Jumaat, 31 Mei 2013

Epistemologi Ilmu Sains



EPISTEMOLOGI ILMU SAINS

I.              PENDAHULUAN
Manusia mempunyai ciri istimewa ,yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.[1] Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata di butuhkan panca indera, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menterjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan.[2]
Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia ? Apakah kita mempunyai pengetahuan menganai kodrat sebagaimana adanya ? Sikap skeptis inilah yang mengawali munculnya epistemologi.[3]
Harapan penulis makalah ini dapat mengungkap tentang epistemologi ilmu yakni berkaitan dengan sumber pengetahuan dan bagaimanakah cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.

II.                PEMBAHASAN
A.                  Pengertian  Epistemologi
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam epistemologi.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, strcture,methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94).[4]
Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang dikutip Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[5]
Menurut Waryani Fajar Riyanto, filsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.[6]
Pembahasan epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.[7]

B.            Pengertian Ilmu (Sains)
Kata “’ilm” merupakan terjemahan dari kata “science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre” artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[8]
Berikut ini beberapa devinisi tentang ‘ilmu yang disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut ‘Abd al-Jabbar dari Mu’tazilah, ‘ilmu adalah “apa yang menghasilkan ketenangan jiwa,kesejukan dada dan ketentraman hati”; Bazdawi dari Maturidiyah mendevinisikan ‘ilmu sebagai  “menangkap objek ilmu sesuai dengan kenyataannya”; Jurjani, ‘ilmu adalah i’tiqah yang pasti dan sesuai dengan realitas objek; Juwaini dan Baqilani (keduanya dari Asy’ariyah) dan Abu Ya’la (dari Hanbaliyah) sebagai, ‘ilmu adalah mengetahui objek ilmu  sesuai realitasnya’; Ibn Hazm, ‘ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri , dan lain-lain.
            Menurut  Waryani Fajar Riyanto, istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam tradisi barat tidaklah identik. Istilah “sains” atau (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa lain-untuk membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora.[9]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya ,kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.[10]
Kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intiusi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi ,kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji, sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, jadi ,ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika (Kartanegara,2003).[11]

C.           Epistemologi Ilmu
Sesuai dengan cakupan filsafat ilmu, maka pada bagian ini kita pahami epistemologi ilmu ,yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan obyek ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu, dan validitas atau cara mengukur benar tidaknya ilmu.

1.             Obyek Ilmu
            Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keinginannya itu lebih mendalam. Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna , masih diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih juka dipanasi , diselidikinya pula bagaimanakah air itu ? unsur dasarkah ,atau paduan dari beberapa unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu ? jika dipanasi memang mendidih , apakah syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan, serta syarat apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersebut ? obyek air itu diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri, sejarah membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui yang mendalam atas suatu obyek.[12]
            Jujun S. Suriasumantri (1994) menyatakan bahwa obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
            Sepanjang dapat diketahui secara empiris, maka semua gejala apa saja dapat diteliti dan apabila hasil uji cobanya meminculkan teori, kemudian teori-teori tersebut dikelompokkan ,maka pada hakikatnya akan menjadi ilmu dan struktur ilmu, baik cabang-cabang ilmu maupun isi masing-masing ilmu itu sendiri, obyek yang menjadi kajian ilmu, meskipun bersifat spesifik tetapi tentulah sangat luas, dalam hal ini dapat saja berupa alam itu sendiri maupun penghuninya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[13]
            Seorang ingin mengetahui jika jeruk di tanam ,apa buahnya. Ia menanam bibit jeruk,ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa jeruk berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sains (scientific knowledge), sebenarnya pengetahuan sains tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika juga. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Namun pada dasarnya pengetahuan sains tetaplah suatu pengetahuan yang berdasarkan bukti nyata (bukti empiris). Dalam bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains ini mempunyai paradigma dan metode tertentu ,dan paradigmanya dapat disebut paradigma positif (positifistic paradigma) dan metodenya  di sebut metode ilmiah (scientific method).[14]

2.             Cara Memperoleh Ilmu
Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai berikut :
a.  Menggunakan akal
            Mengapa manusia dalam mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan perlu menggunakan akal ? setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa akal dipergunakan untuk mendapatkan ilmu, yakni sebagai berikut :
1). Akal telah dianggap mampu untuk mendapatkan ilmu, dan telah terbukti sepanjang sejarah perkembangan manusia sekaligus perkembangan ilmu pengetahuan.[15]
Akal atau rasionalitas menempati posisi yang tinggi dalam etika Islam. Nashiruddin al-Thusi menyebut akal sebagai kesempurnaan atau kamaliyah (entelechy) manusia. Pada akallah terletak esensi manusia yang membedakannya dari jenis hewan lainnya, bagi mereka. Akal mempunyai kecakapan kognitif sehingga mampu menyerap entias-entias ma’kulat (rohani) membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah.[16]
2). Akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama , yakni berupa logika. Termasuk dalam kaitan ini, maka dalam filsafat lahirlah rasionalisme yang berpandangan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Bila logis ,maka benar, bila tidak logis maka tentu salah, yang selanjutnya perlu dicari dimana letak ketidak sesuaiannya.[17]
            Orang- orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat indera tadi, dapat dikoreksi seandainya akal di gunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil karena bayangannya yang jatuh dimata kecil, kecil karena jauh. Gula pahit bagi orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak normal. Fatamorgana adalah gejala alam, begitulah seterusnya.[18]
Karena pada kenyataannya seringkali hasil simpulan akal pada hal-hal tertentu juga tidak akurat ,mengingat keterbatasannya, sehingga diperlukan alat lain, yaitu :
b. Berdasarkan empirik
            Untuk mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan bukti empirik, bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio orang awam susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat dibuktikan . misalnya dalam perut seseorang setelah di operasi terdapat benda logam bahkan tajam. Oleh ahlinya kejadian demikian dapat dijelaskan secara rasio, dan oleh orang yang mau memikirkannya dapat menerima karena masuk akal. Tetapi tetap susah bagi orang awam dan yang tidak mau menelusuri atau mempelajari lebih lanjut.
c. Terukur
Mengingat empirik baru pada batasan umum,yakni menyangkut misalnya : besar, sedang, dan kecil, atau dingin, hangat, dan panas. Pada pengkategorian tersebut belum ada ukuran seberapa besar dan panasnya. Untuk itu tentu diperlukan ukurannya, berapa drajat panasnya, berapa mili meter besarnya, dan sebagainya. Inilah sumbangan aliran positivisme yang menyatakan: ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana cara mengukurnya agar didapat simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati ?.[19]
Tokoh aliran ini ialah August Compte (1798-1857). Ia penganut empirisisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, berat di ukur dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan sebagainya.
Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketika panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas ,tidak panas, kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar di mulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur “Terukur” itulah sumbangan positivisme.[20]
d. Metode ilmiah
            Metode ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar ,maka sekali lagi di tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif, yang berarti :buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut secara empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh bidang ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.

3.             Mengukur Kebenaran Ilmu
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori. Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara logika,contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”. Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),hipotesis ini lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar adanya, kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada setiap moment idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan. [21]
Sebagai analisa dari makalah ini,  Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan bahwa  pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik, pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Tiga macam pengetahuan manusia ,masing-masing jelas paradigmanya, metodenya, dan objeknya ,jadi jelas bedanya dan jelas kaplingnya.  Tabel pengetahuan manusia berikut bermaksud meringkaskan pengetahuan itu. [22]

Pengetahuan Manusia
Macam pengetahuan
Objek
Paradigma
Metode
Ukuran

Sains

Filsafat

Mistik





Empiris

Abstrak logis
Abstrak Supralogis

Positivisme

Logis

Mistis

Sains

Rasio

Latihan Mistik

Logis dan empiris

Logis

Rasa, yakin, kadang-kadang empiris

III.             KESIMPULAN
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa).
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika.
Obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. a)  Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c) Terukur, d) Metode ilmiah.
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori.

IV.             DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu,  Jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Kartanegara,Mulyadi ,Nalar Religius , Jakarta: Erlangga,2007.
Maifur, Filsafat Ilmu,  Bandung: CV.Bintang WarliArtika, 2008.
Riyanto,  Waryani Fajar, Filsafat Ilmu Integral [FIT},Yogyakarta:2012.
Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian,   Yogyakarta: Andi,2007.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat ,Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum , Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004.
Zar, Sirajuddin ,Filsafat Islam ,Jakarta: PT.RajaGrafindo ,2004.




[1] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi,2007),hlm.6.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta: PT.RajaGrafindo) ,2004,hlm7.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.149.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004),hlm.23.
[5]Amsal Bakhtiar, op.cit.,hlm.148.
[6]Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral [FIT},(Yogyakarta:2012), hlm.567.
[7] Sirajuddin Zar, loc.cit.
[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008),hlm.9.
[9] Waryani Fajar Riyanto, op.cit., hlm.37-38.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.89.
[11] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.566.
[12] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  opcit.,hlm.12.
[13] Maifur, Filsafat Ilmu,(Bandung: CV.Bintang WarliArtika,2008),hlm.69-70.
[14] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.16.
[15] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[16] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius (Jakarta: Erlangga,2007),hlm.48.
[17] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[18] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.25.
[19]Maifur,op.cit.,hlm.71.
[20] Ahmad Tafsir,op.,cit.,hlm.26.
[21] Maifur,op.cit.,hlm.71-72.
[22] Ahmad Tafsir,op.cit.,hlm.17-18


Tiada ulasan:

Catat Ulasan