BERKURBAN
UNTUK MAYYIT
Berikut
ini penulis sajikan beberapa hal yang terkait dengan permasalahan berkurban
untuk orang yang sudah meninggal dunia (mayyit).
Menyikapi
pelaksanaan kurban untuk mayyit, berawal dari sebuah hadis dari Ali bin Abu
Thalib ra, bahwa beliau pernah berkurban dua ekor kambing, yang seekor untuk
Nabi Saw, dan seekor lagi untuk dirinya.
Ali bin Abu Thalib ra, berkata :
“Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw, pernah memerintahkanku untuk melakukan
kurban untuknya dan akupun melasanakan kurban untuknya’.
Jadi, berpijak dengan uraian hadis tersebut, kemudian para fuqaha
memberikan pandangannya, yakni:
Tidak diperbolehkan melaksanakan kurban untuk orang lain jika tidak
mendapat izin darinya, kecuali berkurban untuk keluarganya, atau wali terhadap
anaknya, ataupun pemimpin untuk rakyatnya.[1] Sementara para ulama lainnya memiliki
pemahaman yang berbeda, yakni melaksanakan kurban untuk orang lain tanpa ada
izin darinya diperbolehkan selama kurbannya adalah nadzar.
Menurut fuqaha lainnya berpendapat bahwa, hadis tersebut dapat menjadi
dalil dan hujjah atas tidak diperbolehkannya melaksanakan kurban untuk
mayyit kecuali mendapat izin (wasiat). Pendapat yang serupa juga dikemukakan
oleh oleh penulis kitab al-‘Uddah dan al-Baghawi.
Sementara
itu, Abdullah bin Mubarak, ternyata menyukai shadaqah untuk mayyit, bukan
melaksanakan kurban atas nama mayyit, namun jika seorang menyembelih hewan
(kurban) untuk mayyit maka ia, memberikan saran agar tidak memakan dagingnya,
dan hendaknya menshadaqahkan semuanya.[2]
Mengenai hal
ini pula, Abu Hasan al-Ubadi berkeyakinan bahwa melaksanakan kurban untuk
mayyit tidaklah harus mendapat izin (wasiat) darinya, dan ia juga berargumen bahwa pelaksanaan kurban
merupakan bagian dari shadaqah, dan pahala shadaqah akan tetap sampai pada
mayyit sesuai ijma’ ulama.
Walhasil, dari
berbagai macam pendapat tersebut, penulis lebih condong atas apa yang
dikemukakan Abu Hasan al-‘Ubadi, bahwa berkurban merupakan shadaqah dan
shadaqah itu sendiri pastilah akan sampai kepada mayyit, terlepas apakah
mendapat izin (wasiat) ataupun tidak. Shadaqah dan do’a pastilah akan sampai
pada mayyit adalah sudah menjadi konsensus ulama, sebagaimana dinyatakan oleh
Zakariyya al-Anshari (w.926 H) dalam kitabnya.[3]
(وينفعه) أي الميت من وارث وغيره (صدقة ودعاء) بالإجماع وغيره وأما قوله تعالى: “وأن ليس للإنسان إلا ما سعى” فعام مخصوص بذلك وقيل منسوخ وكما
ينتفع الميت بذلك ينتفع به المتصدق والداعي
Dan dapat memberikan manfaat bagi orang yang mati
(mayyit) baik dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah dan do’a
berdasarkan ijma’ dan hujjah lainnnya, adapun firman Allah Swt (wa an laisa
lil-insaani ilaa maa sa’aa) adalah ‘amun makhshush dengan hal itu bahkan
dikatakan mansukh, sebagaimana itu bermanfaat bagi mayyit juga bermanfaat bagi
yang bershadaqah dan yang berdo’a.
Sampainya
pahala shadaqah dan do’a pada mayyit juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir, terkait
dengan pemahaman firman Allah Swt
(QS.al-Najm:39), yakni
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Dan bahwa manusia hanya memperoleh selain yang telah diusahakannya.[4]
Menurutnya,
sampainya (bermanfaat) do’a dan shadaqah
pada mayyit sudah menjadi ijma’ (kesepakatan ulama), dan telah ada nash-nash
syari’at yang menjelaskannya.[5] Dan masih
banyak lagi ulama-ulama kita dari Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang
mengemukakan hal tersebut, dan tidak mungkin penulis sebutkan semuanya dalam
kajian ini. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshari,
Zakariya Fath al-Wahhab, Semarang:Maktabah Toha Putra,[tth].
Al-Baijuri, Ibrahim,
Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi, Beirut:Dar al-Fikr,1994.
Al-Malibari,
Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz, Fath
al-Mu’in bisyarh Qurrati al-‘Ain,
Semarang: Maktabah Toha Putra,[tth].
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf , al-Adzkar, Semarang: Karya Insan,[tth].
__________Yahya
bin Syaraf al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab , Beirut: Dar
al-Fikr,1997.
Al-Tirmidzi, Abu
‘Isa Muhammad Sunan al-Tirmidzi, [Maktabah Syamilah].
Katsir,Ibnu,
Tafsir Qur’an al-‘Adzim.[Maktabah Syamilah].
RI,
Departemen Agama ,Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar,2004.
[1] Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah
al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim al-Ghazi,(Beirut:Dar al-Fikr,1994),juz ii,hlm.442.
lihat pula, Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab,(Semarang:Maktabah Toha
Putra,tth),juz ii,hlm.189. Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
,(Beirut: Dar al-Fikr,1997),juz viii,,hlm.299.
Abu ‘Isa Muhammad al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi, (Maktabah Syamilah), hadis no:1495.
[ 1495 ] حدثنا محمد بن عبيد
المحاربي الكوفي حدثنا شريك عن أبي الحسناء عن الحكم عن حنش عن علي أنه كان يضحي
بكبشين أحدهما عن النبي صلى الله عليه وسلم والآخر عن نفسه فقيل له فقال أمرني به
يعني النبي صلى الله عليه وسلم فلا أدعه أبدا قال أبو عيسى هذا حديث غريب لا نعرفه
إلا من حديث شريك وقد رخص بعض أهل العلم أن يضحى عن الميت ولم ير بعضهم أن يضحى
عنه وقال عبد الله بن المبارك أحب إلي أن يتصدق عنه ولا يضحى عنه وإن ضحى فلا يأكل
منها شيئا ويتصدق بها كلها قال محمد قال علي بن المديني وقد رواه غير شريك قلت له
أبو الحسناء ما اسمه فلم يعرفه قال مسلم اسمه الحسن
[2]
Al-Nawawi, op.cit.,juz
viii,hlm.299.
Sunan al-Tirmidzi, hadis no:1495.
[ 1495 ] حدثنا محمد بن عبيد
المحاربي الكوفي حدثنا شريك عن أبي الحسناء عن الحكم عن حنش عن علي أنه كان يضحي
بكبشين أحدهما عن النبي صلى الله عليه وسلم والآخر عن نفسه فقيل له فقال أمرني به
يعني النبي صلى الله عليه وسلم فلا أدعه أبدا قال أبو عيسى هذا حديث غريب لا نعرفه
إلا من حديث شريك وقد رخص بعض أهل العلم أن يضحى عن الميت ولم ير بعضهم أن يضحى
عنه وقال عبد الله بن المبارك أحب إلي أن يتصدق عنه ولا يضحى عنه وإن ضحى فلا يأكل
منها شيئا ويتصدق بها كلها قال محمد قال علي بن المديني وقد رواه غير شريك قلت له
أبو الحسناء ما اسمه فلم يعرفه قال مسلم اسمه الحسن
[3]
Zakariya al-Anshari, op.cit.,juz
ii,hlm.19. lihat pula, Zainuddin
bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malibari, Fath
al-Mu’in bisyarh Qurrati al-‘Ain,
(Semarang: Maktabah Toha Putra,tth),hlm.94. al-Nawawi, al-Adzkar,
(Semarang: Karya Insan,tth),hlm.140.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004),hlm.767.
[5]Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an
al-‘Adzim (Maktabah Syamilah),juz vii,hlm.645..
Tiada ulasan:
Catat Ulasan