Khamis, 11 Julai 2013

Penyerahan Zakat Fitrah



احكام زكاة الفطر فى مذهب الشافعى
Hukum-Hukum Zakat Fitrah Dalam Madzhab Syafi’i

Penyerahan Zakat Fitrah
Zakat di golongkan sebagai praktek ibadah yang wajib di lakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut di tandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat. Kewajiban yang di tanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat segera (‘ala al-faur) maka berkonsekwensi terhadap hukum keharaman untuk mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat setelah memungkinkan untuk diserahkan  (tamakun), maka ia berdosa  dan mewajibkan mnggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang di zakati. Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat,tetangga, orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib menggantinya (dhoman).[1]
Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat yang harus di ketahui :
1)      Niat di dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.
Berkaitan dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah, karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu.[2]
Penyerahan zakat boleh di lakukan oleh sendiri ,melalui wakil atau di serahkan kepada Imam (amil). Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik dari pada di serahkan kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan atau pengelolaan zakat, maka lebih baik di serahkan sendiri atau lewat wakil. Sedangkan penyerahan zakat yang di lakukan sendiri itu lebih baik dari pada lewat wakil.
Zakat yang diserahkan melalui wakil,menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah mencukupi, namun yang lebih utama wakilpun juga niat ketika menyerahkan zakat tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya di wakilkan  kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka niatnya cukup dilakukan disaat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.[3]
An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah) itu pada hakikatnya tidak boleh di wakilkan kecuali dalam pembayaran zakat, pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki) boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam / amil). Di perbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang menyerupai dengan pembayaran hutang untuk di bayarkan kepada yang berhak sebagai penunjang kebutuhannya.[4]
Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu di lakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam, berikut ini contohnya :
a)      Zakat fitrah untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala.
b)      Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya : niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati (tanggungjawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini  pelaku zakat di perbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri.
-          Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan
نوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), fardhu karena Allah Ta’ala.
-          Niat zakat fitrah untuk istri
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, fardhu karena Allah Ta’ala.
-         Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggungjawab  nafaqahnya
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.
-          Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya:
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.
2)      Memberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiqquzzakat).
Dalam madzhab Syafi’i ,zakat haruslah di berikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara merata, hal itu  apabila memang jumlah orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak demikian maka di perbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap golongan tidak ada ,maka di berikan kepada golongan yang ada.
Menurut Ibn Hajar, sebagaimana di kutip Abu Bakar Syatha : bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik, di perbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah yang juga telah di fatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah di fatwahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh di ikuti, karena pada masa sekarang akan kesulitan untuk meratakan keseluruh golongan yang berhak menerima zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal di perbolehkannya memindah zakat atau naqluzzakat.[5]
Berikut ini adalah doa yang di sunnatkan  untuk di baca [6]:
-          Do’a saat menerima zakat.
أجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا  وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ
Artinya :
Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya sebagai pembersih bagimu, dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.
-          Do’a sesudah memberikan zakat:
ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم
Artinya :
Ya Tuhan kami, terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzab,Beirut:Dar al-Fikr,1997.
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth]
Syatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin,  Beirut: Dar al-Fikr,1993.
                                          



[1] Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.46. lihat Abu Bakar Syatha,  I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,1993),juz ii,hlm.299-200.
[2] Ibid,hlm.204.
[3]Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm .41-42.Lihat juga, Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.204-207.
[4] Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzab,(Beirut: Dar al-Fikr,1997),juz vi,hlm.165 dan hlm.179.
[5] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.212 dan 222.
[6] Lihat , Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm.44.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan