Rabu, 25 Disember 2013

Peranan Pendidik Dalam Upaya Membentuk Karakter Peserta Didik (Tela'ah Pemikiran Pendidikan Ibn Khaldun)



PERANAN PENDIDIK DALAM UPAYA MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK
[Tela’ah Pemikiran Pendidikan Ibn Khaldun]*


Abstract
Ketika kita berbicara karakter, maka sesungguhnya sampai kapanpun akan terus diberbincangkan oleh semua kalangan, bahkan tidak akan usai seiring roda kehidupan. Terlebih bagi kedua orang tua, mengingat, orang tualah pendidik pertama dan utama dan yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak. Selanjutnya, karena kedua orang tua harus mencari nafkah dan sibuk dengan berbagai pekerjaan keluarga,  memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, maka orang tua kemudian menyerahkan anaknya kepada pendidik di sekolah. Disinilah peranan pendidik sangatlah sentral sebagai penentu dalam mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang berkarakter dan berkepribadian positif, sejalan dengan pemikiran pendidikan Ibn Khaldun bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Ini dapat di mengerti ,karena selama ini upaya pembentukan karakter yang dilakukan oleh lembaga pendidikan terutama para pendidik hanya sebatas kognitif saja, belum menyentuh internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian menjadi perhatian yang serius bagi para pengembang pendidikan Islam.
Kata Kunci: Pendidik, Karakter, Peserta Didik, Ibn Khaldun.

A.           PENDAHULUAN
Pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa ana-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kudratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan lebih baik.[1]
Seperti apa karakter anak didik kita sekarang ini ? jawabannya, tidak ada data riil yang (pasti) bisa mernjawab untuk menjelaskan seperti ini atau itu. Tetapi ada beberapa kasus nyata yang diberitakan oleh media masa, baik cetak maupun elektronik, bahwa ada seorang siswa dari satu sekolah meninggal karena dikeroyok oleh siswa dari sekolah lain; pelajar sekolah X dengan sekolah Y terlibat tawuran masal; para siswa ketahuan membawa barang tajam dan tumpul untuk dipergunakan tawuran, seorang siswi hamil sebelum menikah; para siswa ketahuan sekolah X melempari dan merusak sekolahnya dan sejenisnya. Kasus-kasus tersebut mengindikasikan bahwa begitulah karakter anak didik kita sekarang ini. Meskipun kasus itu tidak bisa sama sekali digeneralisasikan bahwa semua anak didik kita di tanah air seperti itu karakternya. Populasi anak didik kita yang berkarakter baik bahkan terpuji jauh lebih banyak populasinya bila dibandingkan dengan kasusu yang sempat terekspose ke media masa.[2]
Lantas dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan?.[3] Fenomena dan kenyataan seperti yang dipaparkan diatas, tentu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Akan menjadi generasi yang seperti apa kelak, jika anak-anak dibiarkan dalam kondisi tersebut.[4] Menghadapi fenomena tersebut, tuduhan seringkali diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Dunia pendidikan benar-benar tercoreng wajahnya dan tampak tidak berdaya untuk mengatasi krisis tersebut. Hal ini bisa di mengerti karena pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian.[5] Gagasan utama pendidikan, termasuk didalamnya pendidikan Islam, terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan daya kreatif, dan keluhuran budi. Peran pendidikan ialah bagaimana nilai positif ini tumbuh menguat, jika tidak tepat bisa tumbuh sifat negatif; perilaku kekerasan, tidak peduli terhadap sesama atau kejahatan lain. Pendidikan Islam yang tidak melahirkan pribadi yang berperilaku positif bisa dipastikan gagal.[6]
Sebagai agama yang mengutamakan pendidikan, maka sepanjang masa dari dulu sekarang muncul banyak sekali pemikir Islam yang menyumbangkan buah pemikirannya dalam bidang pendidikan, sebut saja, Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun melihat manusia sebagai seorang Muslim dan telah mempunyai dasar untuk pemahaman tentang ajaran Islam yang akan membentuk karakternya, karena itu konsepnya tentang kemanusiaan merupakan hasil dari derivikasi upaya intelektulanya untuk membuktikan dan memahami asumsi yang terdapat dalam Al-Quran melalui gejala dan aktivitas kemanusiaan.[7] Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut, maka menurutnya, seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya.[8] Dalam aspek proses, pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah-sekolah kita masih dihadapkan pada masalah berkenaan dengan mutu proses belajar mengajar yang belum sepenuhnya berorentasi pada pencapaian tujuan. Dalam hal ini, kita mengakui bahwa metode-metode inovatif dalam proses pembelajaran dibawah asuhan guru masih belum banyak digunakan.[9]
Orang tua kandung yang melahirkan, guru yang mendidik, tokoh masyarakat yang kharismatik, publik yang populer,pejabat negara dengan perilakunya, ikut andil dalam pembentukan karakter anak, termasuk anak didik kita. Dengan kesibukan terhadap profesi atau pekerjaannya dan tanggungjawab orang tua di rumah makin banyak, maka fungsi mereka sebagai pendidik pertama dan utama menyerahkan hal itu kepada guru di sekolah. Secara otomatis guru mengambil alih dan turut bertanggungjawab terhadap perkembangan nalar dan jiwa anak, selama belajar di sekolah tersebut.[10]
Dalam tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan :
Sistem pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[11]
Disini jelas, bahwa Ibn Khaldun tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana perolehan ilmu ansich, melainkan pendidikan dipandang sebagai investasi masa depan dan memiliki keterkaitan dengan pekerjaan (promise of job), disamping tentu saja pembentukan kepribadian dan pembimbing menuju berpikir dan berbuat yang benar.[12] Lalu muncul pertanyaan, seperti apa dan bagaimanakah peranan pendidik dalam membentuk karakter anak didik sebagai harapan bangsa dan negara, sebagaimana tertuang dalam UUSPN tersebut ? inilah yang akan menjadi kajian pada tulisan berikut.
B.            PEMBAHASAN
1.             Biografi Singkat dan Karyanya
            Ibn Khaldun mempunyai nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M dari keluarga ilmuan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu. Sebelum menyebrang ke Afrika, keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad. Dengan latar belakang keluarganya yang demikian. Ibn Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat. Pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan. Kedua, cinta jabatan dan pangkat. Kedua faktor tersebut sangat menentukan dalam perkembangan pemikirannya.[13]
Menurut Abuddin Nata, Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang di tandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah memberikan kerangka berpikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.[14]
Selanjutnya pada 1.362 Ibn Khaldun menyebrang ke Spanyol dan bekerja pada Raja Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepada Ibn Khaldun. Tetapi Khaldun memilih tawaran yang sama dari raja Granada. Kesananalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.
Khaldun tidak lama di Granada, kecakapan dan prestasinya yang diperlihatkan selama itu telah menimbulkan iri hati Perdana Menteri, itulah sebabnya ia kembali menyebrangi Gibraltar untuk kembali ke Afrika, kemudian ia diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Sultan Aljazair, Bongi. Namun antara tahun 1.362-1.375 bukanlah masa tenang dalam kehidupan Khaldun. Pada masa-masa itu pergolakan-pergolakan politik yang sering ditandai dengan pembunuhan dan penumbangan kekuasaan telah menyebabkan ia berganti tuan, kesetiaan dan sempat mengembara ke Maroko dan spanyol, hidup dengan kabilah-kabilah Badui di Aljazair, dan beberapa kali memimpin pasukan tentara dalam medan pertempuran.
Ketenangan hidup baru ia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqaddimah dan kitab Sejarah Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Namun, oleh karena ia menghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di Granada, maka ia memutuskan diri untuk naik haji.[15]
Karya tulis Ibn Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq, dan ringkasan filsafat Ibn Rusyd, juga mengarang tentang fiqih, matematika,kesusasteraan Arab, sejarah dan ilmu hitung. Tetapi yang sampai kepada kita hanyalah sebuah karangan yang masyhur yang telah kita kenal , yaitu kitab tentang ungkapan dan pranata dasar dari masyarakat Arab dan non Arab, Barbar beserta para pemegang kekuasaan besar pada masanya. Sebagaimana ungkapan beliau yang masyhur yaitu :
العبر وديوان المبتدء والخبر فى أيام العرب والعجم والبربر ومن عاصرهم من ذوالسلطان الآكبر                                                                                 

Ibn Khaldun kemudian menulis sebuah kitab tentang sejarah hidupnya sendiri dengan judul “perjalanan Ibn Khladun di negara-negara Maghribi dan di Timur”.
رحلة ابن خلدون فى المغرب والمشرق
Juz pertama dari kitab ini dikenal dengan “al-Muqaddimah” yang menjadikan diri beliau terkenal baik dikawasan Negara Timur maupun di Barat. Beliau membagi “al-Muqaddimah”nya yang terkenal itu menjadi bagian yang membahas tentang ilmu sejarah, yang terdiri dari 6 pasal yakni pada pasal pertama tentang kehidupan manusia menurut jumlah, dan jenis-jenis penyebarannya di bumi. Dan yang kedua ialah tentang kehidupan orang Baduwi dan kabilah-kabilahnya dan bangsa-bangsa primitiv. Yang ketiga ialah tentang Negara dan kerajaan dan disebutkan pula tentang tingkat-tingkat kekuasaannya. Yang keempat ialah tentang kehidupan peradaban,kota-kota dan tempat-tempat tinggal, dan yang kelima ialah tentang pekerjaan, penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi, yang keenam ialah tentang ilmu pengetahuan dan cara-cara memperolehnya.[16]
2.             Karakter Pendidik
Sebelum membahas karakter apa saja yang seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik dalam menurut Ibn Khaldun, tentu  perlu di ketahui dulu  pengertian karakter dan pendidikan karakter.
            Secara umum, istilah karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya, seolah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan.[17] Kata “karakter” diambil dari bahasa Inggris dan juga berasal dari bahasa Yunani Character. Kata ini awalnya digunakan untuk menandai hal yang mengesankan dari dua koin (keping uang). Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap tiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya.[18] 
Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan daam interaksi terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai luhur tersebut antara lain  kejujuran,  kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis.[19]
            Dalam perspektif Islam, pendidikan karakter secara teoretik sebenarnya telah ada sejak Islam diturunkan di dunia, seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlaq (karakter) manusia. Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah dan mu’amalah, tetapi juga akhlaq. Pengamalan ajaran Islam secara utuh (kaffah) merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonilfikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad Saw, yang memilki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathanah.[20]
Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”. Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniyah dan jasmaniyah, juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan/pertumbuhannya.[21]
Menurut Ibn Khaldun tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik.[22] Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, upaya dalam pembentukan karakter peserta didik, rasanya akan tidak berhasil tanpa berkarakternya para pendidik, sebab di tangan merekalah tujuan pendidikan akan terarah sesuai dengan yang dicita-citakan.
Di antara sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan adalah :
1.      Pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik.
2.      Pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatun hasanah (teladan) bagi peserta didik.
3.      Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
4.      Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.
5.      Pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya,serta kesiapan untuk menerima pelajaran.[23]
3.             Peranan Pendidik
Menurut Ramayulis diantara tugas pendidik itu secara khusus adalah sebagai “warasat al-Anbiya “ yang pada hakikatnya mengembangkan misi “rahmatan li al-‘alamin” yakni mengembangkan misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat, kemudian misi ini dikembangkan pada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi.[24] Peranan pendidik terhadap anak didiknya adalah: (a) mendidik (b) mengajar, (c) membimbing,(d) melatih, dan (e) menilai. Kelima unsur peranan ini wajib dikembangkan oleh pendidik dan tidak boleh bertentangan fitrah (watak asli) yang baik dari peserta didik. Sebab menurut Saleh Abdurrahman (1982:84) jika manusia sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas pendidikan harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya sejak  lahir.
Karakter itu seperti diisyaratkan dalam tujuan penddikan Nasional dengan menempatkan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Sekarang ini, dalam melaksanakan tugas, fungsi dan perannya sebagai pendidik, harus mampu menerapkan konsep pendidikan inklusi secara integral; ketika ia mengajar maka dituntut untuk memperkaya metodologi mengajar dan memberikan berbagai pilihan metode belajar yang efektif kepada anak didiknya sehingga kelak bisa menjadi seorang pemuda yang berkarakter unggul seperti yang diceritakan Aziz Syamsuddin (2009) bahwa untuk membangun peradaban bangsa hingga mencapai titik kulminasinya ,dibutuhkan pemuda-pemuda dengan sifatnya yang khas dan prestasi dibidangnya luar biasa.[25] 
Berkaitan dengan metode ,Ibn Khaldun lebih lanjut menjelaskan beberapa metode yang harus diterapkan oleh para pendidik (guru) dalam upaya membentuk karakter, di antaranya adalah:
a)             Pentahapan atau pengulangan (Tadarruj wal-Tikrar).
Menurut Ibn Khaldun, mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pendangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian ilmu yang di ajarkan.[26]
b)             Menggunakan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran
Ibn Khaldun mendorong kepada penggunaan alat-alat peraga, karena anak pada waktu mulai belajar permulaannya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatannya. Alat- alat peraga itu membantu kemampuan memahami ilmu yang diajarkan kepadanya, dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak bergantung pada panca inderanya dalam proses penyusunan pengamalannya.[27]
c)             Praktik langsung
Menurut Ibn Khaldun , pengajaran tidak selamanya disampaikan melalui ceramah, tetapi perlu ada metode praktik langsung, metode tersebut oleh Ibn Khaldun dianggap lebih mengena dan lebih merasuk. Disinilah maka Ibn khaldun menyarankan perlunya “wisata akademik” atau study tour wawasan keilmuan (sharing ideas). Ibn Khaldun menyatakan : “wisata akademik adalah untuk mencari nilai tambah dengan berjumpa dengan para pakar secara langsung.[28]
            Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.[29] Sedangkan dalam hal Suri tauladan ,berikan contoh langsung tanpa banyak keterangan. Perhatikan bagaimana kehidupan Muslim itu sehari-hari. Bacalah basmalah dan doa dalam setiap pekerjaan, contohkan shalat tepat pada waktunya, kejujuran dan sebagainya. Nabi Muhammad SAW, mendidik keluarganya dan sahabatnya hampir selalu dengan memberikan contoh ,sedikit sekali  dalam bentuk memberikan keterangan apalagi dalam bentuk memberikan argumen.[30]
Ada hal penting lagi yang menutut Ibn Khaldun perlu dipersiapkan sebelum memulai mengajar, yaitu berdoa, yang ini sering dilupakan oleh banyak orang. Jika hal ini dilakukan, menurut Ibn Khaldun akan menghantarkan kita kepada pencerahan jiwa atau munculnya cahaya Tuhan (nur) yang akan memudahkan proses tranfer of knowledge. Para ulama dulu tidak belajar dan mengkaji ilmu kecuali mereka memulai dengan pensucian hati dan berdoa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, Zat pemilik cahaya itu.[31]
Ketika membimbing, maka seorang pendidik harus mampu menempatkan diri, dalam filosofi orang-orang jawa, sebagai orang yang dapat digugu dan ditiru, dan disinilah letak pentingnya keteladanan; ketika berperan sebagai pelatih maka perlu merangsang peserta didik untuk memaksimalkan potensi otak kanan dan kiri; dan ketika ia menilai maka harus menggunakan rumus dan konsep evaluasi secara transparan dan evaluasi harus di anggap sebagai bagian dari proses pembelajaran. Peran-peran tersebut dilakukan secara simultan, berkesinambungan dan terintegrasi antara satu dengan yang lainnya serta diupayakan sebagai upaya membentuk karakter perserta didik.
Implementasinya di lapangan ,bisa dikoordinasikan atau disinergikan antara guru BP. Agama dan kewarganegaraan. Perlu ditegaskan di sini bahwa masalah pembentukan karakter merupakan tanggungjawab bersama, baik secara profesional-akademik maupun antarpersonal teman se-profesi di mana ia bertugas. Tidak boleh ada pendapat bahwa masalah karakter anak didik bukan urusan saya, karena saya mengajarkan bidang studi yang tidak ada hubungan dengan masalah karakter. Tidak ada ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni yang bebas nilai.[32]
Peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter bisa melalui empat langkah:
1.   Mengumpulkan guru, orang tua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi  dan mendefinisikan unsure-unsur karakter yang ingin ditekankan
2.   Memberi pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah
3.   Menjalin kerjasama dengan orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa perilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
4.   Member kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk menjadi model pelaku sosial dan moral.[33]
Melengkapi uraian diatas, Megawangi,pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah, yaitu sebagai berikut:
1)      Cinta Allah dan kebenaran
2)      Tanggung jawab, disiplin dan mandiri
3)      Amanah
4)      Hormat dan santun
5)      Kasih sayang, peduli dan kerja sama
6)      Percaya diri,kratif dan pantang menyerah
7)      Adil dan berjiwa kepemimpinan
8)      Baik dan rendah hati
9)      Toleran dan cinta damai.[34]
4.             Pembentukan Karakter Anak Didik
Menurut Ibn Khaldun ,sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa yang membedakan manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang tidak.  Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari penghidupannya, dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah timbulnya ilmu pengetahuan.[35]
Setiap anak yang lahir ke dunia ini, dalam keadaan fitrah ,tidak tahu apa-ap, tetapi ia dibekali Allah swt potensi untuk menerima dan mengetahi semua yang ada dalam kehidupannya kelak. Potensi itu yang disebut organ-organ tubuh. Setiap organ tubuh anak yang baru lahir di angga sangat penting dilihat, dicermati dan dikembangkan oleh para ahli agar anak itu kelak mampu beradabtasi, berkembang seperti perkembangan manusia pada umumnya yang lahir terlebih dahulu. Semua organ tubuhnya berfungsi secara maksimal sesuai fungsinya masing-masing.[36]
Pemikiran pendidikan Ibn Khaldun berpijak pada asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya “tidak tahu” (jahil), ia menjadi “tahu” (‘alim) dengan belajar. Artinya ,manusia adalah jenis hewan, hanya saja Allah telah memberinya keistimewaan akal pikir sehingga memungkinkannya bertindak secara teratur dan terencana, yaitu berupa akal “pemilah” (al-‘Aql al-Tamyizi) atau memungkinkannya mengetahui ragam pemikiran dan pendapat, ragam keuntungan dan kerugian dalam tata relasi dengan sesama, yaitu berupa akal eksperimental (al-‘Aql al-tajribi) atau juga menjadikannya mampu mengkonseptualisasikan realitas empiris dan non empiris, yaitu berupa akal kritis. Akal pikir demikian berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna “kehewanan” yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia tidak mempunyai pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai “hewan” karena terdapat kesamaan dalam proses kejadiannya dari sperma, segumpal darah, sekerat daging dan seterusnya. Jadi  pemberian Tuhan pada manusia berupa cerapan inderawi dan penalaran itulah yang disebut akal pikir.[37]
Ada juga pertimbangan bakat yang sering terlupakan untuk dijadikan refrensi membentuk karakter seorang anak. maka ,tidak mengherankan jika kita sering mendengar pernyataan orang bahwa “Saya belum menjadi diri saya sendiri’ atau “Kamu harus menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain”.[38] Dalam tataran pendidikan, Ibn Khaldun berusaha menyelesaikan masalah yang hingga kini masih diperdebatkan, yaitu mengenai apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran (pengajaran) itu hal yang bersifat bakat bawaan (muhabah) atau kemampuan hasil belajar. Ia tampaknya cenderung pada pendapat terakhir (kemampuan hasil belajar, sebagaimana dinyatakan :
“Sesungguhnya kemampuan dalam ilmu dan pemahaman mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh/ profesionalitas (malakah)”.[39]
Dengan demikian menurut Ibn Khaldun, prestasi atau keberhasilan dalam pembelajaran adalah malakah (profesionalitas), dan karenanya terbentuk melalui proses latihan dan keseriusan, bukan bakat bawaan yang begitu saja dimiliki.[40]
Menurut penulis, apa yang di paparkan oleh Ibn Khaldun berkaitan dengan keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan adalah karena faktor profesionalitas, ini menegaskan bahwa para pendidik juga berperan penting dan berada di garda terdepan dalam pembentukan karakter peserta didik.
Demi itu semua, para orang tua rela bekerja keras tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan uang “demi anak”. apa sesungguhnya tujuan orang tua mensekolahkan anaknya bisa : (1) pintar, (2) baik, (3) berhasil, (4) bermanfaat kepada orang lain. Ketika anak berada di lembaga pendidikan, dalam proses pembelajaran di sekolah, atau pendidikan tinggi, maka guru atau dosen adalah pihak yang menentukan apakah pembinaan, pembentukan, dan pengembangan seorang anak didik terjadi atau tidak. Sebagai penentu ,maka seorang pendidik harus memiliki berbagai cara dan inspirasi untuk mewujudkannya.[41]
Dalam pendidikan karakter di sekolah/madrasah, semua komponen (stakeholder) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, rencana pembelajaran, proses pembelajaran, mekanisme penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan sekolah atau madrasah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/madrasah.[42]
            Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan,penciptaan lingkungan dan pembiasaan, melalui perbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian apa yang dilihat, didengar ,dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama.penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting dan turut membentuk karakter peserta didik.
            Penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode sebagai berikut :
1)   penugasan
2)   pembiasaan
3)   pelatihan
4)   pembelajaran
5)   pengarahan ,dan
6)   keteladanan
            Berbagai metode tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik.[43]
            Berdasarkan uraian tersebut, maka upaya itu semua akan maksimal hasilnya bila memperoleh dukungan dan contoh yang benar dari mereka yang memilki pengaruh, kharisma, otoritas apalagi berhubungan dengan lembaga pendidikan dan jenjang sekolah atau pendidikan tinggi yang bersangkutan. Pada saat inilah sesungguhnya mulai tersemainya karakter-karakter yang terbaik sebagaimana yang di harapkan masyarakat luas.[44] Karakter siapapun merupakan bahan material yang bisa diupayakan untuk diubah dan dibentuk. Apalagi ditangani oleh seorang pendidik atau dosen yang konsisten di bidang tugas utamanya sebagai pendidik, dengan keteladanan dan ilmunya mereka bisa melakukannya. Dengan asumsi yang kuat seperti itu harus pula diupayakan dengan penguasaan ilmu yang relevan, program yang jelas, kurikulum yang humanistik dan lembaga yang terpercaya.[45]

C.           KESIMPULAN
Jika manusia sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas pendidikan harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya sejak  lahir agar anak itu kelak mampu beradabtasi, berkembang dan berkarakter .Usaha tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan, dan pendidikan  sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniyah dan jasmaniyah, juga harus berlangsung secara bertahap. Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya,
Ketika anak berada di lembaga pendidikan, dalam proses pembelajaran di sekolah, atau pendidikan tinggi, maka guru atau dosen adalah pihak yang menentukan apakah pembinaan, pembentukan, dan pengembangan seorang anak didik terjadi atau tidak. Sebagai penentu ,maka seorang pendidik harus memiliki berbagai cara dan inspirasi untuk mewujudkannya. Dengan mengutip Ibn Khaldun, bahwa prestasi atau keberhasilan dalam pembelajaran adalah malakah (profesionalitas), dan karenanya terbentuk melalui proses latihan dan keseriusan, bukan bakat bawaan yang begitu saja dimiliki. Oleh sebab itu upaya dan kerja keras dari pendidik dalam membentuk karakter peserta didiknya perlu melibatkan semua komponen (stakeholder), termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu sendiri.

D.           DAFTAR PUSTAKA

Al-Jumbulati,  Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,  Penerjemah arifin, Perbandingan Pendidikan IslamDirasah Muqaranatun Fit-Tarbiyah al-Islamiyyah,Jakarta: PT Rineka Cipta 2002.
A, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2010.
Arifin, Muzayyin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara,2009.
Arief, Armai, Pengantar Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,2002.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011.
Khaldun ,Ibn, al-Muqaddimah, Bait al-Funun wa al-adab,2005. t.t.
Mulyana, E, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Bumi Aksara,2012.
Majid, Abdul, Pendidikan Berbasis Ketuhanan, Bandung: CV Maulana Medika Grafika, 2011.
Mu’in, Fathul , Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2011.
Nata, Abuddin , Manajemen Pendidikan,  Jakarta: Kencana,2007.
_____________  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,2005.
_____________ Sejarah Pendidikan  Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004.
Ramayulis , Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat Press Group ,2005.
__________ Ilmu Pendidikan Islam , Jakarta: Radar Jaya Ofset,2011.
Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,  Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010.
Ridla,Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,  Penerjmah: Mahmud Arif, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002.
Shaleh,Asrorun Ni’am,  Reorientasi Pendidikan Islam,  Jakarta: elSAS,2005.
Supriadi,Dedi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan, Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2005.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang , Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang-Press ,2009.
Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1999.
UU RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
Zuriah,Nurul , Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: PT Bumi Aksara,2008. 
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan,  Jakarta: Kencana, 2011.



* Artikel ini ditulis untuk memenuhi tugas ujian akhir semester, mata kuliah :Strategi Pendidikan Karakter dan Pembelajaran PAI, Dosen Pengampu : Dr. H. Chusnan B. Djaenuri. MA, dan Dr. Esti Zaduqisti, M.Psi. Pascasarjana Stain Pekalongan 2013.
[1] E.Mulyana,Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2012), hlm.1.
[2]Abdul Majid, Pendidikan Berbasis Ketuhanan,(Bandung: CV Maulana Medika Grafika, 2011),hlm.38-39.
[3] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana,2007),hlm.190.
[4] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,(Jakarta: PT Bumi Aksara,2008),hlm.160.
[5] Abuddin Nata, op.cit.,hlm.219.
[6] Asrorun Ni’am Shaleh, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: elSAS,2005),hlm.57-58.
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2005),hlm.223.
[8] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011),hlm.107
[9] Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2005), hlm.142.
[10] Abdul Majid,loc.cit.
[11] UU RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
[12] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang , Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, (Malang;UIN Malang Press ,2009),hlm.248.
  [13] Ramayulis , Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT Ciputat Press Group ,2005),hlm.17.
  [14] Abuddin Nata, Filsafat.......op.cit., hlm.171.
[15] Ibid.,hlm.172.
[16] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,  Penerjemah arifin, Perbandingan Pendidikan IslamDirasah Muqaranatun Fit-Tarbiyah al-Islamiyyah,(Jakarta: PT Rineka Cipta 2002),hlm.192-193..
[17] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 79
[18] Fathul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2011),hlm. 162.
[19] Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010).
[20] E.Mulyana,op.cit.,hlm.5.
[21] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara,2009),hlm.12.
[22] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang , op.cit.,hlm.247.
[23] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, op.cit.,hlm.107-108.
[24] Ramayulis , Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Radar Jaya Ofset,2011), hlm.63.
[25] Abdul Majid,op.cit.,hlm.43-44.
[26] Ali Al-Junbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,op.cit.,hlm.199.
[27] Ibid.,hlm.201.
[28] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN  Maulana Malik Ibrahim Malang, op.cit.,hlm.250.  
Pendidikan modern sekarang memperkuat pandangan Ibn khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana yang besar, artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan, dan pengaruhnya kuat sekali dalam hati anak. Sehingga beliau mengatakan; “Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang yang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang di anut serta keutamaan-keutamaan mereka kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah ,dan kadangkala dengan cara meniru dan belajar melalui pergaulan dengan merek. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.[ Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi,,op.cit.,hlm.202].
  Penjelasan ini dapat di lihat dalam  kitab al-Muqaddimah, juz iii, hlm.226 (fasal 6 ,pembahasan yang ke 40), yakni :
في أن الرحلة في طلب العلوم و لقاء المشيخة مزيد كمال في التعلم
و السبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم و أخلاقهم و ما ينتحلون به من المذاهب و الفضائل: تارة علما و تعليما و إلقاء و تارة محاكاة و تلقينا بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة و التلقين أشد استحكاما و أقوى رسوخا. فعلى قدر كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات و رسوخها. و الاصطلاحات أيضا في تعليم العلوم مخلطة على المتعلم حتى لقد يظن كثير منهم أنها جزء من العلم. و لا يدفع عنه ذلك إلا مباشرته لاختلاف الطرق فيها من المعلمين. فلقاء أهل العلوم و تعدد المشايخ يفيده تمييز الاصطلاحات بما يراه من اختلاف طرقهم فيها فيجرد العلم عنها و يعلم أنها أنحاء تعليم و طرق توصل و تنهض قواه إلى الرسوخ و الاستحكام في المكان و تصحح معارفه و تميزها عن سواها مع تقوية ملكته بالمباشرة و التلقين و كثرتهما من المشيخة عند تعددهم و تنوعهم. و هذا لمن يسر الله عليه طرق العلم و الهداية. فالرحلة لا بد منها في طلب العلم لاكتساب الفوائد و الكمال بلقاء المشايخ و مباشرة الرجال. و الله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.
   [29] Armai Arief, Pengantar Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,2002),hlm.110.
[30] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1999),hlm.140.
[31] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, op.cit.,hlm .253-254.
[32] Abdul Majid, loc.cit.
[33]. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 196.
[34] E.Mulyana,op.cit., hlm.5.
[35] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan  Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.251
[36] Abdul Majid,op.cit.,hlm.45-46.
[37] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,  Penerjemah: Mahmud Arif, , (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.184.
[38] Abdul Majid,,op.cit.,hlm.47.
[39] Muhammad Jawwad Ridla,op.cit.,hlm.185.
Ibn Khaldun memaksudkan malakah lebih dalam makna “kualitatif” daripada kuantitatifnya; malakah tidak sekedar sebagai kebiasaan rutin, melainkan sebagai kemampuan melakukan sesuatu yang sudah sedemikian terbiasa dan profesional./mahir.
[40] Ibid.,hlm.186.
[41] Abdul Majid,op.cit.,hlm.48.
[42] E, Mulyana,op.cit., hlm.8.
[43] Ibid.,hlm.9-10
[44] Abdul Majid,op.cit.,hlm.51.
[45] Ibid.,hlm.64.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan