RABU PUNGKASAN
Indikasi
Kesialan dalam Perspektif Syar’i
Tahun baru Masehi kali ini
bertepatan dengan rabu terakhir di bulan Shafar, dalam kepercayaan masyarakat jawa
di sebut “rabu pungkasan” atau (arba’ mustamir). Hari yang mungkin bagi sebagian
orang di percaya sebagai turunnya bermacam bala bencana di muka bumi. Dan pada hari
tersebut terkesan di keramatkan dan mistik, terbukti dengan berbagai pelaksanaan
ritual dan ibadah yang di laksanakan pada hari tersebut.
Adakah
indikasi kesialan (orang jawa menyebut hari na’as) pada tahun ini ? lantas apa yang
di maksud dengan “yaumin nahsin” dalam al-Qur’an surat al-Qamar, kemudian
bagaimana pandangan ulama mengenai permasalahan ini ? Mudah-mudahan tulisan ini
bisa menjawabnya.
(فائدة أخرى )كر بعض العارفين من أهل الكشف و
التمكين أنه ينزل من كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات
وكل ذالك فى يوم اللأربعاء الأخير من شهر صفر فيكون ذالك اليوم أصعب أيام
السنة كلها
Artinya : (Faidah Ukhra) , Sebagian ahli
ma'rifat yang memiliki kemampuan tinggi dalam ber-mukasyafah, menyatakan
bahwa pada setiap tahun, Allah Swt menurunkan 320.000 macam bala bencana ke
bumi dan semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, sehingga
hari itu menjadi hari yang tersulit dalam satu tahun.
Bulan Shafar
dalam kalender penanggalan hijriyah Islam adalah bulan yang kedua, sebagaimana
dengan bulan-bulan lainnya,tentu bulan Shafar berjalan sesuai dengan iradahnya
Allah Swt yang telah di gariskan padanya.
Menurut bahasa Shafar berarti
kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena
kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah
mereka (sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Namun ada pula
yang menyatakan bahwa nama Shafar diambil dari nama suatu jenis penyakit
sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni
penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat
besar yang sangatlah, berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Shafar
sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan. Kepercayaan tentang hari naas atau kesialan memang
sudah ada sejak orang-orang badui dan Masyarakat Jahiliyah. Misalnya saja
keyakinan munculnya bencana di tandai dengan terbangnya burung hantu yang
melintasi rumah seseorang,
Pendapat lain menyatakan bahwa
Shafar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan
mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Kepercayaan yang berbau mistis yang
menganggap bahwa pada bulan itu setiap manusia akan mendapatkan bencana (bala),
sehingga pada hari itu segala bentuk aktifitas dihentikan, tidak boleh
melakukan bepergian, bahkan tidak boleh
melakukan pernikahan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.[2]
Rupa-rupanya
tradisi ini menular hingga sampai saat ini, masyarakat Jawa menyebutnya rabu
pungkasan atau arba’ mustamir. Pada hari rabu terakhir bulan Shafar,
kesan mistik mulai nampak sebagai upaya untuk menangkal bencana (bala’) dengan
melakukan beberapa ritual khusus mulai dari penggunaan rajah-rajah (jimat), melakukan
mandi Shafar, shalat rabu pungkasan dan lain-lain, hal ini menjadi gambaran
bahwa rabu pungkasan menjadi hari yang keramat serta menakutkan, karena
anggapan bencana yang akan di turunkan Allah Swt pada hari tersebut.
Benarkah
hari rabu di akhir bulan Shafar adalah hari sial, hari penuh bencana ? inilah
yang akan penulis kaji dalam tulisan berikut ini
Pertama,
indikasi adanya bencana pada hari akhir di bulan Shafar terdapat dalam
al-Qur’an, dan al-Hadis, berikut ini penjelasannya :
Di dalam al-Qur‘an Allah Swt telah
menceritakan peristiwa azab Allah kepada kaum `Ad di kala dalam
kesesatan dan kedurhakaan serta mendustakan Rasul-Nya. Allah Swt membinasakan
mereka dengan menghembuskan angin kencang yang sangat kencang pada hari nahas
yang terus menerus.
Peristiwa ini di abadikan dalam firman Allah Swt surat
al-Qamar.
كَذَّبَتْ
عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا
فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
Kaum 'Aad pun mendustakan. Maka alangkah dahsyatnya
azab-Ku dan peringatankan-Ku! Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang
sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus, yang membuat
manusia bergelimpangan , mereka bagaikan pohon-pohon korma yang tumbang
dengan akar-akarnya. ( QS. al-Qamar : 18-19 ).[3]
Yang di maksud يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ “hari nahas yang terus menerus” menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya[4] menceritakan
bahwa menurut Ibnu Abbas, peristiwa tersebut terjadi pada hari rabu yang
terakhir pada bulan itu (يوم
الأربعاء في آخر الشهر ). Senada
dengan hal tersebut di tuturkan oleh al-Baghawi dalam tafsirnya[5], al-Thabari dalam
tafsirnya.[6] Dan yang
dimaksudkan hari nahas di dalam ayat tersebut Allah Swt membinasakan
kaum ‘Add yang kafir dan orang-orang mendustakan Rasul mereka saja. Dengan kata
lain Allah tidak membinasakan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dengan
rasul mereka. Dan azab atau siksa yang di rasakan tersebut terus menerus karena
nahas-nya, bahkan di katakan kesialan-kesialan tersebut sampai nanti di
neraka jahanam.
Dalam ayat-ayat yang
lain yang bersamaan maksudnya adalah firman Allah Swt dalam surat Fushshilat :
فأرسلنا عليهم ريحا صرصرا في أيام نحسات
Maka Kami meniupkan angin yang sangat
kencang kepada mereka dalam beberapa hari nahas (sial). QS.
Fushshilat :16.
Selanjutnya
al-Thabari[7] menuturkan
hadis yang dikeluarkan oleh Ibn Murdawaih dari Anas ra, berkata : Rasulullah
Saw di tanya tentang beberapa hari dan di tanya tentang hari rabu, kemudian Rasulullah Saw benjawab
: “hari nahas”. Para sahabat bertanya : Seperti apakah hari nahas
tersebut ya Rasulallah ?, beliau menjawab : hari nahas adalah hari
dimana Allah Swt menenggelamkan fir’aun dan kaumnya dan juga pada hari tersebut
Allah Swt membinasakan kaum ‘Aad dan Tsamud.
Dan di riwayatkan
oleh Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dan al-Khathib al-Baghdadi.melalui
jalur sanad dari Ibn Abbas
berkata:Rasulullah Saw bersabda :
آخر أربعاء في الشهر
يوم نحس مستمر
Rabu
terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya nahas (sial) terus menerus.
Tidak ketinggalan pula Imam Zakariya Al-Qozwiny[8]
mengatakan: Hari rabu merupakan hari yang memiliki sedikit kebajikan, dan hari
rabu pada akhir bulan merupakan hari sial yang terus menerus.
Berkaitan
dengan hadis “hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari nahas/sial terus
menerus” seperti yang disebutkan di atas, bahwa ternyata hadis tersebut adalah dla’if
dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum syara’ sebagaimana yang diungkap oleh al-Minawi dalam
kitabnya[9] :
وروى الطبراني بسند ضعيف يوم الأربعاء يوم نحس مستمر
Al-Thabrani
meriwayatkan hadis dha’if (rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya
sial terus). menurut Salim
Al-Baihany[10] hadis tersebut
adalah maudhu’ (palsu). Ulama berpendapat bahwa beberapa orang perawi hadis
ini adalah pendusta dan tidak bisa dipakai riwayatnya. Di antara mereka itu
ialah Maslamah bin Al-Shilat, Al-Abrazi, Ibrahim bin Abu Hibbah dan Isa bin
Abdullah.
Dalam kaitan ini al-Maraghiy, memberikan komentarnya dalam
tafsirnya [11]
وما روي من
شؤم بعض الأيّام فلا يصحّ شيء منه
Artinya :
“Adapun apa yang diriwayatkan (diceritakan) sebagian orang tentang adanya
sebagian hari (seperti rabu pungkasan ) yang membawa kesialan/bencana, maka
cerita itu tidak benar sama sekali”.
Kedua, indikasi
tidak benarnya kesialan atau bencana yang turun pada rabu akhir di bulan Shafar
tersebut di buktikan dengan beberapa riwayat hadis shahih di antaranya adalah :
Riwayat Bukhari dari Abu Harairah :
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا عدوى ولا
طيَرة، ولا هامة ولا صفر، وفِرَّ من المجذوم كما تفرُّ من الأسد).
Abu Hurairah Berkata: Rasulullah
Saw bersabda : Tidak ada penularan (dalam suatu penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula keyakinan
pertanda buruk, tidak ada (kepercayaan
akan sialnya) burung hantu dan juga tidak
ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.(HR.
Bukhari).[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا
هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ
فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ
فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ
أَعْدَى الْأَوَّلَ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ بَعْدُ يَقُولُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ
عَلَى مُصِحٍّ وَأَنْكَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ حَدِيثَ الْأَوَّلِ قُلْنَا أَلَمْ
تُحَدِّثْ أَنَّهُ لَا عَدْوَى فَرَطَنَ بِالْحَبَشِيَّةِ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ
فَمَا رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَه
Dari Abu Hurairah ra dia berkata: Nabi Saw bersabda:
"Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada shafar
(kesialan bulan shafar dan tidak pula hammah (keyakinan sialnya burung
hantu)." Lalu seorang Arab badui berkata: "Wahai Rasulullah, lalu bagsimana
dengan unta yang ada di padang pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan
kijang lalu datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga
ia menularinya?" Maka Nabi Saw bersabda: "Lalu siapakah yang menulari
yang pertama?" Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan: Nabi Saw bersabda: "Janganlah (unta) yang
sakit dicampur baurkan dengan yang sehat.". Sepertinya Abu Hurairah mengingkari
hadits yang pertama, maka kami bertanya; "Tidakkah anda pernah
menceritakan bahwa tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan
penyakit)." Lalu dia bicara dengan bahasa Habasyah, maka aku tidak pernah
melihatnya lupa terhadap hadis selain hadis di atas”[13].
Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah
عن أبي هريرة قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه
وسلم: " لاعدوى، ولاطيرة، ولا صفر، ولا هامة
Abu Hurairah berkata : Rasulullah Saw
bersabda : Tidak ada penularan (dalam suatu penyakit dengan sendirinya
tanpa kehendak Allah), tidak pula pertanda buruk, tidak ada kesialan pada bulan Shafar dan juga tidak
ada (kepercayaan akan sialnya) burung hantu.(HR. Abu Dawud).[14]
Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah
menegaskan bahwa :
الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ
شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا
حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ
سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ
كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ
السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ
الْمَنْهِيِّ عَنْهَا
Pengertian dari hadis tersebut adalah masyarakat jahiliyah
meyakini akan datangnya sial pada bulan Shafar. Mereka berkata, bahwa Shafar
adalah bulan sial. Maka Nabi Muhammad Saw membatalkan hal tersebut. Pendapat
ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang
yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling
benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan
terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan
bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk)
yang dilarang.[15]
Dalam
hadis tersebut, Rasulullah Saw menolak anggapan adanya penyakit yang menular
(tanpa kehendaknya) dan thiyarah seperti yang di yakini oleh masyarakat
Jahiliah. Beliau secara tegas mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada pengaruhnya
sama sekali bagi kehidupan seseorang dan
thiyarah itu hanyalah anggapan dan keyakinan yang keliru.
Demikian juga dengan anggapan akan terjadi pertanda buruk dengan munculnya
burung hantu. Terkait dengan keyakinan kesialan atau kepercayaan terjadinya
bencana pada bulan Shafar. Sabda Nabi Saw: (وَلاَ
صَفَرَ) sekaligus menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang
menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar
adalah bulan bencana. Rasulullah Saw pun menghilangkan kebenaran anggapan
tersebut dan membatalkannya, dengan menyatakan :
لا عدوى ولا
طيرة ولا هامة ولا صفر
Tidak
ada penularan (dalam suatu penyakit dengan
sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula keyakinan pertanda buruk, tidak ada (kepercayaan akan
sialnya) burung hantu dan juga tidak ada
kesialan pada bulan Shafar.
Dengan demikian ,kita umat Islam
seharusnya senantiasa bersikap al-fa’lu
(berprasangka baik) terhadap terjadinya sesuatu. Hal ini telah di tegaskan
oleh Rasulullah Saw:
لَا عَدْوَى
وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ
طَيِّبَةٌ
Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit)
dan tidak pula thiyarah (menganggap sial pada sesuatu) dan yang
menakjubkanku adalah al fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al
fa'lu itu?" beliau menjawab: "Kalimat yang baik."[16]
Oleh
sebab itu tidak ada alasan lagi untuk menyatakan bahwa rabu akhir pada bulan
Shafar adalah hari yang buruk. Secara umum, rabu adalah hari yang baik untuk
mengawali sesuatu terus menerus, menurut Ibn Hajar al-Asqalani bahwa anggapan
hari rabu yang menjadi keluhan dan kesialan oleh kebanyakan manusia yang
pesimis, pada dasarnya dinafikan oleh Allah Swt, bahkan sesuatu pekerjaan yang
dimulai hari rabu maka keempurnaanlah yang akan ia dapatkan, termasuk ketika
memulai proses ta’lim (belajar mengajar).[17]
Ketiga,
dalam perspektif sufi, indikasi kesialan terjadi pada rabu terakhir di bulan
Shafar (rabu pungkasan).
Di awal pembahasan penulis sudah
mengemukakan bahwa Sebagian ahli ma'rifat
yang memiliki kemampuan tinggi dalam
ber-mukasyafah, menyatakan bahwa pada setiap tahun, Allah Swt menurunkan
320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu terjadi pada hari Rabu
terakhir di bulan Shafar, sehingga hari itu menjadi hari yang tersulit dalam
satu tahun.
Berbicara
tentang mukasyafah, tentu harus mengetahui pengertian mukasyafah itu
sendiri. Kasyf secara kebahasaan berarti membuka atau menyingkap ta’bir.
Sementara makna kasyf menurut istilah adalah pancaran Tuhan, yaitu
pengetahuan yang diberikan Allah kepada seseorang sehingga orang itu mengetahui
sesuatu tanpa proses pembelajaran dan penelitian. Para ahli hadis sejak masa
Nabi sampai masa kini, tidak pernah ada yang menggunakan metode kasyf
untuk membuktikan otentitas (keshahihan) hadis. Apabila metode kasyf ini
dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya memilih metode ini, dan
pada gilirannya hadis-hadis palsu dapat berubah menjadi hadis sahih.[18]
Terlepas
dari itu semua, tentu menarik untuk di perbincangkan akan adanya bencana yang
di turunkan Allah pada rabu terakhir di bulan Shafar. Informasi ini di
munculkan oleh ulama tashawuf yang memiliki spiritual tingkat tinggi dengan
metode kasyf.atau mukasyafah. Namun hasil dari metode ini tidak
bisa dijadikan sebagai landasan dalam hukum syara’(hujjah syara’).
Menurut hemat penulis apa yang dikhabarkan oleh mereka selayaknya menjadi
anjuran atau peringatan bagi setiap orang Islam untuk selalu mendekatkan diri kepada
Allah Swt.
Klaim
adanya 320.000 macam bala bencana yang diturunkan oleh Allah pada hari rabu
pungkasan di jelaskan dalam beberapa kitab-kitab sufi, di antaranya terdapat
dalam kitab Mujarrobat karya Syaikh Ad Dairabi , Syaikh Al Buni dalam kitabnya
Al Firdaus, Syaikh Al Kamil Farid al-Din dalam Kitabnya Jawahirul Khamsi, Syaikh
Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds mufti sekaligus Imam Masjidil Haram Mekkah
dalam kitabnya Kanzun Najah, dan juga Syaikh Muhammad bin Ismail
al-Fathani dalam kitab Bahjatu al Mardiyyaħ fi Fawaidi al
Ukhrawiyyah.
Untuk menghindari bala bencana pada
rabu pungkasan, ada usaha beberapa
amalan yang dapat dilaksanakan sebagai penangkal bala’, di antaranya
seperti yang dikemukakan Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds.[19], dan Imam
Nawawi al-Bantani.[20]
-
Shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at,
dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat
al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatain 1 kali, kemudian berdoa setelah salam.
Doanya adalah :
بسم الله الرحمن الرحيم اَللَّهُمَّ ياَشَدِيْدَ
اْلقَوِيِّ وَياَشَدِيْدَ اْلمِحَالِ ياَعَزِيْزُ ياَمَنْ ذَلَّتْ
لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ
ياَمُحْسِنُ ياَ مُجْمِلُ ياَمُتَفَضِّلُ ياَمُنْعِمُ ياَمُتَكَرِّمُ ياَمَنْ
َلاإِلهَ إِلاَّأَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ ياَأَرْحَمَ اَّلراحِمِيْنَ.
أَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ
وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَجَدِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِي شَرَّ
هَذَااْليَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ ياَكَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ ياَدَافِعَ اْلبَلِيَّاتِ
فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا وَنِعْمَ
اْلوَكِيْلُ ولاحول ولاقوة إلابالله العلي العظيم وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى
آله وصحبه وسلم
- Menulis ayat-ayat
berikut dan membasuhnya dengan air dan meminumnya
سَلامٌ
قَوْلاً مِن رَّبٍ رَّحِيْمٍ
سَلامٌ عَلَى
نُوْحٍ فِي العِالَمِيْنَ
سَلامٌ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ
سَلامٌ عَلَى
مُوْسَى وَ هَارُوْنَ
سَلامٌ عَلَى
إِلْ يَاسِيْنَ
سَلامٌ
عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَالِدِيْنَ
مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الفَجْرِ
Terkait
dengan pelaksanaan shalat rabu pungkasan, pernyataan berbeda di kemukakan Syeikh
Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad ,ia
mengatakan bahwa, sholat Shafar termasuk Bid’ah madzmumah (tercela).
Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat pada hari itu (bulan Shafar),
hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak (shalat yang tidak dibatasi
oleh waktu, sebab dan bilangan).[21]
Jadi bagi
mereka yang ingin melaksanakan anjuran sebagian ahli marifat, untuk melaksanakan
shalat rabu di akhir Shafar (rabu pungkasan) hemdaknya hanya sebatas sholat
hajat lidaf’il bala’ al-makhluf (untuk menolak balak yang
dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana tuntunan
syara’.
Tulisan ini
tidak ada kesimpulan.........
Silahkan
disimpulkan sendiri !!
DAFTAR PUSTAKA
Ajaib Makhluqat,
Faidul Qadir
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya
Mujarrobat al-Dairabi al-Kabir
Hadis-Hadis Bermasalah
Ishlahul Mujtama’
Kanzun
Najah
Lathaif al-Ma’arif
Minhaj al-Surur
Nihayatuzzain
Syarah Thariqah
Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah
Shahih Bukhari
Sunan Abu Dawud
Tafsir al-Jami’
li ahkami al-Qur’an
Tafsir Jami al-Bayan fi Ta’will al-Qur’an
Tafsir Ma’alim
al-Tanzil
Tafsir al-Maraghi
[1]
Ahmad al-Dairabi, Mujarrobat al-Dairobi al-Kabir, hlm.74, lihat pula Abdul
Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds, Kanzun Najah,hlm.23,
[2] Syarah Thariqah Muhammadiyah
wa Syari’ah Nabawiyah,juz 3,hlm.469
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004)
[7]
Al-Thabari, loc.cit
[9]Muhammad Abdurrauf al-Minawi, Faidul
Qadir,juz 1,hlm.64.
[11] Al-Maraghi, juz 9,hlm.78,
[12]
Abu
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah), hadis no:5380.
Bab al-Judzam.
[14]
Abu Dawud al-Sijitsani, Sunan
Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:3911.
[15] Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif
al-Ma’arif,hlm.14
[18] Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis
Bermasalah, (Jakarta: Pustaka firdaus,2012),hlm.79.
فمن صلى
في ذلك اليوم أربع ركعات يقرأ في كل ركعة منها بعد الفاتحة سورة ﴿ إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الكَوْثَر ﴾ سبع عشرة مرة و الإخلاص خمس مرات و المعوذتين مرةً مرة
ويدعو بعد السلام بهذا الدعاء حفظه الله تعالى بكرمه من جميع البلايا التي تنزل في
ذلك اليوم ولم تحم حوله بلية من تلك البلايا إلى تمام السنة
Barangsiapa
yang menunaikan shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at
membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali
dan mu’awwidzatain 1 kali, kemudian berdoa setelah salam dengan (doa ini), maka
Allah akan menjaganya dengan kemuliaannya dari semua malapetaka yang turun pada
hari tersebut, dan tidak akan mendapatkan bala bencana sampai setahun.Doanya
adalah :
و كتب بعد ذلك هذه الآيات و غَسَلها بالماء و شرب منه أَمِن مما ينزل من
البلاء في ذلك النهار إلى تمام العام . و الآيات هي هذه : ﴿ سَلامٌ قَوْلاً مِن
رَّبٍ رَّحِيْمٍ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى نُوْحٍ فِي العِالَمِيْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى
إِبْرَاهِيْمَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى مُوْسَى وَ هَارُوْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى إِلْ
يَاسِيْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَالِدِيْنَ ﴾ ﴿ مِّن
كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الفَجْرِ ﴾ . قلتُ : و هذه الرواية هي التي كان يفعلها
شيخنا رضي الله تعالى عنه و هي أحسن لعموم النفع بها للصبيان و النسوان و العبيد و
نحو ذلك ممن لا يقدر على فعل شئ مما تقدم
Kemudian menulis ayat-ayat berikut dan membasuhnya
dengan air dan meminumnya, maka ia akan aman dari bala` yang turun pada siang
hari itu sampai sempurnanya satu tahun.Adapun ayat yang ditulis adalah (ihat
atas). Aku (Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds) berkata: Riwayat inilah yang
dilakukan oleh Syaikhinaa radliyallaahu Ta’alaa ‘anhu. Dan riwayat ini lebih
bagus, karena bisa dimanfaatkan secara umum untuk anak-anak, wanita, hamba dan
sebagainya, yaitu bagi siapa saja yang tidak bisa melakukan apa-apa yang
diterangkan pada riwayat-riwayat yang terdahulu.
[20] Al-Nawawi al-Bantani, Nihayatuzzain,hlm.64.
[21] Minhaj al-Surur,hlm.17-18.