) ,maka boleh berpuasa atau tidak (qadha di lain hari). Namun yang lebih utama adalah berpuasa, jika tidak membahayakan kesehatan dirinya.[2]
Selanjutnya apabila ada seseorang yang mempunyai tanggungan puasa yang belum di qadha, hingga datangnya Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur syara’ ,maka wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah (1 mud) sesuai berapa hari yang di tinggalkan. Namun jika ada udzur,misalnya sakit, bepergian (musafir) dan sebagainya maka hanya di wajibkan mengqadha saja, apabila sampai dua kali Ramadhan maka untuk 1 hari kewajibannya adalah 2 mud, dan begitu seterusnya.
Apabila seseorang meninggal dunia dan memungkinkan untuk mengqadhainya tetapi belum dilaksanakan sampai masuk Ramadhan berikutnya (atau belum masuk Ramadhan berikutnya), maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat :
a)      Menurut Qaul Jadid : walinya wajib membayarkan fidyah dengan mengeluarkan 2 mud, (muddun lil fawat wa muddun litta’khir) ,dari harta tinggalannya mayit, (tirkah) dan tidak boleh menggantikan puasa untuk orang yang meninggal dunia.
b)      Menurut Qaul Qadim : boleh memilih salah satu, yakni walinya boleh membayar fidyah (1 mud) atau berpuasa untuk mengqadhai puasanya orang yang meninggal dunia. Dan  qaul ini adalah yang mu’tamad.[3]
Berkaitan dengan masalah tirkah , perlu di ketahui bahwa dalam membayarkan fidyah yang di ambil dari harta tinggalannya mayit (tirkah) , hal itu dapat di lakukan jika memang si mayit memiliki tirkah, tetapi .apabila tidak ada tirkah nya, maka bagi wali atau orang lain (keluarga) boleh menggunakan hartanya sendiri utuk membayarkan fidyah tersebut.[4]
B.            Qadha dan Fidyah Shalat
Berikut ini penulis sampaikan beberapa pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah tentang mengqadhai dan mengeluarkan fidyah shalatnya orang yang sudah meninggal dunia.
Perlu di ketahui bahwa shalat yang pernah di tinggalkan oleh orang sudah meninggal dunia, maka bagi ahli warisnya atau (walinya) tidak ada kewajiban untuk mengqadha dan membayarkan fidyah. Namun menurut sebagian kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat : shalat yang di tinggalkan oleh mayit boleh mengqadhainya. Imam as-Subki sendiri mengamalkannya dengan mengqadhai shalat yang pernah di tinggalkan oleh sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.
Menurut Jalaladdin al-Mahalli dalam kitabnya dengan mengutip pendapat guru-guru beliau, bahwa: pendapat (qaul) ini boleh di amalkan untuk diri sendiri dan tidak untuk di fatwakan, menurut beliau, diperbolehkan untuk taqlid, karena termasuk qaul muqabil ashah.  Imam Ibn Burhan dengan mengutip qaul qadim, menyatakan bahwa bagi walinya diperbolehkan mengqadhai shalat atau mengganti dengan membayar fidyah seperti halnya puasa.
Sementara itu sebagian besar ulama Syafi’iyyah berpendapat :diperbolehkan bagi ahli warisnya atau walinya untuk mengganti dengan mengeluarkan fidyah (1 mud) untuk setiap shalat yang pernah di tinggalkan. Imam al-Muhib ath-Thabari mengatakan: sampainya pahala setiap ibadah yang dikerjakan untuk si mayit,  baik wajib atau sunnah. Dalam kitab Syarah al-Mukhtar disebutkan bahwa : madzhab Ahlussunnah berpendapat sampainya pahala ibadah dan shalat yang di ditujukan untuk orang lain.
Berkaitan dengan masalah ini, Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi menyatakan hal itu adalah dha’if (pendapat lemah).[5] Imam Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami dalam kitabnya mengatakan sampainya pahala shadaqah yang disampaikan kepada orang lain (yang menerima shadaqah) berdasar ijma’ ulama.[6]
Dari sini, menurut hemat penulis bagi wali (orang tua) atau ahli waris yang berkeinginan untuk mengqadhai dan menfidyahi shalatnya orang yang sudah meninggal dunia, silahkan melakukannya berdasar dari pendapat-pendapat yang sudah disebutkan, dan penulis yakin mereka yang berpendapat adalah para ulama-ulama lebih ‘allamah (‘alim) dalam keilmuannya dan lebih terpilih di bandingkan dengan ulama-ulama zaman sekarang. Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-  Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah
Al-Hadhrami, Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra al-Karim, Indonesia: Dar al-Kutub al-Arabiyah,[tth].       
Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, [Maktabah Syamilah]
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth]
Al- Sijitsani, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Maktabah Syamilah].
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad, Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah).
Syatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin,  Beirut: Dar al-Fikr,1993.



[1] Abu Bakar Syatha,  I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,1993),juz ii,hlm.248.
[2]Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1994),hlm.426-427
Lihat juga Abu Dawud al-Sijitsani, Sunan Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:2318.
2318ـ حدثنا ابن المثنى، ثنا ابن أبي عديٍّ، عن سعيد، عن قتادة، عن عروة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس {وعلى الذين يطيقونه فِدْيَةٌ طعامُ مسكينٍ} قال: كانت رخصةً للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام أن يفطرا ويطعما مكان كل يوم مسكيناً، والحُبلى والمُرضِع إذا خافتا. قال أبو داود: يعني على أولادهما أفطرتا وأطعمت
[3] Imam Syafi’i pernah menetap di Baghdad, selama tinggal di sana beliau mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika beliau pindah ke Mesir beliaupun  mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid  (pendapat yang baru).
[4] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.274-275, lihat juga, Ibrahim al-Baijuri.,op.cit.,hlm.444. 
lihat juga Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Toha Putera,Semarang, juz ii,[tth]./ Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah), hadis no:1849, 1851,1852
39 - باب: متى يقضى قضاء رمضان.
وقال ابن عباس: لا بأس أن يفرق، لقول الله تعالى: {فعدة من أيام أخر}.
وقال سعيد بن المسيب: في صوم العشر: لا يصلح حتى يبدأ برمضان.
وقال إبراهيم: إذا فرط حتى جاء رمضان آخر يصومهما، ولم ير عليه طعاما.
ويذكر عن أبي هريرة مرسلا وابن عباس: أنه يطعم. ولم يذكر الله الإطعام، إنما قال: {فعدة من أيام أخر}.
1849 - حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا زهير: حدثنا يحيى، عن أبي سلمة قال: سمعت عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون علي الصوم من رمضان، فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان. قال يحيى: الشغل من النبي، أو بالنبي صلى الله عليه وسلم.

1851 - حدثنا محمد بن خالد: حدثنا محمد بن موسى بن أعين: حدثنا أبي، عن عمرو بن الحارث، عن عبيد الله بن أبي جعفر: أن محمد بن جعفر حدثه عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها:
 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (من مات وعليه صيام صام عنه وليه).
تابعه ابن وهب، عن عمرو. ورواه يحيى بن أيوب، عن ابن أبي جعفر.

1852 - حدثنا محمد بن عبد الرحيم: حدثنا معاوية بن عمرو: حدثنا زائدة، عن الأعمش، عن مسلم البطين، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي الله عنهما قال:
 جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صوم شهر، أفأقضيه عنها؟. قال: (نعم، قال: فدين الله أحق أن يقضى).
قال سليمان: فقال الحكم وسلمة، ونحن جميعا جلوس حين حدث مسلم بهذا الحديث، قالا: سمعنا مجاهدا يذكر هذا عن ابن عباس.
ويذكر عن أبي خالد: حدثنا الأعمش، عن الحكم ومسلم البطين وسلمة بن كهيل، عن سعيد بن جبير وعطاء ومجاهد، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أختي ماتت.
وقال يحيى وأبو معاوية: حدثنا الأعمش، عن مسلم، عن سعيد، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت.
وقال عبيد الله، عن زيد بن أبي أنيسة، عن الحكم، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت وعليها صوم نذر.
وقال أبو جرير: حدثنا عكرمة، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: ماتت أمي وعليها صوم خمسة عشر يوما.

Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah), hadis no:718.
[ 718 ] حدثنا قتيبة حدثنا عبثر بن القاسم عن أشعث عن محمد عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا قال أبو عيسى حديث بن عمر لا نعرفه مرفوعا إلا من هذا الوجه والصحيح عن بن عمر موقوف قوله واختلف أهل العلم في هذا الباب فقال بعضهم يصام عن الميت وبه يقول أحمد وإسحاق قالا إذا كان على الميت نذر صيام يصوم عنه وإذا كان عليه قضاء رمضان أطعم عنه وقال مالك وسفيان والشافعي لا يصوم أحد عن أحد قال وأشعث هو بن سوار ومحمد هو عندي بن عبد الرحمن بن أبي ليلى

Lihat juga,Muslim bin al-Hajjaj al-Naisapuri,Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah), hadis no: 1147/1148.
(1147) وحدثني هارون بن سعيد الأيلي، وأحمد بن عيسى. قالا: حدثنا ابن وهب. أخبرنا عمرو بن الحارث عن عبيدالله بن أبي جعفر، عن محمد بن جعفر بن الزبير، عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
 "من مات وعليه صيام، صام عنه وليه".
(1148) وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عيسى بن يونس. حدثنا الأعمش عن مسلم البطين، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي الله عنهما ؛ أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت:
 إن أمي ماتت وعليها صوم شهر. فقال: " أرأيت لو كان عليها دين، أكنت تقضينه ؟" قالت: نعم. قال "فدين الله أحق بالقضاء".

[5]Abu Bakar Syatha ,op.cit.,hlm.276, lihat juga, Jalaluddin al-Mahalli ,Syarah al-Mahalli ‘ala al-Mihaj (Hamisy Qalyubi wa ‘Amirah) (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.67.
[6] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, Busyra al-Karim,(Indonesia :Dar al-Kutub al-Arabiyah,tth),juz ii,hlm.79.