Jumaat, 31 Mei 2013

Pemikiran Tradisionalisme dalam Pendidikan



PEMIKIRAN TRADISIONALISME DALAM PENDIDIKAN

I.                   PENDAHULUAN
            Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat atau bangsa merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa termasuk aspek pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang di anut oleh suatu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri.
            Pendidikan sebagai suatu lembaga berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang di dasarkan pada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat.[1] Dalam filsafat terdapat berbagai aliran, seperti progresivisme ,esensialisme, perenialisme dan rekontruksionisme dan lainnya.karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga bermacam aliran.[2]
            Pada makalah ini dibahas tentang aliran pemikiran perenialisme dan esensialisme, yang dalam konteks pemikiran pendidikan Islam terwakili oleh  aliran tradisionalisme.

II.                PEMBAHASAN
A.                Tentang Tradisionalisme
Tradisionalisme berasal dari kata latin tradere yang artinya menyerahkan, memberikan, meninggalkan.  Dari kata ini terbentuk kata benda traditio yang berarti penyerahan, pemberian, peninggalan, warisan tradisi Kata traditio inilah yang menjadi asal istilah tradisionalisme. Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup. Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama, ini disebut tradisi kultural. Dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal pada wahyu ini disebut tradisi keagamaan.
Sebagai aliran etis, tradisionalisme dapat berpegang pada tradisi budaya atau kultural yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang, atau pada tradisi keagamaan yang bersumber pada wahyu keagamaan. Tradisi etis itu tampak juga dalam bahasa, seperti petuah, nasihat, pepatah, norma dan prinsip, dalam perilaku, seperti cara hidup, bergaul, bekerja, dan berbuat, serta dalam pandangan dan sikap hidup secara keseluruhan. Bentuk bahasa, perilaku, pandangan, dan sikap hidup merupakan tempat menyimpan nilai-nilai etis ,wahana pengungkapan, dan sarana mewujudkannya.[3]
                Filsafat pendidikan merupakan ilmu yang tergolong relatif masih baru. bidang ini baru berkembang pesat pada awal abad ke 20 meskipun dasar-dasarnya telah ada sejak zaman Yunani. Filsafat pendidikan muncul dalam rangka memecahkan berbagai problematika yang ada khususnya dalam bidang pendidikan. Ada beberapa aliran dalam filsafat pendidikan yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu tradisional dan kontemporer. Yang termasuk dalam kelompok tradisional adalah perenialisme dan esensialisme. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah progresivisme, rekonstruksionisme, dan existensialisme.[4]
                Sebelum mengetahui lebih lanjut tentang pemikiran tradisionalisme dalam pendidikan ,penulis ketengahkan terlebih dahulu aliran perenialisme dan esensialisme dalam filsafat pendidikan, karena pemikiran tradisionalisme lebih dekat atau terwakili oleh  perenialisme dan esensialisme, berikut ini penjelasannya :

B.                Aliran Filsafat Pendidikan
Perenialisme
Aliran ini dianggap sebagai “regresive road to culturer” yakni jalan kembali , mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau” kebudayaan yang di anggap ideal.[5] Dalam pengertian yang lain, Perenialisme memandang tradisi sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah umat manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan merupakan hakikat insaniah manusia. [6]
            Perenialisme melihat zaman sekarang sedang mengalami krisis kebudayaan karena kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Dalam rangka mengatasi gangguan kebudayaan ini maka diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosio-kultural, intelektual, dan moral. Dan ini menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Regresif, merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah ini. Regresif meruapakan kembalinya kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar untuk bertingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan.[7]
            Aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi situasi yang riil. Anak hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugas seorang anak didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui usaha sendiri.[8]
            Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu anak didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi, karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Aliran ini menilai belajar itu untuk berfikir.[9]
Esensialisme
            Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peadaban umat manusia.[10] Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia (Muhammad Noor Syam, 1988:260). Esensialisme didasari atas pandangan humanisme serba ilmiah dan materialiistik ,selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari penganut aliran idealisme dan realisme (Zuhairini,, 1995, 25).[11]
            Aliran esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama dipandang telah melakukan banyak kebaikan untuk manusia. Kebudayaan lama ini telah ada sejak masa Renaissance dan tumbuh berkembang. Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno. Aliran ini merupakan gabungan antara ide filsafat idealisme dan realisme.[12]
            Diantara prinsip-prinsip pendidikan menurut aliran esensialisme adalah :
a.      Belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras dan kadang-kadang dapat menimbulkan keseganan dan menekankan pentingnya prinsip disiplin.
b.      Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik (guru) bukan pada anak.
c.      Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subyek materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru.
d.     Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
e.      Tujuan akhir dari pendidikan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena dianggap merupakan tuntunan demokrasi yang nyata.(Uyoh Sadullah,2003:163-164 dan Burhanuddin Salam,1997:58-59).[13]
            Bertolak dari penjelasan tersebut ,maka selanjutnya penulis sampaikan model pemikiran (filosofios) pendidikan Islam, dimana pemikiran tradisionalisme ternyata lebih dekat atau terwakili oleh  perenialisme dan esensialisme. Berikut ini penjelasannya :

C.                Keterkaitan Tradisionalisme Dengan Perenialisme dan Esensialisme
            Menurut Muhaimin, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman ,yaitu : 1) Model Tekstual Salafi; 2) Model Tradisional Mazhabi; 3) Model Modernis; dan 4) Model Neo-Modernis.[14]
            Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan model Tekstual Salafi dan model Tradisional Mazhabi yang terkait dengan pemikiran tradisionalisme.
Tekstualis Salafi
Aliran ini berusaha untuk memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah dan melepaskan diri dari atau kurang memperhatikan konteks dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya baik pada era klasik ataupun modern. Masyarakat yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf di era nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Landasan pemikiran aliran ini hanya ada dua yaitu al-Quran dan al-Sunnah dan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Dalam menjawab berbagai tantangan zaman, aliran ini hanya menggunakan al-Quran dan al-Sunnah. Ini menunjukkan bahwa aliran ini lebih bersikap regresif dan konservatif.[15]
Jika kita lihat kepada pemikiran filsafat pendidikan, ada dua tipe yang lebih dekat dengan aliran tekstualis salafi, yaitu aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori tradisional (perenialisme dan esensialisme). Perenialisme menghendaki kembalinya kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, sedangkan tekstualis salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era Nabi dan sahabat). Namun intinya, kedua aliran ini sama-sama regresif. Adapun  esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini sampai kepada manusia tentunya telah teruji oleh waktu. Tektualis Salafi menjunjung tinggi nilai-nilai salaf dan perlu dilestarikan keberadaannya, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, aliran ini menyajikan kajian tentang pendidikan secara manquli, yakni memahami atau menafsirkan nas-nas tentang pendidikan dengan nas yang lain, atau dengan mengambil pendapat sahabat. Aliran ini berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tekstual-lughawi atau berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami al-Quran, hadits Nabi, dan perkataan sahabat, serta memperhatikan praktik pendidikan pada era salaf, untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai tersebut hingga saat ini. Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perenial-tekstualis salafi dan sekaligus esensial-tekstualis salafi. Untuk menyederhanakan model ini, maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi.[16]
Tradisionalis Madzhabi
Aliran ini berupaya memahami ajaran dan nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun tidak begitu memperhatikan keadaan sosio-historis masyarakat setempat di mana ia hidup di dalamnya. Hasil pemikiran para ulama terdahulu dipandang sudah pasti tanpa melihat sisi historisnya. Masyarakat ideal bagi aliran ini adalah masyarakat muslim era klasik, di mana menganggap bahwa semua persoalan agama telah dikupas tuntas oleh para ulama terdahulu. Mereka bertumpu kepada ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tentang ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Kitab kuning menjadi rujukan pokok aliran ini.
Aliran ini menonjolkan akan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Tradisional ditunjukkan dalam bentuk sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai, norma, dan adat kebiasaan yang telah turun temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis dengan berubahnya masyarakat dan zaman. Watak madzhabi dari aliran ini diwujudkan dalam kecenderungannya mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin yang dianggap sudah relatif mapan pada masa sebelumnya.[17]
Dengan ketradisionalan dan kemadzhabannya, aliran ini dalam pengembangan pemikiran filsafat pendidikan Islam lebih menekankan pada pemberian penjelasan dari materi-materi pemikiran para pendahulunya tanpa adanya perubahan substansi pemikiran pendahulunya. Pendidikan Islam dengan model ini berupaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya serta praktik sistem pendidikan terdahulu dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan zaman yang dihadapinya. Melihat wataknya yang sedemikian itu, aliran ini juga lebih dekat dengan perennialism dan essensialism, karena wataknya yang masih regresif dan konservatif. Aliran ini disebut tipologi perenial-esensial madzhabi.
Aliran ini membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah pemikiran Islam terdahulu, baik dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum, hubungan guru murid, metode pendidikan, sampai kepada lingkungan pendidikan yang dirumuskan.
Berbeda dengan aliran yang pertama, aliran ini lebih menghargai hasil yang telah diciptakan oleh pendahulunya. Karena aliran ini masih menganggap dan menggunakan sistem pendidikan yang digunakan oleh masa sebelumnya dan hal itu dirasa baik. Namun di sini masih ada sikap tertutup dari aliran ini yang tidak menerima hal-hal yang baru, dan menurut hemat penulis, sikap ini  yang kurang bijak karena apapun di dunia ini selalu berubah. [18] 

D.                Implikasi Pemikiran Tradisionalisme Terhadap Pendidikan
 Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan salaf melalui inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa dan penting untuk diketahui semua orang.[19]
Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang mendasar, serta mata pelajaran kognitif yang ada pada era salaf. Dalam kurikulum pendidikan agama Islam bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), atau membaca al-Quran yang dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf.
            Metode pembelajran yang dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi yang paham akan kebijakan dan kebenaran masa lalu dan tentunya ahli dalam bidangnya.[20]
Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan memiliki kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta pemahaman pemikiran-pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan dan mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan kurang ada keberanian untuk mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya. Di sini pendidikan Islam lebih dijadikan sebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.[21]
Pendidikan berorientasi pada upaya murid untuk menemukan dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik. Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang dianggap mapan secara turun temurun. Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai agama yang tertuang dalam karya ulama tedahulu mengenai hal-hal yang esensial serta mata pelajaran kognitif yang ada pada masa klasik. Sama seperti aliran sebelumnya namun aliran ini hanya memberikan penjelasan atas pemikiran pendahulunya dan dianggap menyeleweng jika tidak sesuai dengan pendapat pendahulunya. Metode yang digunakan adalah ceramah, dialog, perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam madzhab, dan pemberian tugas. Manajemen dan lain sebagainya sama dengan aliran sebelumnya.[22]

III.             KESIMPULAN
            Aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori pemikiran tradisionalisme  adalah  (perenialisme dan esensialisme). Dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam disebut  aliran tekstualis salafi, untuk menyederhanakan model ini, maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi, dan tradisionalis madzhabi atau di sebut perenial-esensial madzhabi.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Djumransjah ,M, Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan ,Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,2011.
Khobir,Abdul , Filsafat Pendidikan Islam ,Pekalongan: Stain Press,2009.
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003.


  [1] Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,2011),hlm.19.
[2] Abdul Khobir,Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: Stain Press,2009),hlm.45.
[4] M. Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm, 175-176.
[5] Abdul Khobir, op.cit.,hlm.62.
[6] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal. 158
[7] M. Djumransjah,op.cit.,hlm.187
[8] Muhmidayeli,op.cit,hlm.163.
[9] Ibid,hlm.164.
   [10] Jalaluddin, Abdullah Idi, op.cit.,hlm.95.
[11] Abdul Khobir,op.cit.,hlm.56.
[12] M. Djumransjah, op. cit., hal. 181
[13] Abdul Khobir,op.cit.,hlm.59-60.
  [14] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003),hlm.50.
 [15] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005), hal. 88-89.
[16] Ibid,hlm.90.
[17] Ibid,hlm.91.
[18] Ibid,hlm.92-93.
[19] Ibid,hlm.126
[20] Ibid,hlm.127
[21] Ibid,hlm.127.
[22] Ibid,hlm.128.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan