PERANAN
PENDIDIK DALAM UPAYA MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK
Abstract
Ketika kita
berbicara karakter, maka sesungguhnya sampai kapanpun akan terus diberbincangkan
oleh semua kalangan, bahkan tidak akan usai seiring roda kehidupan. Terlebih
bagi kedua orang tua, mengingat, orang tualah pendidik pertama dan utama dan yang paling
bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak. Selanjutnya, karena
kedua orang tua harus mencari nafkah dan sibuk dengan berbagai pekerjaan
keluarga, memenuhi seluruh kebutuhan
keluarga, maka orang tua kemudian menyerahkan anaknya kepada pendidik di
sekolah. Disinilah peranan
pendidik sangatlah sentral sebagai penentu dalam mengantarkan peserta didik
menjadi manusia yang berkarakter dan berkepribadian positif, sejalan dengan
pemikiran pendidikan Ibn Khaldun bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan
keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga
mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Ini dapat di mengerti
,karena selama ini upaya pembentukan karakter yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan terutama para pendidik hanya sebatas kognitif saja, belum menyentuh
internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
kemudian menjadi perhatian yang serius bagi para pengembang pendidikan Islam.
Kata Kunci: Pendidik,
Karakter, Peserta Didik, Ibn Khaldun.
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa ana-anak baik lahir
maupun batin, dari sifat kudratinya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan
lebih baik.[1]
Seperti
apa karakter anak didik kita sekarang ini ? jawabannya, tidak ada data riil yang
(pasti) bisa mernjawab untuk menjelaskan seperti ini atau itu. Tetapi ada
beberapa kasus nyata yang diberitakan oleh media masa, baik cetak maupun
elektronik, bahwa ada seorang siswa dari satu sekolah meninggal karena
dikeroyok oleh siswa dari sekolah lain; pelajar sekolah X dengan sekolah Y
terlibat tawuran masal; para siswa ketahuan membawa barang tajam dan tumpul
untuk dipergunakan tawuran, seorang siswi hamil sebelum menikah; para siswa
ketahuan sekolah X melempari dan merusak sekolahnya dan sejenisnya. Kasus-kasus
tersebut mengindikasikan bahwa begitulah karakter anak didik kita sekarang ini.
Meskipun kasus itu tidak bisa sama sekali digeneralisasikan bahwa semua anak
didik kita di tanah air seperti itu karakternya. Populasi anak didik kita yang
berkarakter baik bahkan terpuji jauh lebih banyak populasinya bila dibandingkan
dengan kasusu yang sempat terekspose ke media masa.[2]
Lantas dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama
dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? adakah kesalahan yang telah
dilakukan oleh dunia pendidikan?.[3] Fenomena dan kenyataan seperti yang dipaparkan diatas, tentu
tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Akan menjadi generasi yang seperti
apa kelak, jika anak-anak dibiarkan dalam kondisi tersebut.[4] Menghadapi fenomena tersebut, tuduhan seringkali diarahkan
kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Dunia pendidikan benar-benar
tercoreng wajahnya dan tampak tidak berdaya untuk mengatasi krisis tersebut.
Hal ini bisa di mengerti karena pendidikan berada pada barisan terdepan dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus
berbuat demikian.[5] Gagasan utama pendidikan, termasuk didalamnya pendidikan
Islam, terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif
tentang kecerdasan daya kreatif, dan keluhuran budi. Peran pendidikan ialah
bagaimana nilai positif ini tumbuh menguat, jika tidak tepat bisa tumbuh sifat
negatif; perilaku kekerasan, tidak peduli terhadap sesama atau kejahatan lain.
Pendidikan Islam yang tidak melahirkan pribadi yang berperilaku positif bisa
dipastikan gagal.[6]
Sebagai agama yang mengutamakan pendidikan, maka sepanjang
masa dari dulu sekarang muncul banyak sekali pemikir Islam yang menyumbangkan
buah pemikirannya dalam bidang pendidikan, sebut saja, Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun
melihat manusia sebagai seorang Muslim dan telah mempunyai dasar untuk
pemahaman tentang ajaran Islam yang akan membentuk karakternya, karena itu
konsepnya tentang kemanusiaan merupakan hasil dari derivikasi upaya intelektulanya
untuk membuktikan dan memahami asumsi yang terdapat dalam Al-Quran melalui
gejala dan aktivitas kemanusiaan.[7]
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut, maka menurutnya,
seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifat yang
mendukung profesionalismenya.[8]
Dalam aspek proses, pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah-sekolah kita
masih dihadapkan pada masalah berkenaan dengan mutu proses belajar mengajar
yang belum sepenuhnya berorentasi pada pencapaian tujuan. Dalam hal ini, kita
mengakui bahwa metode-metode inovatif dalam proses pembelajaran dibawah asuhan
guru masih belum banyak digunakan.[9]
Orang
tua kandung yang melahirkan, guru yang mendidik, tokoh masyarakat yang
kharismatik, publik yang populer,pejabat negara dengan perilakunya, ikut andil
dalam pembentukan karakter anak, termasuk anak didik kita. Dengan kesibukan
terhadap profesi atau pekerjaannya dan tanggungjawab orang tua di rumah makin
banyak, maka fungsi mereka sebagai pendidik pertama dan utama menyerahkan hal
itu kepada guru di sekolah. Secara otomatis guru mengambil alih dan turut
bertanggungjawab terhadap perkembangan nalar dan jiwa anak, selama belajar di
sekolah tersebut.[10]
Dalam
tujuan pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
UU RI No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 dinyatakan :
Sistem pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[11]
Disini jelas,
bahwa Ibn Khaldun tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana perolehan
ilmu ansich, melainkan pendidikan dipandang sebagai investasi masa depan dan
memiliki keterkaitan dengan pekerjaan (promise of job), disamping tentu saja pembentukan
kepribadian dan pembimbing menuju berpikir dan berbuat yang benar.[12]
Lalu
muncul pertanyaan, seperti apa dan bagaimanakah peranan pendidik dalam
membentuk karakter anak didik sebagai harapan bangsa dan negara, sebagaimana
tertuang dalam UUSPN tersebut ? inilah yang akan menjadi kajian pada tulisan
berikut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Singkat dan Karyanya
Ibn Khaldun mempunyai
nama lengkap Abdullah Abdurrahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia
dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M dari keluarga ilmuan dan
terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan
pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada
masa itu. Sebelum menyebrang ke Afrika, keluarganya adalah para pemimpin
politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad. Dengan latar belakang
keluarganya yang demikian. Ibn Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat.
Pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan. Kedua, cinta jabatan dan pangkat.
Kedua faktor tersebut sangat menentukan dalam perkembangan pemikirannya.[13]
Menurut
Abuddin Nata, Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani
hidupnya nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan
pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam
dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang di tandai oleh jatuh bangunnya
dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayah dan Abbasiyah memberikan
kerangka berpikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.[14]
Selanjutnya
pada 1.362 Ibn Khaldun menyebrang ke Spanyol dan bekerja pada Raja Granada. Di
Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, raja
Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari
bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas milik
keluarganya dikembalikan kepada Ibn Khaldun. Tetapi Khaldun memilih tawaran
yang sama dari raja Granada. Kesananalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.
Khaldun
tidak lama di Granada, kecakapan dan prestasinya yang diperlihatkan selama itu
telah menimbulkan iri hati Perdana Menteri, itulah sebabnya ia kembali
menyebrangi Gibraltar untuk kembali ke Afrika, kemudian ia diangkat menjadi
Perdana Menteri oleh Sultan Aljazair, Bongi. Namun antara tahun 1.362-1.375
bukanlah masa tenang dalam kehidupan Khaldun. Pada masa-masa itu
pergolakan-pergolakan politik yang sering ditandai dengan pembunuhan dan
penumbangan kekuasaan telah menyebabkan ia berganti tuan, kesetiaan dan sempat
mengembara ke Maroko dan spanyol, hidup dengan kabilah-kabilah Badui di
Aljazair, dan beberapa kali memimpin pasukan tentara dalam medan pertempuran.
Ketenangan
hidup baru ia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu
itulah ia menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqaddimah dan
kitab Sejarah Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Namun,
oleh karena ia menghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di Granada,
maka ia memutuskan diri untuk naik haji.[15]
Karya
tulis Ibn Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq, dan ringkasan
filsafat Ibn Rusyd, juga mengarang tentang fiqih, matematika,kesusasteraan
Arab, sejarah dan ilmu hitung. Tetapi yang sampai kepada kita hanyalah sebuah
karangan yang masyhur yang telah kita kenal , yaitu kitab tentang ungkapan dan
pranata dasar dari masyarakat Arab dan non Arab, Barbar beserta para pemegang
kekuasaan besar pada masanya. Sebagaimana ungkapan beliau yang masyhur yaitu :
العبر
وديوان المبتدء والخبر فى أيام العرب والعجم والبربر ومن عاصرهم من ذوالسلطان الآكبر
Ibn
Khaldun kemudian menulis sebuah kitab tentang sejarah hidupnya sendiri dengan
judul “perjalanan Ibn Khladun di negara-negara Maghribi dan di Timur”.
رحلة ابن خلدون فى
المغرب والمشرق
Juz pertama dari
kitab ini dikenal dengan “al-Muqaddimah” yang menjadikan diri beliau terkenal
baik dikawasan Negara Timur maupun di Barat. Beliau membagi “al-Muqaddimah”nya
yang terkenal itu menjadi bagian yang membahas tentang ilmu sejarah, yang
terdiri dari 6 pasal yakni pada pasal pertama tentang kehidupan manusia
menurut jumlah, dan jenis-jenis penyebarannya di bumi. Dan yang kedua
ialah tentang kehidupan orang Baduwi dan kabilah-kabilahnya dan bangsa-bangsa
primitiv. Yang ketiga ialah tentang Negara dan kerajaan dan disebutkan
pula tentang tingkat-tingkat kekuasaannya. Yang keempat ialah tentang
kehidupan peradaban,kota-kota dan tempat-tempat tinggal, dan yang kelima
ialah tentang pekerjaan, penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi, yang
keenam ialah tentang ilmu pengetahuan dan cara-cara memperolehnya.[16]
2.
Karakter
Pendidik
Sebelum membahas karakter apa saja yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pendidik dalam menurut Ibn Khaldun, tentu perlu di ketahui dulu pengertian karakter dan pendidikan karakter.
Secara umum, istilah karakter sering
diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya, seolah
definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan
konteks lingkungan.[17]
Kata “karakter” diambil
dari bahasa Inggris dan juga berasal dari bahasa Yunani Character. Kata
ini awalnya digunakan untuk menandai hal yang mengesankan dari dua koin (keping
uang). Selanjutnya istilah ini digunakan untuk menandai dua hal yang berbeda
satu sama lainnya, dan akhirnya digunakan juga untuk menyebut kesamaan kualitas
pada tiap tiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya.[18]
Pendidikan
karakter ini harus dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran,
penghayatan dalam bentuk sikap dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan daam interaksi
terhadap Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai luhur tersebut
antara lain kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial,
kecerdasan berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis.[19]
Dalam perspektif Islam, pendidikan
karakter secara teoretik sebenarnya telah ada sejak Islam diturunkan di dunia,
seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw untuk memperbaiki atau
menyempurnakan akhlaq (karakter) manusia. Ajaran Islam sendiri mengandung
sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah dan
mu’amalah, tetapi juga akhlaq. Pengamalan ajaran Islam secara utuh (kaffah)
merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonilfikasikan dengan
model karakter Nabi Muhammad Saw, yang memilki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah,
Fathanah.[20]
Secara alamiah,
manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami
proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan
Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Pola perkembangan manusia dan
kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam
yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”. Pendidikan sebagai usaha
membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniyah dan jasmaniyah, juga
harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang
bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai
bila mana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir
perkembangan/pertumbuhannya.[21]
Menurut Ibn Khaldun
tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik,
menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan
jiwa dan perilaku yang baik.[22]
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, upaya dalam pembentukan karakter peserta
didik, rasanya akan tidak berhasil tanpa berkarakternya para pendidik, sebab di
tangan merekalah tujuan pendidikan akan terarah sesuai dengan yang
dicita-citakan.
Di antara
sifat-sifat yang harus di miliki oleh seorang pendidik dalam mencapai tujuan
pendidikan adalah :
1.
Pendidik hendaknya lemah lembut,
senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan
psikis peserta didik.
2.
Pendidik hendaknya menjadikan
dirinya sebagai uswatun hasanah (teladan) bagi peserta didik.
3.
Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi
peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat
disesuaikan secara proporsional.
4.
Pendidik hendaknya mengisi waktu
luang dengan aktivitas yang berguna.
5.
Pendidik harus profesional dan
mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan
dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya,serta kesiapan untuk menerima
pelajaran.[23]
3.
Peranan
Pendidik
Menurut
Ramayulis diantara tugas pendidik itu secara khusus adalah sebagai “warasat al-Anbiya “ yang pada hakikatnya
mengembangkan misi “rahmatan li al-‘alamin” yakni
mengembangkan misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh terhadap
hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat, kemudian misi
ini dikembangkan pada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif,
beramal shaleh dan bermoral tinggi.[24] Peranan
pendidik terhadap anak didiknya adalah: (a) mendidik (b) mengajar, (c)
membimbing,(d) melatih, dan (e) menilai. Kelima unsur peranan ini wajib
dikembangkan oleh pendidik dan tidak boleh bertentangan fitrah (watak
asli) yang baik dari peserta didik. Sebab menurut Saleh Abdurrahman (1982:84)
jika manusia sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas
pendidikan harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya
sejak lahir.
Karakter itu
seperti diisyaratkan dalam tujuan penddikan Nasional dengan menempatkan
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia.
Sekarang
ini, dalam melaksanakan tugas, fungsi dan perannya sebagai pendidik, harus mampu
menerapkan konsep pendidikan inklusi secara integral; ketika ia mengajar maka dituntut
untuk memperkaya metodologi mengajar dan memberikan berbagai pilihan metode
belajar yang efektif kepada anak didiknya sehingga kelak bisa menjadi seorang
pemuda yang berkarakter unggul seperti yang diceritakan Aziz Syamsuddin (2009)
bahwa untuk membangun peradaban bangsa hingga mencapai titik kulminasinya
,dibutuhkan pemuda-pemuda dengan sifatnya yang khas dan prestasi dibidangnya
luar biasa.[25]
Berkaitan
dengan metode ,Ibn Khaldun lebih lanjut menjelaskan beberapa metode yang harus diterapkan
oleh para pendidik (guru) dalam upaya membentuk karakter, di antaranya adalah:
a)
Pentahapan atau pengulangan (Tadarruj
wal-Tikrar).
Menurut Ibn
Khaldun, mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip
pendangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total
(keseluruhan), kemudian secara bertahap baru terperinci, sehingga anak dapat
menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian ilmu yang di ajarkan.[26]
b)
Menggunakan sarana tertentu untuk
menjabarkan pelajaran
Ibn Khaldun
mendorong kepada penggunaan alat-alat peraga, karena anak pada waktu mulai
belajar permulaannya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatannya. Alat-
alat peraga itu membantu kemampuan memahami ilmu yang diajarkan kepadanya, dan
hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak bergantung pada
panca inderanya dalam proses penyusunan pengamalannya.[27]
c)
Praktik langsung
Menurut Ibn
Khaldun , pengajaran tidak selamanya disampaikan melalui ceramah, tetapi perlu
ada metode praktik langsung, metode tersebut oleh Ibn Khaldun dianggap lebih
mengena dan lebih merasuk. Disinilah maka Ibn khaldun menyarankan perlunya “wisata
akademik” atau study tour wawasan keilmuan (sharing ideas).
Ibn Khaldun menyatakan : “wisata akademik adalah untuk mencari nilai tambah
dengan berjumpa dengan para pakar secara langsung.[28]
Dalam
kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan
bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak
didik berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama
Islam.[29] Sedangkan
dalam hal Suri tauladan ,berikan contoh langsung tanpa banyak keterangan.
Perhatikan bagaimana kehidupan Muslim itu sehari-hari. Bacalah basmalah dan doa
dalam setiap pekerjaan, contohkan shalat tepat pada waktunya, kejujuran dan
sebagainya. Nabi Muhammad SAW, mendidik keluarganya dan sahabatnya hampir
selalu dengan memberikan contoh ,sedikit sekali
dalam bentuk memberikan keterangan apalagi dalam bentuk memberikan
argumen.[30]
Ada hal penting
lagi yang menutut Ibn Khaldun perlu dipersiapkan sebelum memulai mengajar,
yaitu berdoa, yang ini sering dilupakan oleh banyak orang. Jika hal ini
dilakukan, menurut Ibn Khaldun akan menghantarkan kita kepada pencerahan jiwa
atau munculnya cahaya Tuhan (nur) yang akan memudahkan proses tranfer of
knowledge. Para ulama dulu tidak belajar dan mengkaji ilmu kecuali mereka
memulai dengan pensucian hati dan berdoa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,
Zat pemilik cahaya itu.[31]
Ketika
membimbing, maka seorang pendidik harus mampu menempatkan diri, dalam filosofi
orang-orang jawa, sebagai orang yang dapat digugu dan ditiru, dan disinilah
letak pentingnya keteladanan; ketika berperan sebagai pelatih maka perlu
merangsang peserta didik untuk memaksimalkan potensi otak kanan dan kiri; dan
ketika ia menilai maka harus menggunakan rumus dan konsep evaluasi secara
transparan dan evaluasi harus di anggap sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Peran-peran tersebut dilakukan secara simultan, berkesinambungan
dan terintegrasi antara satu dengan yang lainnya serta diupayakan sebagai upaya
membentuk karakter perserta didik.
Implementasinya
di lapangan ,bisa dikoordinasikan atau disinergikan antara guru BP. Agama dan
kewarganegaraan. Perlu ditegaskan di sini bahwa masalah pembentukan karakter
merupakan tanggungjawab bersama, baik secara profesional-akademik maupun
antarpersonal teman se-profesi di mana ia bertugas. Tidak boleh ada pendapat
bahwa masalah karakter anak didik bukan urusan saya, karena saya mengajarkan
bidang studi yang tidak ada hubungan dengan masalah karakter. Tidak ada ilmu,
pengetahuan, teknologi dan seni yang bebas nilai.[32]
Peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter bisa melalui empat langkah:
1. Mengumpulkan guru, orang
tua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan
unsure-unsur karakter yang ingin ditekankan
2. Memberi pelatihan bagi guru
tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan
budaya sekolah
3. Menjalin kerjasama dengan
orang tua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa perilaku karakter itu
penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya
4. Member kesempatan kepada
kepala sekolah, guru dan orang tua serta masyarakat untuk menjadi model pelaku
sosial dan moral.[33]
Melengkapi uraian diatas,
Megawangi,pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar
karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik
di sekolah maupun di luar sekolah, yaitu sebagai berikut:
1)
Cinta Allah dan kebenaran
2)
Tanggung jawab, disiplin dan mandiri
3)
Amanah
4)
Hormat dan santun
5)
Kasih sayang, peduli dan kerja sama
6)
Percaya diri,kratif dan pantang
menyerah
7)
Adil dan berjiwa kepemimpinan
8)
Baik dan rendah hati
4.
Pembentukan
Karakter Anak Didik
Menurut Ibn
Khaldun ,sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa yang membedakan
manusia dari binatang adalah karena manusia berpikir dan binatang tidak. Dengan pikiran itulah manusia bisa mencari
penghidupannya, dan dapat bergaul dengan sesamanya. Dari berpikir inilah
timbulnya ilmu pengetahuan.[35]
Setiap anak yang lahir ke dunia ini, dalam keadaan fitrah
,tidak tahu apa-ap, tetapi ia dibekali Allah swt potensi untuk menerima dan
mengetahi semua yang ada dalam kehidupannya kelak. Potensi itu yang disebut
organ-organ tubuh. Setiap organ tubuh anak yang baru lahir di angga sangat
penting dilihat, dicermati dan dikembangkan oleh para ahli agar anak itu kelak
mampu beradabtasi, berkembang seperti perkembangan manusia pada umumnya yang
lahir terlebih dahulu. Semua organ tubuhnya berfungsi secara maksimal sesuai
fungsinya masing-masing.[36]
Pemikiran
pendidikan Ibn Khaldun berpijak pada asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya
“tidak tahu” (jahil), ia menjadi “tahu” (‘alim) dengan belajar.
Artinya ,manusia adalah jenis hewan, hanya saja Allah telah memberinya
keistimewaan akal pikir sehingga memungkinkannya bertindak secara teratur dan
terencana, yaitu berupa akal “pemilah” (al-‘Aql al-Tamyizi) atau
memungkinkannya mengetahui ragam pemikiran dan pendapat, ragam keuntungan dan
kerugian dalam tata relasi dengan sesama, yaitu berupa akal eksperimental (al-‘Aql
al-tajribi) atau juga menjadikannya mampu mengkonseptualisasikan realitas
empiris dan non empiris, yaitu berupa akal kritis. Akal pikir demikian
berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna “kehewanan” yaitu
berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia tidak mempunyai
pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai “hewan” karena terdapat
kesamaan dalam proses kejadiannya dari sperma, segumpal darah, sekerat daging
dan seterusnya. Jadi pemberian Tuhan
pada manusia berupa cerapan inderawi dan penalaran itulah yang disebut akal
pikir.[37]
Ada juga
pertimbangan bakat yang sering terlupakan untuk dijadikan refrensi membentuk
karakter seorang anak. maka ,tidak mengherankan jika kita sering mendengar
pernyataan orang bahwa “Saya belum menjadi diri saya sendiri’ atau “Kamu harus
menjadi dirimu sendiri, jangan menjadi orang lain”.[38]
Dalam tataran pendidikan, Ibn Khaldun berusaha menyelesaikan masalah yang
hingga kini masih diperdebatkan, yaitu mengenai apakah prestasi dan
keberhasilan dalam pembelajaran (pengajaran) itu hal yang bersifat bakat bawaan
(muhabah) atau kemampuan hasil belajar. Ia tampaknya cenderung pada
pendapat terakhir (kemampuan hasil belajar, sebagaimana dinyatakan :
“Sesungguhnya kemampuan dalam ilmu dan
pemahaman mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh/
profesionalitas (malakah)”.[39]
Dengan demikian
menurut Ibn Khaldun, prestasi atau keberhasilan dalam pembelajaran adalah
malakah (profesionalitas), dan karenanya terbentuk melalui proses latihan
dan keseriusan, bukan bakat bawaan yang begitu saja dimiliki.[40]
Menurut penulis,
apa yang di paparkan oleh Ibn Khaldun berkaitan dengan keberhasilan dalam
mencapai tujuan pendidikan adalah karena faktor profesionalitas, ini menegaskan
bahwa para pendidik juga berperan penting dan berada di garda terdepan dalam
pembentukan karakter peserta didik.
Demi itu semua,
para orang tua rela bekerja keras tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan uang
“demi anak”. apa sesungguhnya tujuan orang tua mensekolahkan anaknya bisa : (1)
pintar, (2) baik, (3) berhasil, (4) bermanfaat kepada orang lain. Ketika anak
berada di lembaga pendidikan, dalam proses pembelajaran di sekolah, atau
pendidikan tinggi, maka guru atau dosen adalah pihak yang menentukan apakah
pembinaan, pembentukan, dan pengembangan seorang anak didik terjadi atau tidak.
Sebagai penentu ,maka seorang pendidik harus memiliki berbagai cara dan
inspirasi untuk mewujudkannya.[41]
Dalam pendidikan
karakter di sekolah/madrasah, semua komponen (stakeholder) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, rencana pembelajaran, proses pembelajaran,
mekanisme penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan
sekolah atau madrasah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah/madrasah.[42]
Pada umumnya pendidikan karakter
menekankan pada keteladanan,penciptaan lingkungan dan pembiasaan, melalui
perbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian apa yang
dilihat, didengar ,dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk
karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode
pendidikan utama.penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif
juga sangat penting dan turut membentuk karakter peserta didik.
Penciptaan lingkungan yang kondusif
dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode sebagai berikut :
1) penugasan
2) pembiasaan
3) pelatihan
4) pembelajaran
5) pengarahan ,dan
6) keteladanan
Berbagai metode tersebut mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik.[43]
Berdasarkan uraian tersebut, maka
upaya itu semua akan maksimal hasilnya bila memperoleh dukungan dan contoh yang
benar dari mereka yang memilki pengaruh, kharisma, otoritas apalagi berhubungan
dengan lembaga pendidikan dan jenjang sekolah atau pendidikan tinggi yang
bersangkutan. Pada saat inilah sesungguhnya mulai tersemainya karakter-karakter
yang terbaik sebagaimana yang di harapkan masyarakat luas.[44]
Karakter siapapun merupakan bahan material yang bisa diupayakan untuk diubah
dan dibentuk. Apalagi ditangani oleh seorang pendidik atau dosen yang konsisten
di bidang tugas utamanya sebagai pendidik, dengan keteladanan dan ilmunya
mereka bisa melakukannya. Dengan asumsi yang kuat seperti itu harus pula
diupayakan dengan penguasaan ilmu yang relevan, program yang jelas, kurikulum
yang humanistik dan lembaga yang terpercaya.[45]
C.
KESIMPULAN
Jika manusia
sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas pendidikan
harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya sejak lahir agar anak itu kelak mampu beradabtasi, berkembang dan
berkarakter .Usaha tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan,
dan pendidikan sebagai usaha membina dan
mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniyah dan jasmaniyah, juga harus
berlangsung secara bertahap. Pendidikan karakter ini harus dipahami sebagai
upaya penanaman kecerdasan dalam pikiran, penghayatan dalam bentuk sikap dan
pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai luhur yang menjadi
jati dirinya,
Ketika
anak berada di lembaga pendidikan, dalam proses pembelajaran di sekolah, atau
pendidikan tinggi, maka guru atau dosen adalah pihak yang menentukan apakah
pembinaan, pembentukan, dan pengembangan seorang anak didik terjadi atau tidak.
Sebagai penentu ,maka seorang pendidik harus memiliki berbagai cara dan
inspirasi untuk mewujudkannya. Dengan mengutip Ibn Khaldun, bahwa prestasi atau
keberhasilan dalam pembelajaran adalah malakah (profesionalitas), dan
karenanya terbentuk melalui proses latihan dan keseriusan, bukan bakat bawaan
yang begitu saja dimiliki. Oleh sebab itu upaya dan kerja keras dari pendidik
dalam membentuk karakter peserta didiknya perlu melibatkan semua komponen (stakeholder),
termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu sendiri.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jumbulati, Ali
dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Penerjemah
arifin, Perbandingan Pendidikan Islam “Dirasah Muqaranatun
Fit-Tarbiyah al-Islamiyyah”,Jakarta: PT Rineka Cipta 2002.
A, Doni Koesoema, Pendidikan Karakter, Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2010.
Arifin, Muzayyin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
PT Bumi Aksara,2009.
Arief, Armai, Pengantar Metodologi Pendidikan Islam,
Jakarta: Ciputat Press,2002.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011.
Khaldun ,Ibn, al-Muqaddimah, Bait al-Funun wa al-adab,2005. t.t.
Mulyana, E, Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Bumi
Aksara,2012.
Majid, Abdul, Pendidikan
Berbasis Ketuhanan, Bandung: CV Maulana Medika Grafika, 2011.
Mu’in, Fathul , Pendidikan Karakter: Konstruksi
Teoritik dan Praktik, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2011.
Nata, Abuddin , Manajemen
Pendidikan, Jakarta: Kencana,2007.
_____________ Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama,2005.
_____________ Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004.
Ramayulis , Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat Press Group ,2005.
__________ Ilmu Pendidikan
Islam , Jakarta: Radar Jaya Ofset,2011.
Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia”
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Balitbang Kementrian
Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010.
Ridla,Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam, Penerjmah: Mahmud
Arif, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,2002.
Shaleh,Asrorun Ni’am, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: elSAS,2005.
Supriadi,Dedi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,
Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2005.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang , Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
Malang: UIN Malang-Press ,2009.
Tafsir, Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1999.
UU RI No.20 Tahun
2003 Tentang
Sisdiknas.
Zuriah,Nurul , Pendidikan Moral & Budi Pekerti
dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: PT Bumi Aksara,2008.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.
* Artikel ini ditulis untuk
memenuhi tugas ujian akhir semester, mata kuliah :Strategi Pendidikan Karakter
dan Pembelajaran PAI, Dosen Pengampu : Dr. H. Chusnan B. Djaenuri. MA, dan Dr.
Esti Zaduqisti, M.Psi. Pascasarjana Stain Pekalongan 2013.
[4] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi
Pekerti dalam Perspektif Perubahan,(Jakarta: PT Bumi Aksara,2008),hlm.160.
[8] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011),hlm.107
[9] Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,(Bandung:PT
Remaja Rosdakarya,2005), hlm.142.
[12] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang , Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer,
(Malang;UIN Malang Press ,2009),hlm.248.
[16] Ali Al-Jumbulati dan Abdul
Futuh at-Tuwaanisi, Penerjemah arifin, Perbandingan
Pendidikan Islam “Dirasah Muqaranatun Fit-Tarbiyah al-Islamiyyah”,(Jakarta:
PT Rineka Cipta 2002),hlm.192-193..
[17]
Doni Koesoema A., Pendidikan
Karakter, Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 79
[18] Fathul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Yogyakarta:
Ar Ruzz, 2011),hlm. 162.
[19] Raharjo, ”Pendidkan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia”
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang Kementrian
Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010).
[20] E.Mulyana,op.cit.,hlm.5.
Pendidikan modern sekarang memperkuat pandangan Ibn
khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana yang besar, artinya dalam
upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan, dan pengaruhnya kuat
sekali dalam hati anak. Sehingga beliau mengatakan; “Sesungguhnya melakukan
perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan
tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab
banyak orang yang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang di
anut serta keutamaan-keutamaan mereka kadangkala dengan cara menukil ilmu,
mempelajari atau menerima kuliah ,dan kadangkala dengan cara meniru dan belajar
melalui pergaulan dengan merek. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan
dengan bergaul dan menerima pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat
kesannya daripada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya
bermacam-macam.[ Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh
at-Tuwaanisi,,op.cit.,hlm.202].
Penjelasan ini
dapat di lihat dalam kitab al-Muqaddimah,
juz iii, hlm.226 (fasal 6 ,pembahasan yang ke 40), yakni :
في أن الرحلة في طلب العلوم و لقاء
المشيخة مزيد كمال في التعلم
و السبب في ذلك أن البشر يأخذون
معارفهم و أخلاقهم و ما ينتحلون به من المذاهب و الفضائل: تارة علما و تعليما
و إلقاء و تارة محاكاة و تلقينا بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة و
التلقين أشد استحكاما و أقوى رسوخا. فعلى قدر كثرة الشيوخ يكون حصول الملكات و
رسوخها. و الاصطلاحات أيضا في تعليم العلوم مخلطة على المتعلم حتى لقد يظن كثير منهم
أنها جزء من العلم. و لا يدفع عنه ذلك إلا مباشرته لاختلاف الطرق فيها من
المعلمين. فلقاء أهل العلوم و تعدد المشايخ يفيده تمييز الاصطلاحات بما يراه من اختلاف
طرقهم فيها فيجرد العلم عنها و يعلم أنها أنحاء تعليم و طرق توصل و تنهض قواه
إلى الرسوخ و الاستحكام في المكان و تصحح معارفه و تميزها عن سواها مع تقوية
ملكته بالمباشرة و التلقين و كثرتهما من المشيخة عند تعددهم و تنوعهم. و هذا لمن يسر الله
عليه طرق العلم و الهداية. فالرحلة لا بد منها في طلب العلم لاكتساب الفوائد
و الكمال بلقاء المشايخ و مباشرة الرجال. و الله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.
[33]. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter
Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 196.
[37] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga
Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Penerjemah: Mahmud Arif, , (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya,2002),hlm.184.
Ibn Khaldun memaksudkan malakah lebih dalam
makna “kualitatif” daripada kuantitatifnya; malakah tidak sekedar
sebagai kebiasaan rutin, melainkan sebagai kemampuan melakukan sesuatu yang
sudah sedemikian terbiasa dan profesional./mahir.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan