Hukum-Hukum Puasa dalam Perspektif Fiqh
A.
Makna dan
Wajibnya Puasa
Puasa, dalam
bahasa Arab disebut shiyam (صيام) dan shaum (صوم) keduanya
adalah masdar dari fi’il madhi صام dan mudhari’ يصوم , masdarnya adalah صوما dan صياما . Pengertiannya secara bahasa (لغة) adalah mengekang atau menahan
(الإمساك). Termasuk dalam pengertian ini
adalah menahan dari perkataan,
misal Firman Allah SWT
, hikayah dari
Maryam ‘alaihassalam:
فكلى واشربى وقري عينا فإما ترين من
البشر احدا فقولى إنى نذرت للرحمن صوما فلن اكلم اليوم انسيا
Artinya :
Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau,
jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah :”Sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara
dengan siapapun pada hari ini. [1]
Sedangkan
pengertian puasa secara syara’ (شرع) adalah menahan dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, mulai terbitnya fajar sampai terbenamnnya matahari dengan cara dan
aturan tertentu.[2]
Wajibnya
puasa Ramadhan berlandaskan Firman Allah SWT :
يا
ايها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman. Di wajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. [3]
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya:
Diantara
sebagian banyak hadis Nabi Muhammad
SAW yang menyatakan kewajiban puasa Ramadhan adalah hadis riwayat
Bukhari:
8 - حدثنا عبيد الله بن موسى
قال: اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان: عن عكرمة بن خالد، عن ابن عمر رضي الله عنهما
قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: بني الإسلام
على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء
الزكاة، والحج، وصوم رمضان[5].
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada Tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.
Selanjutnya
dalam literatur fiqh terdapat dua cara dalam mengetahui kedatangan Ramadhan
(wajibnya puasa) yang bersumber pada
hadis Nabi Muhammad SAW.
1) Melihat bulan (رؤية الهلال)
oleh orang yang dapat di
percaya dan di sertai dua orang saksi laki-laki yang adil di hadapan hakim. Syarat
penyaksian tersebut di perlukan apabila ketetapan awal Ramadhan dimaksudkan
untuk masyarakat umum.
2) menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari ( استكمال شعبان ثلاثين ), cara demikian digunakan pada saat tidak
memungkinkan ru’yah,karena cuaca buruk sehingga tidak bisa dilakukan ru’yah.[6]
Berikut ini adalah
di antara hadis yang menjadi sumbernya,
yakni hadis riwayat Bukhari :
1810 - حدثنا آدم: حدثنا شعبة:
حدثنا محمد بن زياد قال: سمعت أبا هريرة رضي الله عنه يقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو
القاسم صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبى عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين.[7]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami syu’bah
,telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata: saya mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:”Berpuasalah
kamu sewaktu melihatnya (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu melihatnya
(bulan syawal),maka jika ada yang menghalangi sehingga bulan tidak kelihatan,
hendaknyalah kamu sempurnakan bulan sya’ban tiga puluh hari”.
Hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi:
[ 691 ] حدثنا محمد بن إسماعيل حدثنا محمد بن
الصباح حدثنا الوليد بن أبي ثور عن سماك عن عكرمة عن بن عباس قال جاء أعرابي إلى
النبي صلى الله عليه وسلم فقال إني رأيت الهلال قال أتشهد أن لا إله إلا الله
أتشهد أن محمدا رسول الله قال نعم قال يا بلال أذن في الناس أن يصوموا غدا[8]
Artinya :
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah, telah menceritakan kepada kami Walid bin Abi Tsaur dari Simak dari ‘Ikromah dari Ibn Abbas dia berkata :”Telah datang seorang
kepada Rasulullah SAW, di
terangkannya bahwa ia telah melihat awal bulan Ramadhan, Rasulullah bertanya
kepadanya , adakah engkau mengaku “bahwa tidak ada Tuhan sebenarnya melainkan
Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah ?” jawab orang itu “Ya sudah ! saya mengaku (saya orang
Islam)”, lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Bilal supaya memberitahukan
kepada orang banyak agar mereka berpuasa besok harinya.
B.
Syarat-Syarat Wajib Puasa
1) Islam
2) Baligh
3) Berakal
4) Mampu secara syar’an شرعا) )
dan hissan ( حسا) ,serta
mukim ( اقامة ) atau tidak dalam bepergian.
Perlu di
ketahui bahwa tolak ukur mampu ( مطيق للصوم
) dalam bab puasa itu ada dua yakni:
a. Syar’an شرعا) )
pengertianya adalah
kemampuan yang telah di tentukan oleh agama. Maka wanita yang lagi menstruasi tidak berkewajiban puasa walaupun dalam ukuran lahir ia mampu menjalankan puasa,
tetapi dalam pandangan syara’
ia tidak mampu berpuasa.
b. hissan ( حسا) pengertiannya adalah kemampuan yang di ukur dari segi lahiriah, sebagai misal wanita yang hamil ) حامل)
dan wanita yang menyusui ( مرضع),apabila tidak puasa karena menghawatirkan anaknya ,maka
keduanya wajib mengganti (qadha) puasa dan membayar fidyah dengan
mengeluarkan 1 mud (6,75 ons) makanan
pokok perhari sejumlah hari ia tidak melakukan puasa. Namun apabila ia tidak
puasa karena menghawatirkan kesehatan dirinya sendiri maka ia wajib mengganti (qadha)
saja di lain hari.
Demikian juga
bagi orang yang lanjut usia/sangat tua (كبر ),
dan orang sakitمرض
لا يرجى برؤه ) ) yang tidak bisa
diharapkan kesembuhannya maka wajib mengeluarkan 1 mud tanpa qadla. Apabila
sakit yang dimungkinkan bisa sehat, maka hanya di wajibkan untuk mengqadha di
lain hari.[9]
Demikian juga bagi musafir (bepergian jauh yang di bolehkan jama’ dan
qashar /2 marhalah) ,maka boleh berpuasa atau tidak (qadha di lain
hari). Namun yang lebih utama adalah berpuasa, jika tidak membahayakan
kesehatan dirinya.[10]
Bersumber
pada Firman Allah SWT :
اياما معدودات فمن كان منكم مريضا او
على سفر فعدة من ايام اخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع خيرا فهو
خير له وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون
Artinya :
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa
di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang
lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.[11]
C.
Fardhu-Fardhu Puasa
1) Niat dalam hati pada setiap malam bulan Ramadhan, tidak di
syaratkan untuk melafazkannya, tetapi sunnah. Niat harus di lakukan pada setiap
malam Ramadhan, maka tidak cukup apabila dilakukan satu kali dalam sebulan
penuh.
Apabila niat
puasa pada malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa sebulan penuh maka, niat
yang sah adalah hanya satu hari. Walaupun demikian , niat untuk puasa satu
bulan pada malam pertama bulan Ramadhan ,sebaiknya tetap di lakukan dengan
mengikuti Imam Malik yang tidak mengharuskan niat setiap malam hari, atau Imam
Abu Hanifah yang membolehkan niat pada siang hari ketika lupa niat pada malam
harinya. Dengan demikian jika suatu hari lupa tidak niat pada malam hari, maka
sudah sah dengan niat tadi (satu kali dalam sebulan penuh).[12]
Perlu di
ketahui bahwa dalam masalah niat puasa Ramadhan mempunyai syarat-syarat yang
perlu di perhatikan :
a. Harus dilaksanakan pada malam hari (تبييت) , (di inepake jawa – red), mulai antara terbenamnya
matahari sampai terbitnya fajar shadiq, baik di lakukan pada awal, tengah
maupun akhir, menurut qaul yang mu’tamad.
Permasalahan
apabila ada sesorang yang ragu-ragu sewaktu niat, apakah di lakukan sebelum
keluar fajar atau sesudahnya?, maka niatnya tidak sah, berbeda ketika seseorang
niat kemudian ragu-ragu apakah niatnya dilakukan sebelum keluar fajar atau
ataukah belum keluar fajar ?, maka hukumnya tetap sah.[13]
b. Menjelaskan (menentukan) hukum fardhu puasa yang di lakukan
semisal “Ramadhan”. رمضان)).
Ringkasnya lafadz niat puasa, dan hukumnya sah adalah : نويت
صوم رمضان
Niat puasa
tanpa menyebutkan kata “fardhu” (فرض) itu di dihukumi sah, dengan alasan puasa
Ramadhan yang di kerjakan oleh seseorang yang baligh itu sudah pasti hukumnya
adalah fardhu, hal ini menurut qaul yang mu’tamad sebagaimana yang di
shahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’Syarh al-Muhadzdzab-nya
dengan mengikuti pendapat mayoritas ulama.[14] Sedangkan kata “Ghadin”
( غد) itu juga tidak wajib untuk di sebutkan,
karena kata tersebut pada kenyataanya sudah masuk dalam kategori tabyit (di
lakukan pada malam hari).[15]
Jadi contoh lengkapnya niat adalah :
نويت صوم غد عن اداء فرض رمضان هده السنة لله
تعالى[16]
2)
Menahan diri untuk tidak
makan dan minum walaupun sedikit, jika seseorang makan atau minum karena lupa,
maka puasanya tetap sah.[17]
Diantara
sebagian banyak hadis shahih yang menjelaskan hal ini adalah hadis riwayat Bukhari :
1831 - حدثنا عبدان: أخبرنا
يزيد بن زريع: حدثنا هشام: حدثنا ابن سيرين، عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: إذا نسي فأكل وشرب فليتم صومه، فإنما أطعمه الله وسقاه [18]
Artinya:
Telah menceritkan kepada kami Abdani,telah
menghabarkan kepada kami Yazid bin Zari’, telah menceritkan kepada kami Hisyam,
telah menceritakan kepada kami Ibn Sirin, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW telah bersabda
:”Barang siapa lupa bahwa ia puasa kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah
disempurnakannya puasanya, sesungguhnya Allah SWT yang memberikan makan dan
minum”.
Demikian pula
tetap sah puasanya, jika karena bodoh atau tidak tahu bahwa makan dan minum itu
dapat membatalkan puasa, dengan catatan ia adalah orang yang baru masuk Islam
atau ia adalah jauh dari ulama.[19]
3) Tidak melakukan hubungan badan (jima’) dengan unsur
penyengajaan walaupun tidak sampai keluar mani, namun jika melakukannya karena
lupa ,maka tetap sah, seperti halnya
makan yang dilakukan karena lupa sewaktu puasa.
D.
Hal-Hal Yang Dapat Membatalkan Puasa
Ada 10 perkara
yang dapat membatalkan puasa yakni :
1) Masuknya sesuatu dengan sengaja ke dalam rongga tubuh (jauf)
melalui lubang tubuh yang asli terbuka (al-munfatih) seperti
tenggorokan, batin (dalamnya) hidung, dubur, qubul dan lubang puting payudara.
2) Masuknya sesuatu dengan sengaja ke dalam rongga tubuh (jauf)
melalui lubang tubuh yang tidak terbuka (ghair al-munfatih) semisal luka di otak yang menuju ke
kepala.[21] Tidak batal puasanya bagi
orang memiliki hadas besar (haidh,
nifas misalnya) ketika masuknya
air ke telinga saat mandi di di lakukan tanpa sengaja dan tidak menyelam. Dan batal puasanya bagi orang yang
mandi sunnah (masnun) dan mandi untuk kesegaran (tabarrud)
walaupun mandinya tidak menyelam.[22]
Mengecualikan
dalam rongga tubuh (jauf) adalah misalnya masuknya sesuatu melalui
pundak ,paha, pantat atau bagian-bagian lain yang bukan termasuk (jauf), seperti halnya penggunaan
celak atau (tetes mata- misalnya) yang masuk melalui mata, walaupun terasa di
tenggorokannya itu tidak akan membatalkan puasa, seperti yang di tuturkan Taqiyyudin
Abu Bakar dalam kitabnya. [23] Jalaluddin
al-Mahalli[24]
Imam Nawawi al-Bantani[25],
dan ulama-ulama yang lain.
Syihabuddin al-Qalyubi
dalam kitabnya menyatakan: menggunakan
celak (tetes mata-misalnya) pada siang hari , tidak membatalkan puasa namun hukumnya khilaf al-aula (خلاف الأولى
). Sedangkan menurut Imam
Malik ra, menggunakan hal tersebut dapat
membatalkan puasa.[26]
Sama halnya tidak membatalkan puasa ,air basuhan yang masuk melalui pori-pori
tubuh (al-masamm) walaupun terasa segar dalam badannya.[27]
Demikian juga
tidak batal puasanya orang yang di suntik , karena obat yang di masukan melalui
injeksi itu masuk ke bagian dalam daging, bukan dalam rongga tubuh (jauf),
seperti yang di nyatakan oleh Jalaluddin al-Mahalli:
Artinya :
Seadainya seseorang memasukan
obat bagi luka betis sampai luka kedalam daging, atau menancapkan pisau pada
betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan
puasanya, karena daging itu bukan rongga tubuh.
3) Memasukan obat ( دواء يحقن به المريض ) ke
qubul maupun dubur.
4) Muntah yang dilakukan dengan sengaja ,walaupun
tidak ada yang kembali, apabila tidak sengaja (misal lupa ,tidak tahu hukum,
dipaksa dll) dan tidak ada muntahan yang kembali maka tidak batal puasanya.[29]
5) Bersetubuh (jima’) dengan sengaja dan mengerti hukum, walaupun
tidak sampai keluar mani, jika dilakukan karena lupa ,walaupun berulang-ulang
maka tidak membatalkan puasa seperti halnya makan.[30] Orang yang batal puasanya karena melakukan jima’, maka di wajibkan untuk mengqadha’ dan
di wajibkan pula membayar kafarat, ketentuannya sebagai berikut :
a. Memerdekakan budak (hamba sahaya) ,jika tidak mendapati maka di
ganti dengan menjalankan :
b. Puasa selama 2 bulan berturut-turut, apabila di tengah jalan
ternyata batal puasanya baik itu di hari yang terakhir atau di sebabkan udzur
misalnya lupa niat, safar, dan sakit, maka wajib mengulangi dari pertama lagi,
kecuali apabila batal puasanya karena haid, nifas ,gila dan ayanen-jawa.[31] Dan
jika tidak mampu puasa 2 bulan berturut-turut maka wajib menggantinya dengan :
c. Memberi makan kepada 60 (enam puluh) orang fakir miskin,
masing-masing 1 mud (makanan pokok) yang mencukupi untuk zakat fitrah. Apabila tidak mampu memenuhi
semuanya, maka kafarat tersebut masih dalam tanggungannya, dan dapat di
laksanakan ketika pada suatu waktu seseorang itu sudah merasa mampu .[32]
6) Keluar mani dengan jalan istimta’ (pekerjaan mengeluarkan
mani selain jima’), baik dengan cara yang boleh (mubah) atau haram, contoh yang
boleh (mubah) adalah seperti menggunakan tangan istri , dan yang haram seperti
menggunakan tangannya sendiri (onani) dan sebagainya. Sedangkan mencium (qublah)
dan merangkul (dhammu) itu tidaklah membatalkan puasa jika hal tersebut
di lakukan tanpa bermaksud istimta’ (pekerjaan mengeluarkan mani).
Demikian juga
dengan mimpi keluar mani (ihtilam), itu tidaklah batal puasanya, adapun
mengeluarkan mani dengan cara melihat (nadhar) ataupun
berangan-angan/menghayal atau ngelamun (fikrun) itu tidaklah membatalkan
puasa dengan catatan apabila sudah adatnya ( terbiasanya) tidak akan keluar
mani dengan sebab tersebut.[33]
Berkaitan
dengan keluar mani (inzal) , nampaknya menurut penulis perlu di
tampilkan pada tulisan ini ,yakni :
Menurut
Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi sebagaimana di kutip oleh Abu Bakar Syatha,
bahwa kosekwensi hukum puasa yang di akibatkan karena keluar mani (inzal) itu sebagai
berikut rinciannya :
a. Apabila dengan istimta’ yang mubah atau haram, dengan
penghalang (ha’il) ataupun tidak, maka membatalkan puasa.
b. Apabila dengan memegang (lamsun) maka tafshil :
-
Jika memegang seseorang
yang secara umum tidak mengandung rasa syahwat semisal anak kecil, maka tidak
batal puasanya secara mutlak (baik itu bersyahwat atau tidak, dengan memakai
penghalang (ha’il) ataupun tidak).
-
Jika memegang seseorang
yang secara umum mengandung syahwat maka :
a. Batal, apabila (bukan mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat
dan tanpa penghalang.
b. Tidak batal, apabila (bukan mahramnya) dan di lakukan dengan
tanpa syahwat dan disertai penghalang.
c. Tidak batal, apabila (mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat
atau tidak dan di sertai penghalang.
d. Batal, apabila (mahramnya) dan di lakukan dengan syahwat atau
tidak atau tidak dan tanpa di sertai penghalang.[34]
7) Haidh.
8) Nifas.
9) Gila.
10) Murtad
Apabila
keempatnya muncul sewaktu-waktu pada saat berpuasa maka dapat membatalkannya. Adapun ayanen-jawa (إغماء ) dan mabuk (سكر),jika
hal tersebut terjadi, maka dapat membatalkan puasa apabila sampai menghabiskan
waktu siang (terbenamnya matahari), namun apabila tersadar walaupun sebentar
maka puasanya tetap sah.[35]
E.
Sunnah-Sunnah Puasa
1) Makan sahur (تسحر)
yang dilakukan mulai tengah malam sampai terbitnya fajar shadiq. Apabila
dilakukan sebelum tengah, maka tidak mendapatkan kesunahannya sahur, berkaitan
dengan sahur yang lebih baik lagi di lakukan mengakhirkannya (kira-kira baca 50
ayat sebelum terbit fajar).[36]
Menyegerakan
berbuka apabila memang sudah masuk waktunya غروب)
الشمس). Sunnahnya dengan beberapa kurma (3 kurna) jika tidak ada maka
dengan minum beberapa teguk air (lebih utama air zamzam) ,lalu makanan atau
minuman manis yang alami (tanpa di rebus), misal anggur, susu, madu. Minum susu
lebih utama daripada madu, dan makan daging lebih utama dari susu dan madu.
Kemudian setelah itu makanan yang manis yang di rebus. [37] Dan membaca
do’a:
2) Mandi jinabah bagi yang menangung hadas sebelum terbitanya fajar
(subuh), agar dalam menjalankan puasa dalam keadaan suci dan mengindari
masuknya air saat mandi ke dalam anggota tubuh yang dapat membatalkan puasa
ketika dilakukan pada siang hari (puasa).[39] Perlu di ketahui bagi orang yang mandi
besar saat berpuasa yakni :
Tidak batal
puasanya bagi orang memiliki hadas besar (haidh, nifas misalnya) ketika
masuknya air ke telinga saat mandi di lakukan tanpa sengaja dan tidak menyelam. Dan batal puasanya bagi orang yang
mandi sunnah (masnun) dan mandi untuk kesegaran (tabarrud)
walaupun mandinya tidak menyelam.[40]
3) Menjauhkan diri dari makanan-makanan yang syubhat, dan
juga kesenangan-kesenganan yang di perbolehkan baik melalui pendengaran,
penciuman, penglihatan dan sebagainya, serta menahan diri dari perkataan-perkataan
yang kotor yang dapat menghapus pahalanya puasa semisal dusta, mengguncing, mencaci
dan sebagainya.[41]
4) Memperbanyak shadaqah, berbuat baik kepada keluarga, tetangga ,
serta mengajak untuk berbuka bersama.[42]
5) Memperbanyak baca al-Qur’an, walaupun di jalan, (bukan tempat
kotor semisal jamban). Adapun waktu siang yang lebih utama untuk membaca
al-Qur’an adalah setelah shubuh, sedangkan lebih utamanya malam adalah waktu
sahur dan waktu diantara shalat maghrib dan isya.[43]
Imam
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi atau lebih masyhur disebut
al-Nawawi dalam al-Adzkar-nya mengatakan:
“Lebih utamanya membaca al-Qur’an itu adalah
ketika di dalam shalat. Madzhab asy-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa
memanjangkan bacaan al-Quran saat berdiri dalam shalat itu lebih utama dari
memanjangkan sujud dan selainnya. Sedangkan lebih utama membaca al-Qur’an di
luar shalat adalah pada waktu malam hari, dan tengah malam lebih utama dari
awal malam, dan membaca al-Qur’an di antara waktu mahgrib dan isya’ itu sangat
di sukai, waktu siang yang lebih utama adalah setelah shubuh. Dan juga tidak
makruh membaca al-Qur’an di selain waktu-waktu tersebut, termasuk waktu yang di
larang untuk melakukan shalat semisal setelah ashar. Adapun hadis yang di
hikayahkan dari Abu Dawud rahimahullah dari mu’adz bin Rifa’ah rahimahullah,
dari guru-gurunya. Mereka menyatakan “makruh membaca al-Qur’an setelah
shalat ashar karena waktu tersebut adalah waktu belajarnya orang Yahudi”
adalah tertolak dan tidak ada dalilnya sama sekali.Sedangkan hari-hari yang
lebih utama membaca al-Qur’an adalah jum’at, senin, kamis, dan hari Arafah.
Dari tanggal sepuluh ke atas yang lebih utama adalah tanggal 10 awal dari bulan
Dzul hijjah, sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan dari bulan yang paling utama
dalam membaca al-Qur’an adalah bulan Ramadhan”.[44]
6)
Memperbanyak ibadah, termasuk i’tikaf
terutama pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan ,
karena terdapat lailatul qadr pada waktu tersebut.[45]
F.
Kemakruhan dalam Berpuasa
Hal-hal yang
di makruhkan dalam pelaksanaan puasa adalah:
1)
Cantuk (hijamah)
2)
Mencicipi makanan dengan kekhawatiran
masuknya makanan tersebut ke dalam perut, tetapi jika ada tujuan semisal (mamah_jawa
) makanan ke anak kecil) maka tidak makruh.
3)
Mencium (suami istri) atau
memegang yang menimbulkan syahwat.
4)
Menggunakan siwak (gosok gigi)
selepas duhur (matahari condong ke barat) sampai terbenamnya matahari.
5)
Menunda atau mengakhirkan berbuka
Tentang Qadha dan Fidyah
Puasa
Mengenai
orang yang hamil, menyusui, orang yang sakit
atau sakit yang tidak dapat di harapkan kesembuhannya, orang yang sudah
lanjut usia/ sangat tua, dan musafir sudah penulis jelaskan (baca: tolak ukur
mampu secara hissan halaman 4 sampai 5).
Selanjutnya apabila
ada seseorang yang mempunyai tanggungan puasa yang belum di qadha, hingga
datangnya Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur syara’ ,maka wajib baginya
mengqadha dan membayar fidyah (1 mud) sesuai berapa hari yang di
tinggalkan. Namun jika ada udzur,misalnya sakit, bepergian (musafir) dan
sebagainya maka hanya di wajibkan mengqadha saja, apabila sampai dua kali
Ramadhan maka untuk 1 hari kewajibannya adalah 2 mud, dan begitu seterusnya.
Apabila
seseorang meninggal dunia dan memungkinkan untuk mengqadhainya tetapi belum
dilaksanakan sampai masuk Ramadhan berikutnya (atau belum masuk Ramadhan
berikutnya), maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat :
a)
Menurut Qaul Jadid : walinya
wajib membayarkan fidyah dengan mengeluarkan 2 mud, (muddun lil fawat wa
muddun litta’khir) ,dari harta tinggalannya mayit, (tirkah) dan tidak
boleh menggantikan puasa untuk orang yang meninggal dunia.
b)
Menurut Qaul Qadim : boleh memilih
salah satu, yakni walinya boleh membayar fidyah (1 mud) atau berpuasa
untuk mengqadhai puasanya orang yang meninggal dunia. Dan qaul ini adalah yang mu’tamad.[47]
Berkaitan dengan
masalah tirkah , perlu di ketahui bahwa dalam membayarkan fidyah yang
di ambil dari harta tinggalannya mayit (tirkah) , hal itu dapat di
lakukan jika memang si mayit memiliki tirkah, tetapi .apabila tidak ada tirkah
nya, maka bagi wali atau orang lain (keluarga) boleh menggunakan hartanya
sendiri utuk membayarkan fidyah tersebut.[48]
Tentang Qadha dan Fidyah
Shalat
Berikut ini
penulis sampaikan beberapa pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah tentang
mengqadhai dan mengeluarkan fidyah shalatnya orang yang sudah meninggal
dunia.
Perlu di
ketahui bahwa shalat yang pernah di tinggalkan oleh orang sudah meninggal
dunia, maka bagi ahli warisnya atau (walinya) tidak ada kewajiban untuk
mengqadha dan membayarkan fidyah. Namun menurut sebagian kalangan ulama
Syafi’iyyah berpendapat : shalat yang di tinggalkan oleh mayit boleh
mengqadhainya. Imam as-Subki sendiri mengamalkannya dengan mengqadhai shalat
yang pernah di tinggalkan oleh sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.
Menurut
Jalaladdin al-Mahalli dalam kitabnya dengan mengutip pendapat guru-guru beliau,
bahwa: pendapat (qaul) ini boleh di amalkan untuk diri sendiri dan tidak
untuk di fatwakan, menurut beliau, diperbolehkan untuk taqlid, karena
termasuk qaul muqabil ashah. Imam
Ibn Burhan dengan mengutip qaul qadim, menyatakan bahwa bagi walinya
diperbolehkan mengqadhai shalat atau mengganti dengan membayar fidyah seperti
halnya puasa.
Sementara itu
sebagian besar ulama Syafi’iyyah berpendapat :diperbolehkan bagi ahli warisnya
atau walinya untuk mengganti dengan mengeluarkan fidyah (1 mud) untuk setiap
shalat yang pernah di tinggalkan. Imam al-Muhib ath-Thabari mengatakan:
sampainya pahala setiap ibadah yang dikerjakan untuk si mayit, baik wajib atau sunnah. Dalam kitab Syarah
al-Mukhtar disebutkan bahwa : madzhab Ahlussunnah berpendapat
sampainya pahala ibadah dan shalat yang di ditujukan untuk orang lain.
Berkaitan
dengan masalah ini, Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi menyatakan hal itu
adalah dha’if (pendapat lemah).[49]
Imam Sa’id bin Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami dalam kitabnya mengatakan
sampainya pahala shadaqah yang disampaikan kepada orang lain (yang menerima shadaqah)
berdasar ijma’ ulama.[50]
Dari sini,
menurut hemat penulis bagi wali (orang tua) atau ahli waris yang berkeinginan
untuk mengqadhai dan menfidyahi shalatnya orang yang sudah meninggal dunia,
silahkan melakukannya berdasar dari pendapat-pendapat yang sudah disebutkan,
dan penulis yakin mereka yang berpendapat adalah para ulama-ulama lebih ‘allamah
(‘alim) dalam keilmuannya dan lebih terpilih di bandingkan dengan ulama-ulama
zaman sekarang. Wallahu A’lam.
Kapan Lailatul Qadr ?
Sebagai
pamungkas dari kajian ini, penulis tertarik untuk menampilkan tanggal atau
malam yang ke berapakah lailatul qadr ?. Pada hakikatnya kapan tepatnya lailatul
qadr hanyalah Allah SWT, yang mengetahuinya, hikmahnya adalah agar setiap
hari atau malam di bulan Ramadhan di gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun
sinyal atau petunjuk berdasar hadis Nabi menyebutkan bahwa lailatul qadr
terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.[51]
Sa’id bin
Muhammad Ba’asyan al-Hadhrami, dalam kitabnya menuturkan: ada 40 qaul
ulama yang membahas kapan terjadinya lailatul qadr. Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullah sendiri
cenderung memilih malam 21 dan 23 Ramadhan, dengan landasan bahwa Nabi Muhammad SAW melihatnya
pada malam tersebut.[52]
Syihabuddin
al-Qalyubi dalam kitabnya menulis tentang tuntunan untuk mengetahui lailatul
qadr, yang beliau rangkum dalam sebuah syi’ir berikut ini :
يا سائلى عن ليلة القدر التى فى عشر رمضان الأخير حلت
فإنها فى مفردات العشر
تعرف فى يوم ابتداء الشهر
فبالأحد والأربعا فى التاسعة وبجمعة
مع الثلاثا السابعة
وإن بدا الخميس فالخامسة
وإن بدا بالسبت
فالثالثة
وإن بدا الإثنين فهى الحادى هذا عن الصوفية
الزهاد[53]
Artinya :
Wahai yang memintaku untuk
dapat mengetahui lailatul qadr di
sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Sesungguhnya lailatul
qadr jatuh pada malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dapat di
ketahui dengan hari permulaan Ramadhan.
Apabila Ramadhan di
mulai hari ahad atau rabu ,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 29.
Jika jum’at atau selasa maka,
malam ke 27.
Apabila Ramadhan di
mulai hari kamis,,maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 25. Namun jika
sabtu ,maka malam ke 23.
Apabila Ramadhan di
mulai hari senin, maka lailatul qadr jatuh pada malam ke 21. Demikian ini adalah
pendapat dari ulama sufi yang zuhud.
والله المستعان لإصابة الصواب وعليه التكلان واليه المآب
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar,
Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar, Beirut:
Dar al-Fikr,
,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Baerut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Bantani
, Nawawi, Nihayah
al-Zain, Semarang: Toha Putera,[tth].
Al- Bukhari ,Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari, Semarang: Toha Putera,[tth] / Maktabah Syamilah
Al-Hadhrami, Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra
al-Karim, Indonesia: Dar
al-Kutub al-Arabiyah,[tth].
Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, [Maktabah Syamilah]
Al-Nawawi, Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf, al-Adzkar, Semarang:Karya Insan, [tth].
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Qalyubi wa ‘Amirah, Semarang:
Maktabah Toha Putera,[tth]
Al- Sijitsani, Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud, [Maktabah
Syamilah].
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad, Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah
Syamilah).
Syatha, Abu Bakar, I’anah at-Thalibin, Beirut: Dar
al-Fikr,1993.
[1]
Q.S. Maryam [19]:26
[2] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, (Baerut: Dar al-Fikr,
1994),hlm.426-427.
[4]
(Q.S. al-Baqarah [02]: 185.
[5]
Abu
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, Toha
Putera,Semarang, juz I,[tth], hlm.9.
[6]
Ibrahim al-Bajuri,loc.cit
[7]
Abu
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, )ٍSemarang:
Toha Putera,tth),juz ii,hlm.35/hadis no:1810..
[8]
Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi,
Sunan al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah), hadis no:691.
[10]Ibrahim
al-Baijuri,op.cit.,hlm.447.
Lihat juga Abu Dawud
al-Sijitsani, Sunan Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:2318.
2318ـ حدثنا ابن المثنى،
ثنا ابن أبي عديٍّ، عن سعيد، عن قتادة، عن عروة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس
{وعلى الذين يطيقونه فِدْيَةٌ طعامُ مسكينٍ} قال: كانت رخصةً للشيخ الكبير والمرأة
الكبيرة وهما يطيقان الصيام أن يفطرا ويطعما مكان كل يوم مسكيناً، والحُبلى
والمُرضِع إذا خافتا. قال أبو داود: يعني على أولادهما أفطرتا وأطعمت
[12]Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.249.
[14] Ibid,hlm. 252.
[15]
Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.430..
[19]
Ibrahim al-Baijuri,opc.cit.,hlm.431.
[24]
Jalaluddin al-Mahalli ,Syarah
al-Mahalli ‘ala al-Mihaj (Hamisy Qalyubi wa ‘Amirah) (Semarang: Maktabah
Toha Putera,tth),juz ii,hlm.56.
Di jelaskan pula dalam kitab Al Fiqhul Manhaji
ala Madzahibil Imam Asy Syafi'i hlm.84:
فا قطرة من الاذن مفطرة لإنها منفذ مفتوح والقطرة فى العين غير مفطرة
لانه منفد غير مفتوح
Artinya: Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah
membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan
kedalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak
terbuka.
[26] Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi
wa ‘Amirah, (Semarang: Maktabah Toha Putera,tth),juz ii,hlm.56.
[27]
Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.433-434.
[28]
Jalaluddin al-Mahalli ,loc.cit.
Lihat juga Sunan al-Tirmidzi, hadis no:720.
[ 720 ] حدثنا علي بن حجر
حدثنا عيسى بن يونس عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن النبي صلى
الله عليه وسلم قال من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ومن استقاء عمدا فليقض قال وفي
الباب عن أبي الدرداء وثوبان وفضالة بن عبيد قال أبو عيسى حديث أبي هريرة حديث حسن
غريب لا نعرفه من حديث هشام عن بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم
إلا من حديث عيسى بن يونس وقال محمد لا أراه محفوظا قال أبو عيسى وقد روى هذا
الحديث من غير وجه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا يصح إسناده وقد
روي عن أبي الدرداء وثوبان وفضالة بن عبيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قاء فافطر
وإنما معنى هذا أن النبي صلى الله عليه وسلم كان صائما متطوعا فقاء فضعف فأفطر
لذلك هكذا روي في بعض الحديث مفسرا والعمل عند أهل العلم على حديث أبي هريرة عن
النبي صلى الله عليه وسلم أن الصائم إذا ذرعه القيء فلا قضاء عليه وإذا استقاء
عمدا فليقض وبه يقول سفيان الثوري والشافعي وأحمد وإسحاق
Lihat juga Shahih Bukhari, hadis
no: 1835.
1835 - حدثنا عثمان بن أبي شيبة: حدثنا جرير، عن منصور، عن الزهري، عن حميد
بن عبد الرحمن، عن أبي هريرة رضي الله عنه:
جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه
وسلم فقال: إن الآخر وقع على امرأته في رمضان. فقال: (أتجد ما تحرر رقبة). قال:
لا. قال: (فتستطيع أن تصوم شهرين متتابعين). قال: لا. قال: (أفتجد ما تطعم به ستين
مسكينا). قال: لا. قال: فأتي النبي صلى الله عليه وسلم بعرق فيه تمر، وهو الزبيل،
قال: (أطعم هذا عنك). قال: على أحوج منا، ما بين لابتيها أهل بيت أحوج منا. قال:
(فأطعمه أهلك).
Lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:
1827.
1827 -
حدثنا محمد بن المثنى: حدثنا يحيى، عن هشام قال: أخبرني أبي، عن عائشة، عن النبي
صلى الله عليه وسلم (ح). وحدثنا عبد الله ابن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه،
عن عائشة رضي الله عنها قالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليقبل بعض
أزواجه وهو صائم، ثم ضحكت.
[34] Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.256.
[35]
Ibrahim al-Baijuri,op.cit.,hlm.435.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1851,1823.
1821-
حدثنا مسلم بن إبراهيم: حدثنا هشام: حدثنا قتادة، عن أنس، عن زيد بن ثابت رضي الله
عنه قال:
تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى
الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان والسحور؟. قال: قدر خمسين آية
1823 - حدثنا آدم بن أبي إياس: حدثنا شعبة: حدثنا
عبد العزيز بن صهيب قال: سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله
عليه وسلم: (تسحروا، فإن في السحور بركة).
Lihat juga,Sunan al-Tirmidzi,hadis no:696.
[
696 ] حدثنا محمد بن رافع حدثنا عبد الرزاق أخبرنا جعفر بن سليمان عن ثابت عن أنس
بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يفطر
قبل أن يصلي على رطبات فإن لم تكن رطبات فتميرات فإن لم تكن تميرات حسا حسوات من
ماء
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1856.
1856 - حدثنا عبد الله بن يوسف: أخبرنا مالك، عن أبي
حازم، عن سهل بن سعد: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (لا يزال الناس بخير
ما عجلوا الفطر).
[39]
Sa’id bin Muhammad Ba’asyan
al-Hadhrami,op.cit.,hlm.74.
[41]
Ibid,hlm.280.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1805.
1805
- حدثنا إبراهيم بن موسى: أخبرنا هشام بن يوسف، عن ابن جريج قال: أخبرني عطاء، عن
أبي صالح الزيات: أنه سمع أبا هريرة رضي الله عنه يقول:
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: (قال الله: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام، فإنه لي وأنا
أجزي به، والصيام جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب، فإن سابه أحد أو
قاتله فليقل: إني امرؤ صائم. والذي نفس محمد بيده، لخلوف فم الصائم أطيب عند الله
من ريح المسك. للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه).
Lihat, Sunan al-Tirmidzi,hadis no:807
[ 807 ]
حدثنا هناد حدثنا عبد الرحيم عن عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن زيد بن خالد
الجهني قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فطر صائما كان له مثل أجره غير
أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
[44] Al-Nawawi, al-Adzkar,(Semarang:Karya
Insan, tth),hlm.87.
[45] Sa’id bin Muhammad Ba’asyan
al-Hadhrami, Busyra al-Karim,(Indonesia :Dar al-Kutub
al-Arabiyah,tth),juz ii,hlm.75.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1802,1916,1922.
1802
- حدثنا مسلم بن إبراهيم: حدثنا هشام: حدثنا يحيى، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة رضي
الله عنه،عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا،
غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه).
(1916)
- حدثني محمد: أخبرنا عبدة، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان، ويقول: (تحروا ليلة
القدر في العشر الأواخر من رمضان).
1922 - حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب، عن
عروة بن الزبير، عن عائشة رضي الله عنها، زوج النبي صلى الله عليه وسلم: أن النبي
صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله، ثم اعتكف
أزواجه من بعده.
[46]. Sa’id bin Muhammad Ba’asyan
al-Hadhrami,op.cit.,hlm.74,, lihat juga, Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.281.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no:1837/1827.
(1837)
- حدثنا أبو معمر: حدثنا عبد الوارث: حدثنا أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس رضي الله
عنهما قال:
احتجم النبي صلى الله عليه وسلم وهو صائم
.
1827
- حدثنا محمد بن المثنى: حدثنا يحيى، عن هشام قال: أخبرني أبي، عن عائشة، عن النبي
صلى الله عليه وسلم (ح). وحدثنا عبد الله ابن مسلمة، عن مالك، عن هشام، عن أبيه،
عن عائشة رضي الله عنها قالت:
إن كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم ليقبل بعض أزواجه وهو صائم، ثم ضحكت.
Lihat juga Sunan al-Tirmidzi,hadis no:725.
[
725 ] حدثنا محمد بن بشار حدثنا عبد الرحمن بن مهدي حدثنا سفيان
عن عاصم بن عبيد الله عن عبد الله بن عامر بن ربيعة عن أبيه قال رأيت النبي صلى الله عليه
وسلم ما لا أحصي يتسوك وهو صائم قال وفي الباب عن عائشة قال أبو عيسى حديث عامر بن
ربيعة حديث حسن والعمل على هذا عند أهل العلم لا يرون بالسواك للصائم بأسا إلا أن
بعض أهل العلم كرهوا السواك للصائم بالعود الرطب وكرهوا له السواك أخر النهار ولم
ير الشافعي بالسواك بأسا أول النهار ولا آخره وكره أحمد وإسحاق السواك آخر النهار
[47]
Imam Syafi’i pernah menetap
di Baghdad, selama tinggal di sana beliau mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang
biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika
beliau pindah ke Mesir beliaupun mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa
disebut dengan istilah Qaul Jadid
(pendapat yang baru).
[48]
Abu Bakar Syatha,op.cit.,hlm.274-275,
lihat juga, Ibrahim al-Baijuri.,op.cit.,hlm.444. lihat juga, Syihabuddin al-Qalyubi, op.cit.,hlm.69.
lihat juga Shahih Bukhari, hadis no :1849, 1851,1852
39 - باب: متى يقضى قضاء رمضان.
وقال ابن عباس: لا بأس أن يفرق، لقول الله تعالى:
{فعدة من أيام أخر}.
وقال سعيد بن المسيب: في صوم العشر: لا يصلح حتى
يبدأ برمضان.
وقال إبراهيم: إذا فرط حتى جاء رمضان آخر يصومهما،
ولم ير عليه طعاما.
ويذكر عن أبي هريرة مرسلا وابن عباس: أنه يطعم. ولم
يذكر الله الإطعام، إنما قال: {فعدة من أيام أخر}.
1849 - حدثنا أحمد بن يونس: حدثنا زهير: حدثنا يحيى،
عن أبي سلمة قال: سمعت عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون علي الصوم من رمضان،
فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان. قال يحيى: الشغل من النبي، أو بالنبي صلى الله
عليه وسلم.
1851
- حدثنا محمد بن خالد: حدثنا محمد بن موسى بن أعين: حدثنا أبي، عن عمرو بن الحارث،
عن عبيد الله بن أبي جعفر: أن محمد بن جعفر حدثه عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها:
أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال: (من مات وعليه صيام صام عنه وليه).
تابعه ابن وهب، عن عمرو. ورواه يحيى بن أيوب، عن ابن
أبي جعفر.
1852 - حدثنا محمد بن عبد الرحيم: حدثنا معاوية بن
عمرو: حدثنا زائدة، عن الأعمش، عن مسلم البطين، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي
الله عنهما قال:
جاء رجل إلى
النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صوم شهر،
أفأقضيه عنها؟. قال: (نعم، قال: فدين الله أحق أن يقضى).
قال سليمان: فقال الحكم وسلمة، ونحن جميعا جلوس حين
حدث مسلم بهذا الحديث، قالا: سمعنا مجاهدا يذكر هذا عن ابن عباس.
ويذكر عن أبي خالد: حدثنا الأعمش، عن الحكم ومسلم
البطين وسلمة بن كهيل، عن سعيد بن جبير وعطاء ومجاهد، عن ابن عباس: قالت امرأة
للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أختي ماتت.
وقال يحيى وأبو معاوية: حدثنا الأعمش، عن مسلم، عن
سعيد، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت.
وقال عبيد الله، عن زيد بن أبي أنيسة، عن الحكم، عن
سعيد بن جبير، عن ابن عباس: قالت امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: إن أمي ماتت
وعليها صوم نذر.
وقال أبو جرير: حدثنا عكرمة، عن ابن عباس: قالت
امرأة للنبي صلى الله عليه وسلم: ماتت أمي وعليها صوم خمسة عشر يوما.
Lihat juga, Sunan al-Tirmidzi,hadis
no:718.
[
718 ] حدثنا قتيبة حدثنا عبثر بن القاسم عن أشعث عن محمد عن
نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مات
وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا قال أبو عيسى حديث بن عمر لا نعرفه
مرفوعا إلا من هذا الوجه والصحيح عن بن عمر موقوف قوله واختلف أهل العلم في هذا
الباب فقال بعضهم يصام عن الميت وبه يقول أحمد وإسحاق قالا إذا كان على الميت نذر
صيام يصوم عنه وإذا كان عليه قضاء رمضان أطعم عنه وقال مالك وسفيان والشافعي لا
يصوم أحد عن أحد قال وأشعث هو بن سوار ومحمد هو عندي بن عبد الرحمن بن أبي ليلى
Lihat juga,Muslim bin al-Hajjaj
al-Naisapuri,Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah), hadis no: 1147/1148.
(1147) وحدثني هارون بن سعيد الأيلي، وأحمد بن عيسى.
قالا: حدثنا ابن وهب. أخبرنا عمرو بن الحارث عن عبيدالله بن أبي جعفر، عن محمد بن
جعفر بن الزبير، عن عروة، عن عائشة رضي الله عنها ؛ أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال
"من مات وعليه صيام، صام عنه وليه".
(1148)
وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عيسى بن يونس. حدثنا الأعمش عن مسلم البطين، عن
سعيد بن جبير، عن ابن عباس رضي الله عنهما ؛ أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقالت:
إن أمي ماتت وعليها صوم شهر. فقال: " أرأيت
لو كان عليها دين، أكنت تقضينه ؟" قالت: نعم. قال "فدين الله أحق
بالقضاء".
[49]Abu Bakar Syatha ,op.cit.,hlm.276,
lihat juga, Jalaluddin al-Mahalli,op.cit.,hlm.67.
[50]
Sa’id bin Muhammad Ba’asyan
al-Hadhrami, op.cit.,hlm.79.
(1916)
- حدثني محمد: أخبرنا عبدة، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة قالت: كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان، ويقول: (تحروا ليلة
القدر في العشر الأواخر من رمضان)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan