Ahad, 23 Jun 2013

Hukum-Hukum Puasa dalam Perspektif Fiqh




احكام الصيام فى الفقه
 
Hukum-Hukum Puasa dalam Perspektif Fiqh

A.           Makna  dan Wajibnya Puasa
Puasa, dalam bahasa Arab disebut shiyam (صيام) dan shaum  (صوم)  keduanya adalah masdar dari fi’il madhi صام  dan mudhari’ يصوم , masdarnya adalah صوما dan صياما . Pengertiannya secara bahasa (لغة) adalah mengekang atau menahan  (الإمساك). Termasuk  dalam pengertian ini adalah menahan dari perkataan, misal Firman Allah SWT , hikayah dari Maryam ‘alaihassalam:
فكلى واشربى وقري عينا فإما ترين من البشر احدا فقولى إنى نذرت للرحمن صوما فلن اكلم اليوم انسيا                                                                                            
Artinya :
Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau, jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah :”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini. [1]
Sedangkan pengertian puasa secara syara’ (شرع) adalah menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, mulai terbitnya fajar sampai terbenamnnya matahari dengan cara dan aturan tertentu.[2]
Wajibnya puasa Ramadhan berlandaskan Firman Allah SWT :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman. Di wajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. [3]
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya:
Barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. [4]
Diantara sebagian banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan kewajiban puasa Ramadhan adalah hadis riwayat Bukhari:
8 - حدثنا عبيد الله بن موسى قال: اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان: عن عكرمة بن خالد، عن ابن عمر رضي الله عنهما قال:
 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والحج، وصوم رمضان[5].
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.
            Selanjutnya dalam literatur fiqh terdapat dua cara dalam mengetahui kedatangan Ramadhan (wajibnya puasa) yang  bersumber pada hadis Nabi Muhammad SAW.
1)      Melihat bulan  (رؤية الهلال)  oleh orang yang dapat di percaya dan di sertai dua orang saksi laki-laki yang adil di hadapan hakim. Syarat penyaksian tersebut di perlukan apabila ketetapan awal Ramadhan dimaksudkan untuk masyarakat umum.
2)      menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari ( استكمال شعبان ثلاثين ), cara demikian digunakan pada saat tidak memungkinkan ru’yah,karena cuaca buruk sehingga tidak bisa dilakukan ru’yah.[6]
Berikut ini  adalah di antara hadis yang menjadi sumbernya, yakni hadis riwayat Bukhari :
1810 - حدثنا آدم: حدثنا شعبة: حدثنا محمد بن زياد قال: سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول:
 قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبى عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين.[7]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami syu’bah ,telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata: saya mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:Berpuasalah kamu sewaktu melihatnya (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihatnya (bulan syawal),maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan, hendaknyalah kamu sempurnakan bulan sya’ban tiga puluh hari”.
            Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi:
[ 691 ] حدثنا محمد بن إسماعيل حدثنا محمد بن الصباح حدثنا الوليد بن أبي ثور عن سماك عن عكرمة عن بن عباس قال جاء أعرابي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال قال أتشهد أن لا إله إلا الله أتشهد أن محمدا رسول الله قال نعم قال يا بلال أذن في الناس أن يصوموا غدا[8]                                                                            
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah, telah menceritakan kepada kami Walid bin Abi Tsaur dari Simak dari  Ikromah dari Ibn Abbas dia berkata :”Telah datang seorang kepada Rasulullah SAW, di terangkannya bahwa ia telah melihat awal bulan Ramadhan, Rasulullah bertanya kepadanya , adakah engkau mengaku “bahwa tidak ada Tuhan sebenarnya melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah ? jawab orang ituYa sudah ! saya mengaku (saya orang Islam)”, lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Bilal supaya memberitahukan kepada orang banyak agar mereka berpuasa besok harinya.
B.            Syarat-Syarat Wajib Puasa
1)      Islam
2)      Baligh
3)      Berakal
4)      Mampu secara syar’an شرعا) ) dan hissan (  حسا) ,serta mukim ( اقامة )  atau tidak dalam bepergian.
Perlu di ketahui bahwa tolak ukur mampu (  مطيق للصوم ) dalam bab puasa itu ada dua yakni:
a.       Syar’an  شرعا) ) pengertianya adalah kemampuan yang telah di tentukan oleh agama. Maka wanita yang lagi menstruasi tidak berkewajiban puasa walaupun  dalam ukuran lahir ia mampu menjalankan puasa, tetapi dalam pandangan syara’ ia tidak mampu berpuasa.
b.      hissan (  حسا) pengertiannya adalah kemampuan yang di ukur dari segi lahiriah, sebagai misal wanita yang hamil ) حامل) dan wanita yang menyusui  ( مرضع),apabila tidak puasa karena menghawatirkan anaknya ,maka keduanya wajib mengganti (qadha) puasa dan membayar fidyah dengan mengeluarkan 1 mud (6,75 ons) makanan pokok perhari sejumlah hari ia tidak melakukan puasa. Namun apabila ia tidak puasa karena menghawatirkan kesehatan dirinya sendiri maka ia wajib mengganti (qadha) saja di lain hari.
Demikian juga bagi orang yang lanjut usia/sangat tua (كبر ), dan orang sakitمرض لا يرجى برؤه )  ) yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka wajib mengeluarkan 1 mud tanpa qadla. Apabila sakit yang dimungkinkan bisa sehat, maka hanya di wajibkan untuk mengqadha di lain hari.[9] Demikian juga bagi musafir (bepergian jauh yang di bolehkan jama’ dan qashar /2 marhalah) ,maka boleh berpuasa atau tidak (qadha di lain hari). Namun yang lebih utama adalah berpuasa, jika tidak membahayakan kesehatan dirinya.[10]
Bersumber pada Firman Allah SWT :
اياما معدودات فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع خيرا فهو خير له وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون    
Artinya :
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[11]
C.           Fardhu-Fardhu Puasa
1)      Niat dalam hati pada setiap malam bulan Ramadhan, tidak di syaratkan untuk melafazkannya, tetapi sunnah. Niat harus di lakukan pada setiap malam Ramadhan, maka tidak cukup apabila dilakukan satu kali dalam sebulan penuh.
Apabila niat puasa pada malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa sebulan penuh maka, niat yang sah adalah hanya satu hari. Walaupun demikian , niat untuk puasa satu bulan pada malam pertama bulan Ramadhan ,sebaiknya tetap di lakukan dengan mengikuti Imam Malik yang tidak mengharuskan niat setiap malam hari, atau Imam Abu Hanifah yang membolehkan niat pada siang hari ketika lupa niat pada malam harinya. Dengan demikian jika suatu hari lupa tidak niat pada malam hari, maka sudah sah dengan niat tadi (satu kali dalam sebulan penuh).[12]
Perlu di ketahui bahwa dalam masalah niat puasa Ramadhan mempunyai syarat-syarat yang perlu di perhatikan :
a.       Harus dilaksanakan pada malam hari (تبييت) , (di inepake jawa – red), mulai antara terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq, baik di lakukan pada awal, tengah maupun akhir, menurut qaul yang mu’tamad.
Permasalahan apabila ada sesorang yang ragu-ragu sewaktu niat, apakah di lakukan sebelum keluar fajar atau sesudahnya?, maka niatnya tidak sah, berbeda ketika seseorang niat kemudian ragu-ragu apakah niatnya dilakukan sebelum keluar fajar atau ataukah belum keluar fajar ?, maka hukumnya tetap sah.[13]
b.      Menjelaskan (menentukan) hukum fardhu puasa yang di lakukan semisal  Ramadhan”. رمضان)). Ringkasnya lafadz niat puasa, dan hukumnya sah adalah :  نويت صوم رمضان
Niat puasa tanpa menyebutkan kata “fardhu” (فرض)  itu di dihukumi sah, dengan alasan puasa Ramadhan yang di kerjakan oleh seseorang yang baligh itu sudah pasti hukumnya adalah fardhu, hal ini menurut qaul yang mu’tamad sebagaimana yang di shahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’Syarh al-Muhadzdzab-nya dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama.[14]  Sedangkan kata “Ghadin” ( غد) itu juga tidak wajib untuk di sebutkan, karena kata tersebut pada kenyataanya sudah masuk dalam kategori tabyit (di lakukan pada malam hari).[15]
Jadi contoh lengkapnya niat adalah :
نويت صوم غد عن اداء فرض رمضان هده السنة لله تعالى[16]
2)      Menahan diri untuk tidak makan dan minum walaupun sedikit, jika seseorang makan atau minum karena lupa, maka puasanya tetap sah.[17]
Diantara sebagian banyak hadis shahih yang menjelaskan hal ini adalah  hadis riwayat Bukhari :
1831 - حدثنا عبدان: أخبرنا يزيد بن زريع: حدثنا هشام: حدثنا ابن سيرين، عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا نسي فأكل وشرب فليتم صومه، فإنما أطعمه الله وسقاه [18]
Artinya:
Telah menceritkan kepada kami Abdani,telah menghabarkan kepada kami Yazid bin Zari’, telah menceritkan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ibn Sirin, dari Abu Hurairah  ra, dari Nabi Muhammad SAW telah bersabda :”Barang siapa lupa bahwa ia puasa kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah disempurnakannya puasanya, sesungguhnya Allah SWT yang memberikan makan dan minum”.
Demikian pula tetap sah puasanya, jika karena bodoh atau tidak tahu bahwa makan dan minum itu dapat membatalkan puasa, dengan catatan ia adalah orang yang baru masuk Islam atau ia adalah jauh dari ulama.[19]
3)      Tidak melakukan hubungan badan (jima’) dengan unsur penyengajaan walaupun tidak sampai keluar mani, namun jika melakukannya karena lupa ,maka tetap sah, seperti halnya  makan yang dilakukan karena lupa sewaktu puasa.
4)      Tidak sengaja untuk muntah, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.[20]
D.           Hal-Hal Yang Dapat Membatalkan Puasa
Ada 10 perkara yang dapat membatalkan puasa yakni :
1)      Masuknya sesuatu dengan sengaja ke dalam rongga tubuh (jauf) melalui lubang tubuh yang asli terbuka (al-munfatih) seperti tenggorokan, batin (dalamnya) hidung, dubur, qubul dan lubang puting payudara.
2)      Masuknya sesuatu dengan sengaja ke dalam rongga tubuh (jauf) melalui lubang tubuh yang tidak terbuka (ghair al-munfatih) semisal luka di otak yang menuju ke kepala.[21] Tidak batal puasanya bagi orang memiliki hadas besar (haidh, nifas misalnya) ketika masuknya air ke telinga saat mandi di di lakukan tanpa sengaja  dan tidak menyelam. Dan batal puasanya bagi orang yang mandi sunnah (masnun) dan mandi untuk kesegaran (tabarrud) walaupun mandinya tidak menyelam.[22]
Mengecualikan dalam rongga tubuh (jauf) adalah misalnya masuknya sesuatu melalui pundak ,paha, pantat atau bagian-bagian lain yang bukan termasuk (jauf), seperti halnya penggunaan celak atau (tetes mata- misalnya) yang masuk melalui mata, walaupun terasa di tenggorokannya itu tidak akan membatalkan puasa, seperti yang di tuturkan Taqiyyudin Abu Bakar dalam kitabnya. [23] Jalaluddin al-Mahalli[24] Imam Nawawi al-Bantani[25], dan ulama-ulama yang lain.
Syihabuddin  al-Qalyubi dalam kitabnya menyatakan: menggunakan celak (tetes mata-misalnya) pada siang hari , tidak membatalkan puasa namun hukumnya khilaf al-aula  (خلاف الأولى ). Sedangkan  menurut Imam Malik  ra, menggunakan hal tersebut dapat membatalkan puasa.[26] Sama halnya tidak membatalkan puasa ,air basuhan yang masuk melalui pori-pori tubuh (al-masamm) walaupun terasa segar dalam badannya.[27]
Demikian juga tidak batal puasanya orang yang di suntik , karena obat yang di masukan melalui injeksi itu masuk ke bagian dalam daging, bukan dalam rongga tubuh (jauf), seperti yang di nyatakan oleh Jalaluddin al-Mahalli:
ولو اوصل الدواء لجراحة على اساق الى داخل اللحم او غرز فيه سكينا وصلت مخه لم يفطر لإنه ليس بجوف [28]                                                                            
Artinya :
Seadainya seseorang memasukan obat bagi luka betis sampai luka kedalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, karena daging itu bukan rongga tubuh.
3)      Memasukan obat  ( دواء يحقن به المريض ) ke qubul maupun dubur.
4)      Muntah  yang dilakukan dengan sengaja ,walaupun tidak ada yang kembali, apabila tidak sengaja (misal lupa ,tidak tahu hukum, dipaksa dll) dan tidak ada muntahan yang kembali maka tidak batal puasanya.[29]
5)      Bersetubuh (jima’) dengan sengaja dan mengerti hukum, walaupun tidak sampai keluar mani, jika dilakukan karena lupa ,walaupun berulang-ulang maka tidak membatalkan puasa seperti halnya makan.[30] Orang yang batal puasanya karena melakukan jima’, maka di wajibkan untuk mengqadha’ dan di wajibkan pula membayar kafarat, ketentuannya sebagai berikut :
a.       Memerdekakan budak (hamba sahaya) ,jika tidak mendapati maka di ganti dengan menjalankan :
b.      Puasa selama 2 bulan berturut-turut, apabila di tengah jalan ternyata batal puasanya baik itu di hari yang terakhir atau di sebabkan udzur misalnya lupa niat, safar, dan sakit, maka wajib mengulangi dari pertama lagi, kecuali apabila batal puasanya karena haid, nifas ,gila dan ayanen-jawa.[31] Dan jika tidak mampu puasa 2 bulan berturut-turut maka wajib menggantinya dengan :
c.       Memberi makan kepada 60 (enam puluh) orang fakir miskin, masing-masing 1 mud (makanan pokok) yang mencukupi untuk zakat fitrah. Apabila tidak mampu memenuhi semuanya, maka kafarat tersebut masih dalam tanggungannya, dan dapat di laksanakan ketika pada suatu waktu seseorang itu sudah merasa mampu .[32]
6)      Keluar mani dengan jalan istimta’ (pekerjaan mengeluarkan mani selain jima’), baik dengan cara yang boleh (mubah) atau haram, contoh yang boleh (mubah) adalah seperti menggunakan tangan istri , dan yang haram seperti menggunakan tangannya sendiri (onani) dan sebagainya. Sedangkan mencium (qublah) dan merangkul (dhammu) itu tidaklah membatalkan puasa jika hal tersebut di lakukan tanpa bermaksud istimta’ (pekerjaan mengeluarkan mani).
Demikian juga dengan mimpi keluar mani (ihtilam), itu tidaklah batal puasanya, adapun mengeluarkan mani dengan cara melihat (nadhar) ataupun berangan-angan/menghayal atau ngelamun (fikrun) itu tidaklah membatalkan puasa dengan catatan apabila sudah adatnya ( terbiasanya) tidak akan keluar mani dengan sebab tersebut.[33]
Berkaitan dengan keluar mani (inzal) , nampaknya menurut penulis perlu di tampilkan pada tulisan ini ,yakni :
Menurut Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi sebagaimana di kutip oleh Abu Bakar Syatha, bahwa kosekwensi hukum puasa yang di akibatkan karena   keluar mani (inzal) itu sebagai berikut rinciannya :
a.       Apabila dengan istimta’ yang mubah atau haram, dengan penghalang (ha’il) ataupun tidak, maka membatalkan puasa.
b.      Apabila dengan memegang (lamsun) maka tafshil :
-          Jika memegang seseorang yang secara umum tidak mengandung rasa syahwat semisal anak kecil, maka tidak batal puasanya secara mutlak (baik itu bersyahwat atau tidak, dengan memakai penghalang (ha’il) ataupun tidak).
-          Jika memegang seseorang yang secara umum mengandung syahwat maka :
a.       Batal, apabila (bukan mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat dan tanpa penghalang.
b.      Tidak batal, apabila (bukan mahramnya) dan di lakukan dengan tanpa syahwat dan disertai penghalang.
c.       Tidak batal, apabila (mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat atau tidak dan di sertai penghalang.
d.      Batal, apabila (mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat atau tidak atau tidak dan tanpa di sertai penghalang.[34]
7)      Haidh.
8)      Nifas.
9)      Gila.
10)  Murtad
Apabila keempatnya muncul sewaktu-waktu pada saat berpuasa maka dapat membatalkannya. Adapun ayanen-jawa (إغماء ) dan mabuk (سكر),jika hal tersebut terjadi, maka dapat membatalkan puasa apabila sampai menghabiskan waktu siang (terbenamnya matahari), namun apabila tersadar walaupun sebentar maka puasanya tetap sah.[35]
E.            Sunnah-Sunnah Puasa
1)      Makan sahur (تسحر) yang dilakukan mulai tengah malam sampai terbitnya fajar shadiq. Apabila dilakukan sebelum tengah, maka tidak mendapatkan kesunahannya sahur, berkaitan dengan sahur yang lebih baik lagi di lakukan mengakhirkannya (kira-kira baca 50 ayat sebelum terbit fajar).[36]
Menyegerakan berbuka apabila memang sudah masuk waktunya غروب) الشمس). Sunnahnya dengan beberapa kurma (3 kurna) jika tidak ada maka dengan minum beberapa teguk air (lebih utama air zamzam) ,lalu makanan atau minuman manis yang alami (tanpa di rebus), misal anggur, susu, madu. Minum susu lebih utama daripada madu, dan makan daging lebih utama dari susu dan madu. Kemudian setelah itu makanan yang manis yang di rebus. [37] Dan membaca do’a:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجرإن شاء الله[38]   
2)      Mandi jinabah bagi yang menangung hadas sebelum terbitanya fajar (subuh), agar dalam menjalankan puasa dalam keadaan suci dan mengindari masuknya air saat mandi ke dalam anggota tubuh yang dapat membatalkan puasa ketika dilakukan pada siang hari (puasa).[39] Perlu di ketahui bagi orang yang mandi besar saat berpuasa yakni :
Tidak batal puasanya bagi orang memiliki hadas besar (haidh, nifas misalnya) ketika masuknya air ke telinga saat mandi di lakukan tanpa sengaja  dan tidak menyelam. Dan batal puasanya bagi orang yang mandi sunnah (masnun) dan mandi untuk kesegaran (tabarrud) walaupun mandinya tidak menyelam.[40]
3)      Menjauhkan diri dari makanan-makanan yang syubhat, dan juga kesenangan-kesenganan yang di perbolehkan baik melalui pendengaran, penciuman, penglihatan dan sebagainya, serta menahan diri dari perkataan-perkataan yang kotor yang dapat menghapus pahalanya puasa semisal dusta, mengguncing, mencaci dan sebagainya.[41]
4)      Memperbanyak shadaqah, berbuat baik kepada keluarga, tetangga , serta mengajak untuk berbuka bersama.[42]
5)      Memperbanyak baca al-Qur’an, walaupun di jalan, (bukan tempat kotor semisal jamban). Adapun waktu siang yang lebih utama untuk membaca al-Qur’an adalah setelah shubuh, sedangkan lebih utamanya malam adalah waktu sahur dan waktu diantara shalat maghrib dan isya.[43]
Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi atau lebih masyhur disebut al-Nawawi dalam al-Adzkar-nya mengatakan:
“Lebih utamanya membaca al-Qur’an itu adalah ketika di dalam shalat. Madzhab asy-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa memanjangkan bacaan al-Quran saat berdiri dalam shalat itu lebih utama dari memanjangkan sujud dan selainnya. Sedangkan lebih utama membaca al-Qur’an di luar shalat adalah pada waktu malam hari, dan tengah malam lebih utama dari awal malam, dan membaca al-Qur’an di antara waktu mahgrib dan isya’ itu sangat di sukai, waktu siang yang lebih utama adalah setelah shubuh. Dan juga tidak makruh membaca al-Qur’an di selain waktu-waktu tersebut, termasuk waktu yang di larang untuk melakukan shalat semisal setelah ashar. Adapun hadis yang di hikayahkan dari Abu Dawud rahimahullah dari mu’adz bin Rifa’ah rahimahullah, dari guru-gurunya. Mereka menyatakan “makruh membaca al-Qur’an setelah shalat ashar karena waktu tersebut adalah waktu belajarnya orang Yahudi” adalah tertolak dan tidak ada dalilnya sama sekali.Sedangkan hari-hari yang lebih utama membaca al-Qur’an adalah jum’at, senin, kamis, dan hari Arafah. Dari tanggal sepuluh ke atas yang lebih utama adalah tanggal 10 awal dari bulan Dzul hijjah, sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan dari bulan yang paling utama dalam membaca al-Qur’an adalah bulan Ramadhan”.[44]
6)      Memperbanyak ibadah, termasuk i’tikaf terutama pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan , karena terdapat lailatul qadr pada waktu tersebut.[45]
F.            Kemakruhan dalam Berpuasa
Hal-hal yang di makruhkan dalam pelaksanaan puasa adalah:
1)      Cantuk (hijamah)
2)      Mencicipi makanan dengan kekhawatiran masuknya makanan tersebut ke dalam perut, tetapi jika ada tujuan semisal (mamah_jawa ) makanan ke anak kecil) maka tidak makruh.
3)      Mencium (suami istri) atau memegang yang menimbulkan syahwat.
4)      Menggunakan siwak (gosok gigi) selepas duhur (matahari condong ke barat)  sampai terbenamnya matahari.
5)      Menunda atau mengakhirkan berbuka
6)      Mengunyah makanan.[46]
Tentang Qadha dan Fidyah Puasa
Mengenai orang yang hamil, menyusui, orang yang sakit  atau sakit yang tidak dapat di harapkan kesembuhannya, orang yang sudah lanjut usia/ sangat tua, dan musafir sudah penulis jelaskan (baca: tolak ukur mampu secara hissan halaman 4 sampai 5).
Selanjutnya apabila ada seseorang yang mempunyai tanggungan puasa yang belum di qadha, hingga datangnya Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur syara’ ,maka wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah (1 mud) sesuai berapa hari yang di tinggalkan. Namun jika ada udzur,misalnya sakit, bepergian (musafir) dan sebagainya maka hanya di wajibkan mengqadha saja, apabila sampai dua kali Ramadhan maka untuk 1 hari kewajibannya adalah 2 mud, dan begitu seterusnya.
Apabila seseorang meninggal dunia dan memungkinkan untuk mengqadhainya tetapi belum dilaksanakan sampai masuk Ramadhan berikutnya (atau belum masuk Ramadhan berikutnya), maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat :
a)      Menurut Qaul Jadid : walinya wajib membayarkan fidyah dengan mengeluarkan 2 mud, (muddun lil fawat wa muddun litta’khir) ,dari harta tinggalannya mayit, (tirkah) dan tidak boleh menggantikan puasa untuk orang yang meninggal dunia.
b)      Menurut Qaul Qadim : boleh memilih salah satu, yakni walinya boleh membayar fidyah (1 mud) atau berpuasa untuk mengqadhai puasanya orang yang meninggal dunia. Dan  qaul ini adalah yang mu’tamad.[47]
Berkaitan dengan masalah tirkah , perlu di ketahui bahwa dalam membayarkan fidyah yang di ambil dari harta tinggalannya mayit (tirkah) , hal itu dapat di lakukan jika memang si mayit memiliki tirkah, tetapi .apabila tidak ada tirkah nya, maka bagi wali atau orang lain (keluarga) boleh menggunakan hartanya sendiri utuk membayarkan fidyah tersebut.[48]
Tentang Qadha dan Fidyah Shalat
Berikut ini penulis sampaikan beberapa pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah tentang mengqadhai dan mengeluarkan fidyah shalatnya orang yang sudah meninggal dunia.
Perlu di ketahui bahwa shalat yang pernah di tinggalkan oleh orang sudah meninggal dunia, maka bagi ahli warisnya atau (walinya) tidak ada kewajiban untuk mengqadha dan membayarkan fidyah. Namun menurut sebagian kalangan ulama Syafi’iyyah berpendapat : shalat yang di tinggalkan oleh mayit boleh mengqadhainya. Imam as-Subki sendiri mengamalkannya dengan mengqadhai shalat yang pernah di tinggalkan oleh sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.
Menurut Jalaladdin al-Mahalli dalam kitabnya dengan mengutip pendapat guru-guru beliau, bahwa: pendapat (qaul) ini boleh di amalkan untuk diri sendiri dan tidak untuk di fatwakan, menurut beliau, diperbolehkan untuk taqlid, karena termasuk qaul muqabil ashah.  Imam Ibn Burhan dengan mengutip qaul qadim, menyatakan bahwa bagi walinya diperbolehkan mengqadhai shalat atau mengganti dengan membayar fidyah seperti halnya puasa.
Sementara itu sebagian besar ulama Syafi’iyyah berpendapat :diperbolehkan bagi ahli warisnya atau walinya untuk mengganti dengan mengeluarkan fidyah (1 mud) untuk setiap shalat yang pernah di tinggalkan. Imam al-Muhib ath-Thabari mengatakan: sampainya pahala setiap ibadah yang dikerjakan untuk si mayit,  baik wajib atau sunnah. Dalam kitab Syarah al-Mukhtar disebutkan bahwa : madzhab Ahlussunnah berpendapat sampainya pahala ibadah dan shalat yang di ditujukan untuk orang lain.
Berkaitan dengan masalah ini, Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi menyatakan hal itu adalah dha’if (pendapat lemah).[49] Imam Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami dalam kitabnya mengatakan sampainya pahala shadaqah yang disampaikan kepada orang lain (yang menerima shadaqah) berdasar ijma’ ulama.[50]
Dari sini, menurut hemat penulis bagi wali (orang tua) atau ahli waris yang berkeinginan untuk mengqadhai dan menfidyahi shalatnya orang yang sudah meninggal dunia, silahkan melakukannya berdasar dari pendapat-pendapat yang sudah disebutkan, dan penulis yakin mereka yang berpendapat adalah para ulama-ulama lebih ‘allamah (‘alim) dalam keilmuannya dan lebih terpilih di bandingkan dengan ulama-ulama zaman sekarang. Wallahu A’lam.
Kapan Lailatul Qadr ?
            Sebagai pamungkas dari kajian ini, penulis tertarik untuk menampilkan tanggal atau malam yang ke berapakah lailatul qadr ?. Pada hakikatnya kapan tepatnya lailatul qadr hanyalah Allah SWT, yang mengetahuinya, hikmahnya adalah agar setiap hari atau malam di bulan Ramadhan di gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun sinyal atau petunjuk berdasar hadis Nabi menyebutkan bahwa lailatul qadr terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.[51]
Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, dalam kitabnya menuturkan: ada 40 qaul ulama yang membahas kapan terjadinya lailatul qadr. Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullah sendiri cenderung memilih malam 21 dan 23 Ramadhan, dengan   landasan bahwa Nabi Muhammad SAW melihatnya pada malam tersebut.[52]
Syihabuddin al-Qalyubi dalam kitabnya menulis tentang tuntunan untuk mengetahui lailatul qadr, yang beliau rangkum dalam sebuah syi’ir berikut ini :
يا سائلى عن ليلة  القدر التى        فى عشر رمضان الأخير حلت
فإنها   فى   مفردات   العشر        تعرف  فى  يوم  ابتداء   الشهر
فبالأحد والأربعا فى التاسعة        وبجمعة    مع الثلاثا    السابعة
وإن بدا  الخميس  فالخامسة        وإن     بدا     بالسبت    فالثالثة
وإن بدا الإثنين فهى الحادى        هذا   عن     الصوفية    الزهاد[53]
Artinya :
Wahai yang memintaku untuk dapat  mengetahui lailatul qadr di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Sesungguhnya lailatul qadr jatuh pada malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dapat di ketahui dengan hari permulaan Ramadhan.
Apabila Ramadhan di mulai hari ahad atau rabu ,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 29. Jika  jum’at atau selasa maka, malam ke 27.
Apabila Ramadhan di mulai hari kamis,,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 25. Namun jika sabtu ,maka malam ke 23.
Apabila Ramadhan di mulai hari senin, maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 21. Demikian ini adalah pendapat dari ulama sufi yang zuhud.

والله المستعان لإصابة الصواب وعليه التكلان واليه المآب

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, ,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Bantani , Nawawi, Nihayah al-Zain, Semarang: Toha Putera,[tth].
Al-  Bukhari ,Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah
Al-Hadhrami, Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra al-Karim, Indonesia: Dar al-Kutub al-Arabiyah,[tth].       
Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, [Maktabah Syamilah]
Al-Nawawi, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, al-Adzkar, Semarang:Karya Insan, [tth].
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang: Maktabah Toha Putera,[tth]
Al- Sijitsani, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Maktabah Syamilah].
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad, Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah).
Syatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin,  Beirut: Dar al-Fikr,1993.


[1] Q.S. Maryam [19]:26
[2] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1994),hlm.426-427.
[3] Q.S. al-Baqarah [02]: 183
[4] (Q.S. al-Baqarah [02]: 185.
[5] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Toha Putera,Semarang, juz I,[tth], hlm.9.
[6] Ibrahim al-Bajuri,loc.cit
[7] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,tth),juz ii,hlm.35/hadis no:1810..
[8] Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah), hadis no:691.

[9] Abu Bakar Syatha,  I’anah at-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,1993),juz ii,hlm.248.
[10]Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.447.
[11] Q.S. al-Baqarah [02]: 184.
                Lihat juga Abu Dawud al-Sijitsani, Sunan Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:2318.
2318ـ حدثنا ابن المثنى، ثنا ابن أبي عديٍّ، عن سعيد، عن قتادة، عن عروة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس {وعلى الذين يطيقونه فِدْيَةٌ طعامُ مسكينٍ} قال: كانت رخصةً للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام أن يفطرا ويطعما مكان كل يوم مسكيناً، والحُبلى والمُرضِع إذا خافتا. قال أبو داود: يعني على أولادهما أفطرتا وأطعمت                                               
[12]Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.249.
[13] Ibid,,hlm.250.
[14] Ibid,hlm. 252.
[15] Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.430..
[16] Abu Bakar Syatha ,loc.cit
[17] Ibrahim al-Baijuri,loc.cit
[18] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari ,op.cit..hlm.40/hadis no:1831.
[19] Ibrahim al-Baijuri,opc.cit.,hlm.431.
[20] Ibid,hlm.290.
[21] Ibid,hlm.433.
[22] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.264.
[23] Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Fikr),juz i,hlm.205.
[24] Jalaluddin al-Mahalli ,Syarah al-Mahalli ‘ala al-Mihaj (Hamisy Qalyubi wa ‘Amirah) (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.56.
[25] Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain,(Semarang: Toha Putera,tth),hlm.188.

Di jelaskan pula dalam kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi'i hlm.84:
فا قطرة من الاذن مفطرة لإنها منفذ مفتوح والقطرة فى العين غير مفطرة لانه منفد غير مفتوح
Artinya: Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan kedalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.
[26] Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.56.
[27] Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.433-434.
[28] Jalaluddin al-Mahalli ,loc.cit.
[29] Ibrahim al-Baijuri, loc.cit
Lihat juga Sunan al-Tirmidzi, hadis no:720.
[ 720 ] حدثنا علي بن حجر حدثنا عيسى بن يونس عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض قال وفي الباب عن أبي الدرداء وثوبان وفضالة بن عبيد قال أبو عيسى حديث أبي هريرة حديث حسن غريب لا نعرفه من حديث هشام عن بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إلا من حديث عيسى بن يونس وقال محمد لا أراه محفوظا قال أبو عيسى وقد روى هذا الحديث من غير وجه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا يصح إسناده وقد روي عن أبي الدرداء وثوبان وفضالة بن عبيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قاء فافطر وإنما معنى هذا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان صائما متطوعا فقاء فضعف فأفطر لذلك هكذا روي في بعض الحديث مفسرا والعمل عند أهل العلم على حديث أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم أن الصائم إذا ذرعه القيء فلا قضاء عليه وإذا استقاء عمدا فليقض وبه يقول سفيان الثوري والشافعي وأحمد وإسحاق                
[30] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.254.
[31] Ibid, hlm.269-271.
[32] Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.442.
Lihat juga Shahih Bukhari, hadis no: 1835.
1835 - حدثنا عثمان بن أبي شيبة: حدثنا جرير، عن منصور، عن الزهري، عن حميد بن عبد الرحمن، عن أبي هريرة رضي الله عنه:
 جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إن الآخر وقع على امرأته في رمضان. فقال: (أتجد ما تحرر رقبة). قال: لا. قال: (فتستطيع أن تصوم شهرين متتابعين). قال: لا. قال: (أفتجد ما تطعم به ستين مسكينا). قال: لا. قال: فأتي النبي صلى الله عليه وسلم بعرق فيه تمر، وهو الزبيل، قال: (أطعم هذا عنك). قال: على أحوج منا، ما بين لابتيها أهل بيت أحوج منا. قال: (فأطعمه أهلك).
[33] Abu Bakar Syatha ,op.cit.,hlm.255.
Lihat juga Shahih Bukhari, hadis no: 1827.
1827 - حدثنا محمد بن المثنى: حدثنا يحيى، عن هشام قال: أخبرني أبي، عن عائشة، عن النبي صلى الله عليه وسلم (ح). وحدثنا عبد الله ابن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه، عن عائشة رضي الله عنها قالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقبل بعض أزواجه وهو صائم، ثم ضحكت.


[34] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.256.
[35] Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.435.
[36] Ibid,hlm.436.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1851,1823.
1821- حدثنا مسلم بن إبراهيم: حدثنا هشام: حدثنا قتادة، عن أنس، عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال:
 تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان والسحور؟. قال: قدر خمسين آية

1823 - حدثنا آدم بن أبي إياس: حدثنا شعبة: حدثنا عبد العزيز بن صهيب قال: سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: (تسحروا، فإن في السحور بركة).
[37] Ibrahim al-Baijuri,loc.cit.
Lihat juga,Sunan al-Tirmidzi,hadis no:696.
[ 696 ] حدثنا محمد بن رافع حدثنا عبد الرزاق أخبرنا جعفر بن سليمان عن ثابت عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يفطر قبل أن يصلي على رطبات فإن لم تكن رطبات فتميرات فإن لم تكن تميرات حسا حسوات من ماء

lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1856.
1856 - حدثنا عبد الله بن يوسف: أخبرنا مالك، عن أبي حازم، عن سهل بن سعد: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر).

[38] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.279.
[39] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami,op.cit.,hlm.74.
[40] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.264.
[41] Ibid,hlm.280.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1805.
1805 - حدثنا إبراهيم بن موسى: أخبرنا هشام بن يوسف، عن ابن جريج قال: أخبرني عطاء، عن أبي صالح الزيات: أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه يقول:
 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (قال الله: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام، فإنه لي وأنا أجزي به، والصيام جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤ صائم. والذي نفس محمد بيده، لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك. للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه).

[42] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.283.
Lihat, Sunan al-Tirmidzi,hadis no:807
[ 807 ] حدثنا هناد حدثنا عبد الرحيم عن عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن زيد بن خالد الجهني قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فطر صائما كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

[43] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.284.
[44] Al-Nawawi, al-Adzkar,(Semarang:Karya Insan, tth),hlm.87.
[45] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, Busyra al-Karim,(Indonesia :Dar al-Kutub al-Arabiyah,tth),juz ii,hlm.75.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1802,1916,1922.
1802 - حدثنا مسلم بن إبراهيم: حدثنا هشام: حدثنا يحيى، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة رضي الله عنه،عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه).
                                     
(1916) - حدثني محمد: أخبرنا عبدة، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان، ويقول: (تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان).                                                   
                               
1922 - حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب، عن عروة بن الزبير، عن عائشة رضي الله عنها، زوج النبي صلى الله عليه وسلم: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله، ثم اعتكف أزواجه من بعده.

[46]. Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami,op.cit.,hlm.74,, lihat juga, Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.281.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1837/1827.
(1837) - حدثنا أبو معمر: حدثنا عبد الوارث: حدثنا أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس رضي الله عنهما قال:
 احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وهو صائم
.
1827 - حدثنا محمد بن المثنى: حدثنا يحيى، عن هشام قال: أخبرني أبي، عن عائشة، عن النبي صلى الله عليه وسلم (ح). وحدثنا عبد الله ابن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه، عن عائشة رضي الله عنها قالت:
 إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقبل بعض أزواجه وهو صائم، ثم ضحكت.

Lihat juga Sunan al-Tirmidzi,hadis no:725.
[ 725 ] حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الرحمن بن مهدي حدثنا سفيان عن عاصم بن عبيد الله عن عبد الله بن عامر بن ربيعة عن أبيه قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم ما لا أحصي يتسوك وهو صائم قال وفي الباب عن عائشة قال أبو عيسى حديث عامر بن ربيعة حديث حسن والعمل على هذا عند أهل العلم لا يرون بالسواك للصائم بأسا إلا أن بعض أهل العلم كرهوا السواك للصائم بالعود الرطب وكرهوا له السواك أخر النهار ولم ير الشافعي بالسواك بأسا أول النهار ولا آخره وكره أحمد وإسحاق السواك آخر النهار
                                                                

[47] Imam Syafi’i pernah menetap di Baghdad, selama tinggal di sana beliau mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika beliau pindah ke Mesir beliaupun  mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid  (pendapat yang baru).
[48] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.274-275, lihat juga, Ibrahim al-Baijuri.,op.cit.,hlm.444. lihat juga, Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm.69.
 lihat juga Shahih Bukhari, hadis no :1849, 1851,1852
39 - باب: متى يقضى قضاء رمضان.
وقال ابن عباس: لا بأس أن يفرق، لقول الله تعالى: {فعدة من أيام أخر}.
وقال سعيد بن المسيب: في صوم العشر: لا يصلح حتى يبدأ برمضان.
وقال إبراهيم: إذا فرط حتى جاء رمضان آخر يصومهما، ولم ير عليه طعاما.
ويذكر عن أبي هريرة مرسلا وابن عباس: أنه يطعم. ولم يذكر الله الإطعام، إنما قال: {فعدة من أيام أخر}.
1849 - حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا زهير: حدثنا يحيى، عن أبي سلمة قال: سمعت عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون علي الصوم من رمضان، فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان. قال يحيى: الشغل من النبي، أو بالنبي صلى الله عليه وسلم.

1851 - حدثنا محمد بن خالد: حدثنا محمد بن موسى بن أعين: حدثنا أبي، عن عمرو بن الحارث، عن عبيد الله بن أبي جعفر: أن محمد بن جعفر حدثه عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها:
 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (من مات وعليه صيام صام عنه وليه).
تابعه ابن وهب، عن عمرو. ورواه يحيى بن أيوب، عن ابن أبي جعفر.

1852 - حدثنا محمد بن عبد الرحيم: حدثنا معاوية بن عمرو: حدثنا زائدة، عن الأعمش، عن مسلم البطين، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي الله عنهما قال:
 جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صوم شهر، أفأقضيه عنها؟. قال: (نعم، قال: فدين الله أحق أن يقضى).
قال سليمان: فقال الحكم وسلمة، ونحن جميعا جلوس حين حدث مسلم بهذا الحديث، قالا: سمعنا مجاهدا يذكر هذا عن ابن عباس.
ويذكر عن أبي خالد: حدثنا الأعمش، عن الحكم ومسلم البطين وسلمة بن كهيل، عن سعيد بن جبير وعطاء ومجاهد، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أختي ماتت.
وقال يحيى وأبو معاوية: حدثنا الأعمش، عن مسلم، عن سعيد، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت.
وقال عبيد الله، عن زيد بن أبي أنيسة، عن الحكم، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت وعليها صوم نذر.
وقال أبو جرير: حدثنا عكرمة، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: ماتت أمي وعليها صوم خمسة عشر يوما.

Lihat juga, Sunan al-Tirmidzi,hadis no:718.
[ 718 ] حدثنا قتيبة حدثنا عبثر بن القاسم عن أشعث عن محمد عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا قال أبو عيسى حديث بن عمر لا نعرفه مرفوعا إلا من هذا الوجه والصحيح عن بن عمر موقوف قوله واختلف أهل العلم في هذا الباب فقال بعضهم يصام عن الميت وبه يقول أحمد وإسحاق قالا إذا كان على الميت نذر صيام يصوم عنه وإذا كان عليه قضاء رمضان أطعم عنه وقال مالك وسفيان والشافعي لا يصوم أحد عن أحد قال وأشعث هو بن سوار ومحمد هو عندي بن عبد الرحمن بن أبي ليلى

Lihat juga,Muslim bin al-Hajjaj al-Naisapuri,Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah), hadis no: 1147/1148.
(1147) وحدثني هارون بن سعيد الأيلي، وأحمد بن عيسى. قالا: حدثنا ابن وهب. أخبرنا عمرو بن الحارث عن عبيدالله بن أبي جعفر، عن محمد بن جعفر بن الزبير، عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
 "من مات وعليه صيام، صام عنه وليه".
(1148) وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عيسى بن يونس. حدثنا الأعمش عن مسلم البطين، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي الله عنهما ؛ أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت:
 إن أمي ماتت وعليها صوم شهر. فقال: " أرأيت لو كان عليها دين، أكنت تقضينه ؟" قالت: نعم. قال "فدين الله أحق بالقضاء".

[49]Abu Bakar Syatha ,op.cit.,hlm.276, lihat juga, Jalaluddin al-Mahalli,op.cit.,hlm.67.
[50] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, op.cit.,hlm.79.
[51] lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1916.
(1916) - حدثني محمد: أخبرنا عبدة، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان، ويقول: (تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان)                                                             
[52] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami,op.cit.,hlm.75.
[53] Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm.76.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan