SEJARAH
PENDIDIKAN Al-AZHAR
I.
PENDAHULUAN
Secara
umum sejarah mengandung kegunaan yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia.
Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan
dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan
kehidupan umat manusia.[1]
Berkaitan dengan sejarah pendidikan
al-Azhar. Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan Islam yang telah dikenal
sebagai universitas tertua di dunia, karena sejak itu telah mengajarkan
berbagai disiplin ilmupengetahuan, baik ilmu agama, seperti fiqih, al-Qur’an,
hadis, tasawuf, bahasa Arab, nahwu ,sharaf dan lain-lain. Sedangkan ilmu-ilmu
umum, yang diajarkan meliputi ilmu kedokteran, matematika, logika, sejarah dan
lain-lain.
Al-Azhar
sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa
saat itu hal ini karena posisi al-Azhar yang tidak independen.[2]
Sebagaimana
telah kita maklumi bahwa, sejarah pendidikan Islam merupakan hal yang
terpenting bagi umat manusia agar dapat meneladani proses pendidikan dan dapat
menjadikan perbendaharaan dalam ilmu pengetahuan, termasuk mengetahui dan
mempelajari sejarah panjang al-Azhar.
Karena
dalam pembahasan ini sangat luas dan terbatasnya sumber refrensi ,maka dalam
makalah ini, penulis membatasi pembahasan pada masalah sejarah berdirinya
al-azhar, madrasah tingkat tinggi, kurikulum dan metode pengajaran, keberadaan
al-Azhar saat berada dibawah naungan penguasa, peran al-Azhar dalam mencetak
ulama dan perkembangan al-Azhar pada zaman modern.
II.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya al-Azhar
Universitas
al-Azhar yang paling terkenal di dunia
Islam, berada di Cairo Mesir. Universitas ini di dirikan oleh Jendral Jauhar,
setelah pendirian kota Cairo tahun 358 H/ 969 M. Sedangkan menurut sumber yang
di kutip Van Houve pada dalam Ensiklopedia Islam menyebutkan bahwa al-Azhar
berdiri pada tahun 395 H/970 M. Mahmud Yunus dalam bukunya,Sejarah Pendidikan
Islam, mengutip berdirinya al-Azhar pada tahun 358 H. Adapun waktu pembangunan
al-Azhar hingga selesai tidak ada perbedaan yaitu setahun[3] Semula ia merupakan lembaga Fatimiyah sebagai pusat
latihan kader penyebar ideologi Syi’ah mengancam otoritas Abbasiyah Sunni. Maka Dinasti Saljuk Abbasiyah mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan teologi or todoks sebagai upaya mengimbangi
al-Azhar. Demikianlah Nizamul Mulk (wafat 485 H/1092 M) mendirikan beberapa
Madrasah Nizhamiyah di Irak dan Syiria. Sementara itu Sultan Shalahuddin dan
beberapa Sultan di Syiria lainnya mendirikan sejumlah madrasah di Syiria dan
Palestina. Dengan demikian al-Azhar memiliki peran penting dalam mendorong
pendidikan tinggi di dalam Islam.
Pada
masa Dinasti Fatimiyah ,Jauhar menginstruksikan untuk tidak menyebut-nyebut
Bani Abbas dalam setiap khotbah Jum’at dan juga mengharamkan pemakaian jubah
hitam serta atribut Bani Abbas lainnya. Dalam adzan hayya ‘ala al-shalah di
ganti dengan hayya ‘ala al-khair al-‘amal. Dalam khutbah Jum’at
disebutkan “Ya ,Allah, ucapkan shalawat atas Nabi Muhammad , manusia yang
terpilih, kepada Ali, manusia yang di ridhai, kepada Fatimah dan kepada Hasan dan
Husein, cucu Rasulullah. Mereka itu disingkirkan Allah dari kekotoran dan
disucikan. Shalawat atas diri imam-imam yang suci dari atas diri
‘amirulmukminin, al-Mu’izz Liidinillah”.
Al-Azhar
juga mempunyai peran penting dalam perkembangan pendidikan di eropa. Pemakaian
seragam sekolah, pengembangan tradisi pembantahan, penjurusan dua buah
fakultas. Fakultas graduate dan undergraduate, berasal dari tradisi al-Azhar,
dan menunjukan pengaruh kuat lembaga Azhar. Setelah al-Ayyub menaklukan Mesir
tahun 1171. Selama hampir satu abad dari tahun 1171-1267 al-Azhar dikosongkan[4] pada abad kekosongan itu shalat Jum’at di Masjid
al-Azhar pun di larang dan pindah ke Masjid al-Hakim, karena mereka
berpemahaman tidak boleh ada dua khutbah didalam satu kota. Semenjak itulah
Dinasti Fatimiyah berakhir sehingga al-azhar berubah menjadi universitas Sunni.
Ia telah mencapai prestasi yang gemilang dan reputasi sebagai otoritas bidang
keagamaan yang sampai sekarang tetap di perlukan.[5]
B.
Madrasah
Tingkat Tinggi (Universitas Al-Azhar)
Madrasah
sebagai salah satu institusi pendidikan Islam, yang secara historis telah
berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tersebut tidak menjadikan
keberadaan madrasah sebagai lembaga yang kondusif untuk proses belajar mengajar
apabila dibandingkan denga sekolah-sekolah yang notabene berusia muda.
Jatuh
bangun,perubahan dan penyempuraan sesuai dengan dinamika perubahan
zaman,melekat pada institusi madrasah ini. Kondisi pasang surut, dalam
pertumbuhan dan perkembangan madrasah selalu terjadi, hal ini dikarenakan
keberadaan madrasah yang ada saat itu tidak lepas dari peranan penguasa.
Pada
masa-masa awal, proses pendidikan Islam berlangsung ditempat-tempat yang
merupakan pusat ibadah (masjid) namun karena banyaknya umat Islam yang berminat
untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, juga mengganggu
kegiatan orang-orang yang beribadah, institusi pendidikan mulai mengadakan
pembenahan-pembenahan dengan mendirikan masjid Khan (skat-skat) dalam masjid Khan
mulai dilakukan pembagian kelompok studi terhadap murid-murid yang
belajar.kendati sudah ada pengelompokan, tapi pada tahap ini belum ada
pengelolaan administrasi yang bagus.
Sedangkan
al-Azhar tampak berbeda dengan institusi madrasah sebelumnya. Pada lembaga ini
sudah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula
besar (iwan) yang dipergunakan untuk kuliah umum, iwan merupakan
bagian yang sangat penting bagi al-Azhar. Pelaksanaan proses belajar mengajar
di al-Azhar mengacu kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola
madrasah. Peranan al-Azhar yang menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi,
seperti istilah Philip K.Hitti yang menyatakan madrasah merupakan lembaga
pendidikan tingkat tinggi (institution of higher education) atau College
(akademi menurut perbandingan pendidikan sekarang)[6]
C.
Metodologi Dan Kurikulum Pengajaran
Pada
mulanya pengajaran di Universitas al-Azhar sama dengan institusi pendidikan
lain, yaitu sistem ber-halaqah (melingkar) seorang pelajar bebas memilih
guru dan pindah sesuai dengan kemauan. Umumnya guru atau syaikh yang mengajar
itu duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang di ajarkannya. Disamping itu,
metode diskusi sangat dikembangkan sebagai metode dalam proses pembelajaran
antar pelajar, seorang guru hanya berperan sebagai fasilitas memberikan
penajaman dari materi yang didiskusikan.
Kurikulum
yang dipakai di al-Azhar pada mulanya fiqih dan al-Qur’an, dan ilmu agama
lainnya. Namun setelah menjadi universitas, mulai memasukan ilmu-ilmu umum,
seperti kedokteran, ilmu, sejarah, ilmu hitung, logika dan lain-lain.[7]
Ali
Djumbulati, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata mengatakan bahwa Masjid
al-Azhar adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan ,tempat diskusi bahasa dan juga
mendengarkan kisah dari orang yang ahli bercerita. Baru setelah pemerintahan di
pegang oleh Al-Aziz Billah mengubah fungsi masjid al-Azhar menjadi universtas.[8]
D.
Al-Azhar Dalam Kekuasaan Khalifah
1.
Masa
Dinasti Fatimiyah
Sejarah
mengenai kebijakan pendidikan Fatimiyah dimulai dari paruh kedua abad ke
sepuluh. Setelah mereka menduduki Mesir dan membangun ibukota baeu, Kairo ,
al-Azhar ditahbiskan dan di buka untuk ibadah dibulan Ramadhan, bulan suci ,361
sesudah hijrah Nabi atau beretepatan dengan 972 sesudah Masehi.[9]
Al-Azhar
pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong
dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat
penyebaran doktrin Ajaran syi’ah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi
menjadi empat kelas yaitu :
Pertama
, kelas umum diperuntukan bagi orang yang datang ke al-Azhar untuk mempelajari
al-Qur’an dan penafsirannya; Kedua, kelas para mahasiswa Universitas
al-Azhar kuliah dengan para dosen yang di tandai dengan mengajukan pertanyaan
dan mengkaji jawabannya. Ketiga, kelas Darul Hikam, kuliah formal ini
diberikan oleh para mubaligh seminggu sekali pada hari senin yang dibuka untuk
umum dan pada hari kamis dibuka khusus untuk mahasiswa pilihan. Keempat
,kelas nonformal ,yaitu kelas untuk pelajar wanita.
Mahasiswa
yang belajar di al-Azhar dilarang mempelajari madzhab selain madzhab Syi’ah.
Sedemikian ketatnya, sampai ada mahasiswa yang menyimpan kitab al-Muwaththa’,
karya monumentalnya Imam Malik dikenai hukum dan dipenjarakan tahun 381 H/991
M.
Menurut
Hamid Hasan al-Bilgrami, sebagaimana dikutip Abuddin Nata ,bahwa pada masa
Khalifah al-Aziz Billah, 387/988 M dengan usaha wasirnya Yakub Ibn Kills,
al-Azhar dijadikan sebagai Universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama ,ilmu akal (logika) dan ilmu
umum lainnya. Untuk menunjang kegiatan pendidikan dan pengajaran, al-Azhar
dilengkapi dengan asrama untuk para fuqaha (dosen, tenaga pendidik),
serta semua urusan yang kebutuhannya ditanggung oleh Khalifah. Adapun ilmu
agama yang di ajarkan meliputi :ilmu tafsir, qiraat, hadis,fiqih, nahwu, sharaf
dan sastra. Sedangkan ilmu-ilmu umum yang di pelajari ialah filsafat, ilmu
falak, ilmu ukur, musik, kedokteran, kimia dan sejarah, serta ilmu bumi[10] dan kuliah Darul Hikmah yang di dirikan oleh
Khalifah al-Hakim tahun 395 H/ 1005 M.[11]
2.
Masa Dinasti Ayyubi
Ketika
kekuasaan beralih dari Dinasti Fatimiyah ke Dinasti Ayyubi, al-Azhar yang
sebelumnya sebagai alat tunggangan politik dan propaganda paham Syi’ah oleh Daulah
Fatimiyah[12]
harus menghentikan segala aktivitasnya sebagai
tempat yang menyelenggarakan peribadatan dan pendidikan. Sebab shalahuddin
al-Ayyubi adalah orang yang menganut paham Sunni, dengan demikian al-Azhar di
tutup sebagai universitas dan tertutup pula untuk shalat Jum’at. Untuk
memajukan ilmu agama dan bahasa Arab, Shalahuddin al-Ayyubi membuka madrasah
sebagai sarana perkuliahan. Perkuliahan-perkuliahannya beralih ke
madrasah-madrasah dan lembaga kuliah setingkat universitas yang jumlahnya
hingga mencapai 25 lembaga di Cairo. Seperti Madrasah al-Nashiriyah tahun 566
H, yang terletak di samping Masjid Amr ibn Ash, Madrasah al-Qomhiyah tahun 566
H yang khusus mengajar fiqh madzhab Maliki, Madrasah Salahiyah tahun 572 H yang
terletak di samping Masjid Imam Syafi’i dan lain-lain.
Sejalan
dengan pergantian kekhalifahan , dari dinasti Fatimiyah ke Dinasti al-Ayyubi,
keduanya memiliki pemikiran dan menganut madzhab yang berbeda, maka hak-hak
yang telah diberikan Dinasti Fatimiyah, yaitu Khalifah al-Aziz dan al-Hakim, di
hentikan haknya pada Dinasti Ayyubi, diantaranya pencabutan hak menyampaikan
khutbah.[13]
3. Masa Dinasti Mamalik
Pada
masa ini terjadi serbuan besar-besaran dari bangsa Mongol ke Timur di barat,
sehingga menyebabkan banyak ulama dan ilmuan Muslim yang mencari perlindungan
ke al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi al-Azhar menjadi penting. Disamping
itu, menambah masyhur nama al-Azhar di mata Dunia Islam. Sejak saat itu banyak
pelajar dan negara-negara Islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan belajar di
al-Azhar. Para orientalis menyebutnya sebagai zaman keemasan dalam sejarah
al-Azhar.
Hancurnya
Baghdad dan Spanyol sebagai pusat
peradaban pemerintahan, menjadikan al-Azhar sebagai satu-satunya tempat untuk
berlindung bagi para ulama. Sementara kumpulnya ulama yang mengungsi di
al-Azhar, mendorong bangkitnya al-Azhar dari ketidakadaan aktivitas, menjadi sibuk dengan berbagai aktivitas. Sedangkan
pembiayaan operasional al-Azhar banyak di topang oleh para penguasa yang
memberikan bantuan pendanaan secara ikhlas. Itulah sebabnya banyak mahasiswa
yang datang ke Cairo berasal dari Negara Iraq dan Afrika Utara.
Padahal
sejak satu abad al-Azhar di tutup, yaitu pada masa kekhalifahan Shalahuddin
al-Ayyubi, sampai 17 tahun dan pemerintahan Dinasti Mamalik. Pada tahun 665
seorang Amir mengajukan kepada sultan al-Azhar Baiars untuk membuka kembali
al-Azhar sebagai tempat untuk shalat Jum’at ternyata usulannya di terima dan
disambut baik oleh Baibars. Sejak itu, al-Azhar di buka kembali yang sebelumnya
hampir satu abad ditutup, sedangkan pendanaannya dibiayai oleh Amir dari uang
pribadinya.
Sejak
itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan mengajar ke al-Azhar seperti,
Ibn Khaldun (784 H/1382 M), Ibnu Hajar al-Asqalani (w.808 H/1406 M), Taqiy
al-Din al-Maqrizi (w.845 H/1441 M), Jalaluddin al-Suyuti (911 H/1505 M).
Dalam
gambaran al-Maqrizi dalam al-Khitat tampak lembaga ini tidak hanya sebagai
masjid jami’, akan tetapi merupakan tempat bagi orang-orang yang shaleh,
penginapan bagi para jama’ah haji, pengungsi yang papa, para pelajar, dan
tokoh-tokoh sufi.
Ketika
Mesir hilang kedaulatannya tahun 922 H/1517 M, pendidikan dan pengajaran
mengalami kemunduran di al-Azhar khususnya dan madrasah-madrasah lainnya. Pada
masa itu ilmu yang di ajarkan hanya bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama saja,
sedangkan ilmu aqliyah, seperti filsafat, ilmu bumi, ilmu pasti tidak ada dan
di anggap haram hukumnya. Kendati demikian, tidak dapat di artikan tak ada
seorangpun yang belajar dan mengajarkan ilmu aqliyah, tetapi dengan kemauan
sendiri seperti Syaikh Abdul Mun’im Damanhuri (w 1192 H/1778 M) dalam ijazahnya
di sebutkan ilmu yang telah di pelajarinya meliputi ilmu al-Jabar, ilmu falak,
ilmu kesehatan dan lain-lain. Hal ini membuktikan bahwa ilmu aqliyah tidak 100%
lenyap dari al-Azhar. Namun yang belajar adalah mereka yang mau saja dan proses
pembelajaran dilakukan di rumah-rumah para guru yang terletak di sekitar
masjid.[14]
E.
Peranan
al-Azhar dalam Mencetak Ulama
Al-Azhar
sebagai lembaga pendidikan tinggi saat ini telah banyak melahirkan ulama yang
tidak diragukan dari aspek keimuannya, dan telah banyak menyumbangkan khazanah
ilmu pengetahuan terutama keislaman, baik dari Mesir maupun ulama yang berasal
dari daerah lainnya ,di antara mereka adalah Izuddin bin Abdissalam, Imam Subki[15] Jalaluddin as-Suyuthi[16] al-Hafiz Ibn
Hajar al-Asqalani[17] dan lain-lain, dan karya monumental dari para ulama
tersebut masih dapat dipelajari dan di saksikan sampai sekarang ini.[18]
F.
Perkembangan al-Azhar Pada Zaman Modern (Tahun
1872-1995)
Karena
bahasan ini mencakup modernisasi yang tidak bisa terlepas dari zaman modern
yang dimulai abad ke 19. Sebelum tahun 1872, ijazah yang diberikan kepada anak
didik al-Azhar tidak melalui ujian, tetapi diberikan atas keputusan pribadi
dari masing-masing guru berdasarkan sistem pendidikan yang dianut sebagai
berikut :
1)
Untuk
masa kuliah tertentu terdapat satu guru besar, mahasiswa berusaha mendampingi
guru besar hingga guru besar meninggal dunia, tujuannya untuk mencapai tingkat
ketinggian ilmiah seperti yang dimiliki oleh gurunya.
2)
Mahasiswa
mungkin mendapat ijazah untuk mata kuliah tertentu, sedangkan mata kuliah lain
ditunda. Mahasiswa dapat menjadi guru pada mata kuliah yang telah lulus dan
menjadi murid pada mata kuliah yang belum lulus.
3)
Setiap
mahasiswa yang merasa punya kemampuan untuk mata kuliah tertentu diberikan
kesempatan untuk mengajarkannya dan bila
ia dapat berfatwa dalam kaitan dengan ilmu yang bersangkutan, maka ia berhak
memperoleh ijazah.
4)
Setiap
mahasiswa dibebaskan memilih mata kuliah yang diminatinya tanpa terkait dengan
daftar kehadiran.
Pengembangan
al-Azhar tampak kembali pada masa kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi al-Mahdi
al-Hanafi, rektor al-Azhar ke-21. Dia bermadzhab Hanafi pertama yang memegang
jabatan rektor. Diantara pembaharuan yang dilakukannya adalah pada bulan
Februari 1872 memasukan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-Azhar.
Calon
alim harus berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang
di tunjuk oleh syaikh al-Azhar, untuk menguji bidang studi ushul, fiqih,
tauhid, hadis, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, saraf (ilmu tentang
pembentukan kata), ma’ani, bayan, badi’ dan mantik. Kandidat yang
berhasil lulus berhak mendapatkan asy-syahadah al-‘ala miyah (ijazah
kesarjanaan).
Pada
bulan maret 1885 keluar undang-undang mengenai pengaturan tenaga pengajar di al-Azhar.
Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan
buku-buku induk dalam 12 bidang studi tersebut di atas. Kandidat yang lulus
dalam ujian ini mendapat ad-darajah al-‘Ulya (tingkat pertama), ad-darajah
as-Saniyah (tingkat dua), ad-darjah as-Salitsah (tingkat ketiga).
Lulusan nilai pertama dapat bekerja sebagai pengajar untuk buku-buku tingkatan
tinggi, nilai kedua untuk buku-buku tingkatan menengah; dan nilai ketiga untuk
buku-buku tingkatan dasar.[19]
Pada
tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah al-Azhar (Dewan
Administrasi al-Azhar). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan
peraturan yang membagi masa belajar di al-Azhar menjadi dua periode:
-
Pendidikan
dasar (ash-Syaadah al-ahliyah/ijazah kualifikasi) ,dan
-
Pendidikan
Menengah dan Tinggi (ash-Syaadah al-‘alamiyah). Masa belajar untuk
periode pertama 8 tahun dan periode ke dua 6 tahun.
Usaha
pembaharuan selanjutnya dilakukan oleh Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905). Pada
mulanya tokoh pembaru ini mendapat tantangan dari ulama konsefvatif, tetapi
setelah al-Azhar di pegang oleh Syaikh al-Nawawi (teman akrabnya). Ia mendapat
kesempatan mengadakan sedikit pembaruan. Berangsur-angsur ia mulai melakukan
pengaturan libur yang lebih pendek dan masa belajar yang lebih panjang.
Uraian
pelajaran yang bertele-tele yang dikenal dengan Syarah al-Hawasyi diusahakan
untuk dihilangkan. Sementara itu ia juga memasukkan kurikulum modern, seperti
fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah al-Azhar[20] Di samping masjid, didirikan Dewan Administrasi
al-Azhar (idarah al-Azhar) dan diangkat beberapa sekretaris untuk
membantu kelancaran tugas syaikh al-Azhar. Bersamaan dengan itu, juga dibangun
oleh Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan bagi guru-guru dan
mahasiswa-mahasiswanya.[21]
Tahun
1908, jenjang pendidikan al-Azhar menjadi tiga :
1)
Pendidikan
Dasar
2)
Pendidikan
Menengah
3)
Pendidikan Tinggi
Tahun
1911 keluar undang-undang yang menyatakan setiap jenjang pendidikan berdurasi 5
tahun
-
Pendidikan
Dasar 5 tahun
-
Pendidikan
Menegah 5 tahun
-
Pendidikan
Tinggi 5 tahun
Tahun
1930, jenjang pendidikan disempurnakan menjadi 4.
1)
Pendidikan
Rendah selama 4 tahun
2)
Pendidikan
Menengah selama 5 tahun
3)
Pendidikan
Tinggi selama 4 tahun
4)
Pendidikan
Tinggi Ketrampilan selama 5 tahun.
Fakultas-fakultas
yang ada pada waktu itu adalah ushuluddin, syari’ah, dan bahasa Arab. Semenjak
inilah al-Azhar yang dulunya masjid berubah menjadi universitas. Pada masa
kepemimpinan Syaikh Mahmud Syaltut, rektor al-Azhar ke 41 dibentuk organisasi untuk
menganut “pemeliharaan al-Qur’an” dan lahir fakultas-fakultas baru antara lain:
Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik. [22]
Tranformasi
peradaban dunia sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang dan mendorong
terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam struktur, nilai dan bidang kehidupan
baik sosial ,budaya,ekonomi, politik maupun pendidikan.[23]
Adapun
tujuan Universitas al-Azhar adalah :
1)
Mengemukakan
kebenaran dan pengaruh turas Islam terhadap kemajuan umat manusia dan
jaminannya terhadap kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2)
Memberikan
perhatian penuh terhadap kebangkitan turas ilmu, pemikiran, dan keruhanian
bangsa Arab Islam.
3)
Meyuplai
Dunia Islam dengan ulama-ulama aktif yang beriman, percaya terhadap diri
sendiri, mempunyai keteguhan mental dan ilmu yang mendapat tentang akidah,
syari’ah dan bahasa al-Qur’an.
4)
Mencetak
ilmuan agama yang aktif dalam semua bentuk kegiatan, karya, kepemimpinan dan
menjadi contoh yang baik, serta mencetak ilmuan dari berbagai ilmu pengetahuan
yang sanggup aktif dalam dakwah Islam yang dipimpin dengan hikmah kebijaksanaan
dan pelajaran yang baik diluar dan di dalam Republik Arab Mesir.
5)
Meningkatkan
hubungan kebudayaan dan ilmiah dengan universitas dan lembaga ilmiah Islam di
luar negeri.[24]
Berikut
ini penulis tampilkan tabel tenaga
pengajar Universitas al-Azhar Kairo periode
periode 1991/1992, 1985-1990 dan jumlah mahasiswa tahun 1980-1990.
Tabel
1 : Tenaga Pengajar
Fakultas
Ushul al-Din Universitas al-Azhar. 1991/1992
Jurusan
|
Profesor
|
Ass. Prof
|
Dosen
|
Tafsir
dan ‘Ulum al-Qur’an
Hadis
dan Musthalah
‘Aqidah
dan Filsafat
Dakwah
|
13
13
27
8
|
7
9
3
8
|
12
11
10
4
|
Jumlah
|
61
|
27
|
37
|
Dari
tabel diatas terlihat bahwa jumlah profesor di fakultas Ushul al-Din
Universitas al-Azhar jauh lebih banyak dari jumlah dosen yang biasanya hanya
menyandang gelar akademis Ph.D, dan harus dicatat pula bahwa setiap profesor
yang aktif memberi kuliah pada jurusan tertentu memiliki bidang keahlian yang
berbeda-beda satu denga yang lain.[25]
Tabel
2
Tenaga
Pengajar Universitas al-Azhar Tahun 1985-1990
Tahun
|
Guru
Besar
|
Guru
Besar Madya
|
Dosen
|
Ass.Dosen
|
Jumlah
|
85/86
86/87
87/88
88/89
89/90
|
592
590
657
714
716
|
741
724
819
764
734
|
1135
1045
1157
1185
1208
|
1377
1333
1401
1387
1361
|
3845
3692
4034
4050
4019
|
Selain
itu ,untuk peningkatan mutu dosen, peraturan perguruan tinggi di beberapa
universitas di Mesir memberikan kesempatan yang luas dan waktu yang banyak
untuk meneliti dan menulis karya ilmiah. Seorang dosen di Universitas Cairo
sebagai contoh diberikan 4 hari dalam seminggu untuk penelitian dan
pengembangan akademik dan 2 hari dalam seminggu untuk memberikan kuliah atau
memberikan konsultasi.[26]
Tabel
3
Jumlah
Mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir Tahun 1980-1990
Tahun
Akademik
|
Sarjana
S1
|
Magister
S2
|
Doktoral
S3
|
Total
|
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
1989/1990
|
65.446
83.034
100.394
113.601
117.413
113.761
101.609
94.961
86.750
81.108
|
1.896
1.758
2.149
2.049
2.059
1.875
2.674
2.443
2.271
1.703
|
634
694
817
979
992
912
1.086
1.077
1.245
1.053
|
67.976
85.486
103.360
116.629
120.464
116.548
105.369
98.481
90.266
83.864
|
Mekanisme
administrasi perguruan tinggi, terutama yang berkaitan dengan urusan
kemahasiswaan, seperti penerbitan surat rekomendasi dan sebagainya memang
sangat disayangkan masih dilaksanakan secara manual, tetapi dibidang
pengembangan akademis seperti data judul, topik makalah, tesis dan disertasi
dan hasil penelitian sudah dikomputerisasi dan digunakan untuk pengawasan
akademis. Surat keterangan judul belum pernah diteliti atau dibahas dari
fakultas lain merupakan salah satu persyaratan pengajuan judul tesis atau
disertasi yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa program pascasarjana.
Surat keterangan itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
topik penelitian yang sejenis.[27]
Saat ini al-Azhar telah mempunyai 41
fakultas, 19 fakultas diantaranya berada di Kairo dan selebihnya berada
diberbagai provinsi Mesir.
Fakultas-Fakultas al-Azhar Putera terdiri dari :
1. Fakultas Ushuluddin: masa kuliah
selama empat tahun, dengan jurusan-jurusan sebagai berikut :
a. Tafsir dan
Ilmu-Ilmu al-Qur’an,
b. Hadis dan Ilmu Hadis,
c. Akidah Filsafat
d. Dakwah dan Peradaban Islam.
2. Fakultas Syariah; dengan jurusan
sebagai berikut :
a. Program Under Graduate, dengan
jurusan; Syariah Islamiyah (4 tahun), Syariah
dan Hukum (5 tahun)
b. Program
Post Graduate, dengan jurusan: 1). Ushul Fiqh, 2).
c. Perbandingan Mazhab, 3). Perbandingan Hukum, 4). Sosial Politik.
c. Perbandingan Mazhab, 3). Perbandingan Hukum, 4). Sosial Politik.
3.
Fakultas Dakwah; jurusan-jurusannya baru ada pada post graduate: 1).
Perbandingan Agama, 2).
Kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam.
4. Fakultas Studi Islam; dengan
jurusan pada post graduate.
5. Fakultas Bahasa Arab; dengan jurusan: 1). Bahasa Arab dan Adab (Umum), 2).
Sejarah dan Peradaban, 3). Pers dan Informasi.
6. Fakultas-Fakultas Umum,
terdiri dari :
1). Fakultas
Bahasa dan Terjemah, 2). Fakultas Perdagangan/Ekonomi, 3). Fakultas Tarbiyah, 4). Fakultas
Kedokteran, 5). Fakultas Farmasi, 6). Fakultas Kedokteran Gigi, 7. Fakultas
Tekhnik, 8). Fakultas Ilmu Pasti, 9). Fakultas Pertanian
Sedangkan Fakultas-Fakultas
al-Azhar Puteri.
1. Fakultas Studi Islam dan Bahasa
Arab, dengan jurusan sebagai berikut :
a. Syariah
Islamiyah
b.
Ushuluddin
c.
Bahasa Arab.
2.
Fakultas Studi Sosial
3.
Fakultas Kedokteran
4.
Fakultas Ilmu Pasti
5.
Fakultas Perdagangan
6.
Fakultas Farmasi.
Untuk fakultas-fakultas agama bagi
orang asing (selain Mesir) tidak dipungut biaya kuliah bahkan diberikan
tunjangan beasiswa, sedangkan untuk fakultas umum bagi orang asing diwajibkan
membayar biaya kuliah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa.[28]
III.
KESIMPULAN
Latar belakang
berdirinya al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah merupakan lembaga pendidikan
yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus
sebagai alat penyebaran doktrin Ajaran syi’ah. Ketika kekuasaan beralih ke
Dinasti Ayyubi, al-Azhar yang sebelumnya sebagai alat tunggangan politik dan
propaganda paham Syi’ah harus diberhentikan aktifitasnya Sebab shalahuddin
al-Ayyubi adalah orang yang menganut paham Sunni.
Kurikulum yang dipakai
di al-Azhar pada mulanya fiqih dan al-Qur’an, dan ilmu agama lainnya. Namun
setelah menjadi universitas, mulai memasukan ilmu-ilmu umum, seperti
kedokteran, ilmu, sejarah, ilmu hitung, logika dan lain-lain. Saat ini al-Azhar telah mempunyai 41 fakultas, 19 fakultas
diantaranya berada di Kairo dan selebihnya berada diberbagai provinsi Mesir.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram, Semarang: Toha
Putera,[tth].
Asrahah,Hanun ,Sejarah Pendidikan Islam ,Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu,1999.
Ilmiah, Forum Karya, Kilas
balik Teoritis Fiqh Islam ,Kediri : Purna Siswa Aliyah MHM PP. Lirboyo,
2004.
Masduqi, Asyhari, Fadha’ihul Wahabiyah, syaikh fathi
al-Mishri al-Azhari (Terjemahan: Radikalisme Sekte Wahabiyah),Ciputat:
Pustaka Asy’ari,2011.
Nata,Abuddin Sejarah
Pendidikan Islam ,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004.
Nc,Fatah
Syukur , Sejarah Pendidikan Islam ,Semarang: Pustaka Rizki
Putra,2002.
R1, Departemen
Agama ,Belajar Islam Di Timur Tengah [tth].
Suhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam , Jakarta: PT Bumi
Aksara,2006.
So’uyb,
Joesoef,Sejarah Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang,1979.
[1] Suhairini,dkk,
Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara,2006),hlm,5
[3]
Nama Masjid al-Azhar merupakan nama yang dinisbatkan kepada puteri Nabi
Muhammad saw, Fatimah al-Zahra. Sebelumnya nama masjid tersebut adalah
al-Qahirah yag berarti sama dengan kota, yaitu Cairo, dan dikaitkan dengan
kata=kata al-Qahirah al-Zahirah yang berarti kota cemerlang. Menurut M. Atiyah
al-Abrasyi sebagaimana dikutip Abuddin Nata; Baru setelah 26 bulan al-Azhar
dibuka untuk umum, tepatnya pada bulan Ramadhan 361 H dengan di awali kuliah
agama perdana oleh al-Qodli Abu Hasan al-Qoirowani pada masa pemerintahan Malik
al-Nasir.[Lihat: Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2004),hlm.89].
[4]
kendati al-Azhar ditutup sebagai lembaga pendidikan ,al-Azhar sering mendapat
kunjungan ulama-ulama terkenal yang juga memberikan kuliah. Pada tahun 589 H.
Abd Latif al-Baghdadi berkunjung ke Mesir, pada masa al-Malik al-Aziz Imad
al-Din Ustman anak Shalah al-Din. Pada kunjungannya ini ia sempat mengajar
mantiq dan al-Bayan di al-Azhar.
Selama 98 tahun al-Azhar
ditutup, sejak masa Shalahuddin al-Ayyubi sampai 17 tahun dari pemerintahan
Dinasti Mamalik. Pada 665 H, seorang amir yang tinggal tidak jauh dari al-Azhar
kembali usul kepada sultan al-Zahir Baibars untuk membuka al-Azhar kembali
sebagai tempat shalat Jum’at. Usul itu disambut baik oleh Baibars dan sejak itu
dia dan amir mengeluarkan uang sendiri untuk memperbaiki al-Azhar, Semenjak
itu, al-Azhar sering dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari berbagai daerah
untuk belajar dan mengajar.[Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam (Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu,1999),hlm.61].
[10]
Pada tahun 353 H/973 M,khalifah al-Muiz Liidznillah telah menyuruh membuat peta
bumi dari kain sutra biru yang di tulis dengan emas. Semua negeri dan gunung
,laut, sungai jalan-jalan dan kota-kota diterangkan dengan emas, terutama
Mekkah dan Madinah, ongkos yang di pakai membuat peta itu 22.000 dinar.
[12] Menurut
Joesoef So’uyb, aliran syi’ah yang pertama-tama tumbuh adalah aliran Imamiah
dan kemudian barulah terpecah kepada berbagai aliran, diantaranya aliran Ismailiah.
Al-Imam yang ke enam ,yakni Ja’far al-Shadiq, mempunyai sekian banyak putera.
Puteranya yang tertua bernama Ismail ibn Ja’far wafat sewaktu al-Imam yang
keenam itu masih hidup. Tersebab itulah aliran Duabelas (Itsnai-Asyarat) menyatakan
jabatan Imamat itu dilakukan oleh putera yang kedua yaitu Musa al-Kazhim (wafat
183 H/766 M).
Tetapi
satu pihak berpendirian bahwa jabatan Imamat tetap merupakan hak yang sah dari
putera tertua beserta turunannya. Pihak inilah yang dikenal dengan aliran Ismailiah
itu.
Akan
tetapi urutan keturunan dari Ismailiah ibn Jafar itu sampai kepada Ubaidullah
al-Mahdi (wafat 322 H/934 M) pembangun Daulat Fatimiyah (297-567 H/910-1171 M)
di Afrika Utara. Sangat kacau karena perbedaan pada berbagai silsilah keturunan
yang pernah dijumpai dalam literatur sejarah Islam.
Termasuk
didalam aliran Ismailiah itu ialah kelompok-kelompok yang sangat
ekstrim, yaitu :kelompok Qaramithah, kelompok Hassyasyin, kelompok
Druzz, kelompok Fatimiah dan berbagai pecahan lainnya.
Ajaran
yang di sebarkan kelompok-kelompok didalam aliran Ismailiah itu sangat
ekstrim sekali hingga pada umumnya sudah diluar ajaran Islam. Pada saat Daulat
fatimiah itu berhasil merebut dan menguasai Mesir pada tahun 968 M ,maka iapun
membangun ibukota al-Qahirah (Kairo) yang sekarang ini pada tahun 969 M
dan membangun Perguruan Tinggi al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran
syi’ah aliran Ismailiah.
Sewaktu
daulat Fatimiah itu ditumbangkan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (567-589
H/1171-1193 M) pada tahun 1171 M, dan ditundukkan kembali ke bawah kekuasaan
Daulat Abbasiah yang berkedudukan di
Baghdad, maka kurikulum pada aliran Sunni sampai kepada masa sekarang ini.[ Joesoef So’uyb,Sejarah
Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang,1979),hlm.546-547].
[13]
Abuddin Nata,op.cit.,hlm.92-93
[14] Ibid,hlm.93-95
[15]
As-Subki, nama lengkapnya adalah Ali ibn Badul Kafi ibn Lai ibn Tamam ibn Yusuf
ibn Musa ibn Tamam ibn hamid ibn yahya ibn Umar ibn Utsman ibn Siwar ibn Salim
as-Subki Taqiyuddin Abul hasan as-Syafi’i. Dilahirkan pada bulan Shafar tahun
683 H. Diantara gurunya adalah Ibn ar-Rif’ah, al-Baji, Abu Hayyan, al-‘Iraqi,
ad-Dumyathi dan lainnya, di Mesir,beliau mengajar di al-Manshuriyah dan Jami’
al-Hakim dan lainnya, ketika al-Qadhi Jalaluddin al-Qazwini wafat, beliau
dipilih untuk menggantikannya.wafat tahun 756 H.[Asyhari Masduqi, Fadha’ihul Wahabiyah, syaikh fathi
al-Mishri al-Azhari (Terjemahan: Radikalisme Sekte Wahabiyah),(Ciputat:
Pustaka Asy’ari,2011),hlm.14].
[16]
Ia adalah Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin
al-khadliri al-Suyuthi. Terlahir di Kairo, tahun 839 H dan wafat di kota yang
sama 72 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 911 H. Ia adalah seorang ulama
fiqih, ushul fiqih, ahli tafsir, hadis, bahasa,sastrawan sekaligus sejarawan.
Berguru antara lain kepada al-Bulqini, Syaraf al-Munawi, al-Kafiji dan yang
lain. Penguasaan ilmu yang komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu serta
komitmennya yang tinggi ,menjadikannya seorang ulama yang produktif dalam
menulis kaeangan.konon jumlah karangannya mencapai 600 judul. Diantaranya
adalah al-Itqan fi ‘Ulm al-Qur’an, Lubab al-Nuqul (tentang ashbab
an-Nuzul), Mufhamat al-Aqran fi Mubhajat al-Qur’an,al-Durr al-Mantsur, Kasyf
al-Mughtha’ fi Syarah al-Muwaththa’, al-dibaj ‘Ala Shahih al-Muslim, Tadrib
ar-Rawi, al-Asybah wa al-Nadza’ir (memuat kaidah-kaidah fiqhiyah), Mukhtashar
ar-Raudlah, Syarh Alfiyah Ibn Malik, Syarh Syawahid al-Mughni, Syarh at-Tanbih,
Mukhtashar al-ahkam al-Sultaniyyah (karya al-Mawardi) dan masih banyak yang
lainnya.
[Forum Karya Ilmiah,
Kilas balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri : Purna Siswa Aliyah MHM PP.
Lirboyo, 2004),hlm.423].
[17]
Ibn Hajar al-Asqalani, nama lengkapnya adalah Shihabuddin Abdul Fadhl Ahmad bin
Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ali ibn Ahmad al-Asqalani. Lahir di Mesir 12
Sya’ban, tahun 773 H, ayahnya telah wafat pada tahun 777 H dan ibunya juga
telah wafat sebelumnya, sehingga sejak kecil beliau telah hidup dalam keadaan
yatim. Telah hafal al-Qur’an pada umur 8 th, kemudian menghafal kitab
al-‘Umdah, al-Hawi as-Shaghir, Mukhtasar ibn Hajib dan Mulhatul I’rab dan
lainnya. Beliau adalah seorang hafidz pada masanya.Di antara karya-karyanya
adalah Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, ad-Durar al-Kaminah fi ‘A’yan
al-Miah as-Tsaminah, Lisan al-Mizan, al-Ishabah fi Tamyiz Asma as-Shahabah,
Tahdzib at-Tahdzib fi Rrijal al-Hadis, Bulughul Maram fi adillatil ahkam,
at-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadid ar-Rafi’i al-Kabir. Wafat 8 Rabi’
as-Tsani, tahun 852 H. [“Lihat Sejarahnya pada Muqaddimah Kitab Bulughul Maram”
Ibn Hajar
al-Asqalani, Bulughul Maram, (Semarang: Toha Putera,tth].
[18] Abuddin Nata, loc.cit.
[19] Abuddin Nata,op.cit.,hlm,190-192
[20]
Pada tahun 1928, gerakan reformasi Muhammad ‘Abduh menyentuh al-Azhar,ketika
Syaikh al-Maraghi diangkat menjadi “Grand Syaikh” kebijakan reformasi
al-Maraghi adalah mengembangkan al-Azhar yag pada saat itu tak lebih dari
sebuah pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dasar-menjadi sebuah
universitas Islam modern. Ia berpendapat,bahwa satu-satunya jalan bagi upaya
mengeluarkan al-Azhar dari “penyakit” marginal yang dideritanya ,ialah
memperkaya lembaga tersebut dengan ilmu-ilmu madani dan penguasaan
bahasa-bahasa Eropa. Selanjutnya ,ia merumuskan ilmu-ilmu modrn sepert iSejarah,
Geografi, tehnik, Fisika, Kimia dan Matematika untuk di ajarkan di al-Azhar.
Pengajaran ilmu-ilmutersebut tidak saja terbatas pada para mahasiswa, tetapi
juga kepada seluruh staf pengajar. lihat :Departemen Agama R1, Belajar Islam Di Timur Tengah,[tth].,hlm.70.
[21] Abuddin Nata,loc.it
[22]
Ibid,hlm.192-193
[23] Departemen
Agama RI,op.cit.,hlm.56.
[24] Abuddin Nata, op.cit.,hlm.93-94.
[25] Departemen
agama RI,op.cit.,hlm.47.
[26] Ibid,hlm.50.
[27] Ibid,hlm.54-55.
[28] http://uusmuhammadhusaini.blogspot.com/2012/12/madrasah-tingkat-tinggi-universitas-al_14.html
[26] Ibid,hlm.50.
[27] Ibid,hlm.54-55.
[28] http://uusmuhammadhusaini.blogspot.com/2012/12/madrasah-tingkat-tinggi-universitas-al_14.html
Tiada ulasan:
Catat Ulasan