KONTROVERSI
HUKUM KURBAN
Berbicara
mengenai hukum berkurban, maka tidak akan terlepas dari khilaf (perbedaan
pendapat) di kalangan Imam Madzhab. Menurut Malik bin Anas (w.179 H) dan
al-Syafi’i (w.204 H) bahwa hukum kurban merupakan sunnah mu’akkad, namun
Malik bin Anas memberi keringanan (tidak sunnah untuk berkurban) bagi orang
yang sedang menunaikan haji sewaktu di kota Mina, sementara al-Syafi’i sendiri
tidak membedakan apakah ia berhaji atau tidak, atau dalam kondisi mukim ataupun
ketika bepergian.[1]
Hukum
kurban adalah sunnah mu’akkad merupakan pendapat dari mayoritas ulama,
di antaranya adalah seperti yang di jelaskan oleh Abu Bakar (w.11 H), Umar bin
Khattab (w.23 H), Bilal, Abu Mas’ud
al-Badri, Sa’id bin Musayyab, Atha’ Alqamah, al-Aswad, Malik bin Anas (w.179
H), Ahmad bin Hanbal (w.241), Abu Yusuf, Ishaq bin Rahwabah (w.238), Abu Tsauri
(w.161 H), al-Muzani, Daud bin Ali (w.270), Ibn al-Mundzir.
Sementara
itu menurut Rabi’ah, al-Laits bin Sa’id
(w.175 H) dan al-Auza’i (w.157 H) menyatakan
bahwa hukum melaksanakan penyembelihan
kurban adalah wajib bagi yang memiliki kemampuan, kecuali bagi mereka yang
berhaji sewaktu di Mina. Sedangkan Muhammad bin Hasan menyatakan wajib bagi
seorang bermukim di suatu daerah tertentu.
Abu
Hanifah (w.150 H) tokoh pendiri madzhab
Hanafi, berpendapat wajib hukumnya bagi orang yang mampu dan yang sudah
bertempat tinggal (muqim) untuk melaksanakan kurban kecuali bagi orang
yang dalam kondisi bepergian. Namun qaul yang masyhur menyatakan
bahwa Abu Hanifah mewajibkan kurban bagi mereka yang mampu dan memiliki satu
nishab.[2] Ternyata , hukum wajib berkurban sebagaimana pendapat Abu Hanifah itu
di sangkal oleh kedua murid kesayangan beliau yakni, Abu Yusuf dan Muhammad.
Mereka berdua tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang merupakan (gurunya).[3] Abu Yusuf berpendapat bahwa kurban hukumnya
sunnah, at-Thahawi (w.231 H) juga menuturkan hukum sunnah dengan mengutip
pendapat (qaul) Abu Yusuf dan Muhammad.[4]
Arah
pengambilan dalil atau wajhul istidlal dengan beberapa hadis inilah yang
kemudian di tengarai munculnya perbedaan pandangan, hal ini dapat di buktikan dengan beberapa indikator yang menjadi argumen atas perbedaan tersebut. Berikut ini penulis tampilkan dalam kajian
ini :
Pertama,
ulama yang menganggapnya wajib berhujjah
dengan kebiasaan yang senantiasa dilakukan Nabi Muhammad Saw, bahwa beliau
selalu menyembelih hewan kurban, hal ini kemudian diinterpretasikan sebagai
sesuatu yang wajib dan merupakan ibadah yang tidak pernah ditinggalkan . Oleh
sebab itu dalam diri Nabi Muhammad Saw terdapat suri tauladan yang seharusnya
wajib di ikuti oleh setiap muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah swt :
لقد
كان لكم في رسول الله أسوة حسنة
Selanjutnya
Nabi Muhammad Saw, tidak pernah sama sekali meninggalkan ibadah kurban setiap
masuk Idul Adhha, terbukti, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa, sampai
dalam kondisi bepergian pun Nabi Saw, senantiasa berkurban.
Diriwayatkan
oleh Muslim dari Tsauban, ia berkata :
ذبح رسول الله صلى الله عليه وسلم أضحيته ثم قال: "يا ثوبان أصلح لحم هذه
الضحية" قال: فلم أزل أطعمه منها حتى قدم المدينة
Rasulullah saw,
menyembelih kurbannya,kemudian beliau berkata :”Wahai Tsauban perbaikilah
daging kurban ini !” Tsauban berkata : “saya tidak berhenti untuk memakannya
sampai tiba di kota Madinah”.[6]
Kedua, hadis dari
Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن وقوف معه
بعرفات يا أيها الناس إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة أتدرون ما العتيرة
هذه التي يقول الناس الرجيبة.
Kami sedang wukuf di
Arafah bersama Rasulullah saw, Beliau bersabda :Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya bagi setiap ahlu bait (keluarga) dalam setiap tahun wajib
berkurban dan harus menyembelih (‘atirah). Tahukah kalian semua apa itu ‘atirah
? yaitu penyembelihan binatang yang oleh orang-orang disebut Rajabiyah.
Hadis dari Mikhnaf itu
menyebutkan tentang ‘atirah
(penyembelihan untuk bulan Rajab) . Sementara itu, bagi ulama yang mewajibkan
kurban berdalil bahwa ‘atirah telah di hapus, namun dihapusnya ‘athirah
tidak memastikan dihapusnya udhhiyyah (berkurban). Terbukti, hadis dari
Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
لا فرع ولا عتيرة
Tidak ada penyembelihan
untuk mencari barakah dan tidak ada penyembelihan untuk bulan Rajab.(HR.Tirmidzi).
Hadis mikhnaf bin Sulaim
adalah marfu’ , maka atas setiap keluarga berkewajiban untuk berkurban
pada setiap tahun (Idul Adhha). Hal ini menjadikan kurban tersebut hukumnya
wajib seperti pendapat yang di nyatakan oleh Imam Abu Hanifah.
Sementara itu, hadis
Mikhnaf juga di riwayatkan oleh Abu Daud, Al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan lainnya.
Disisi lain, al-Tirmidzi berkomentar bahwa hadis tersebut derajatnya hasan,
sedangkan menurut catatan al-Khathabi, hadis tersebut dha’if, dengan
alasan perawi yang bernama Abu Ramlah majhul.[7]
Ketiga, hadis
riwayat Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdullah bin Sufyan al-Jabili ra, ia
berkata : Saya menyaksikan Rasulullah Saw, melakukan shalat di
hari Idul Adhha, kemudian beliau berkhutbah dan bersabda :
من كان ذبح قبل أن يصلي، فليعد مكانها. ومن لم يكن ذبح،
فليذبح باسم الله
Barangsiapa yang
menyembelih (kurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi sebagai
gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih (kurban) maka berkurbanlah
dengan menyebut asma Allah.
Menurut
mereka yang berpendapat wajib, maka hadis tersebut menjadi dasar atas wajibnya
berkurban, apalagi disertai dengan kata فليعد مكانها yakni perintah untuk mengulangi berkurban
jika dilakukan sebelum shalat (Idul Adhha).
Hal
ini jelas berbeda dengan ulama yang berpendapat sunnah, mereka beralasan bahwa,
kurban yang pertama tidak sah, maka konsekwensinya perintah
mengulangi, dan menjadi
isyarat bahwa melaksanakan kurban
sebelum shalat tidak dianggap kurban yang benar.[8] (baca, waktu berkurban).
Keempat,
hadis dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا
Barangsiapa mempunyai
kemampuan, namun ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia sekali-kali mendekat
ke mushalla kami.
Hadis tersebut di
riwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah. Hakim menyebut hadisnya shahih.
Sementara al-Baihaqi, Abu Dawud, al-Nasa’i berpendapat dha’if. Ibnu
Yunus berkomentar hadis tersebut meupakan munkar al-hadis (hadis yang munkar),
sedangkan al-Tirmidzi menyatakan hadis tersebut tidak dinisbatkan pada Nabi
Muhammad Saw, melainkan mauquf pada Abi Hurairah. Sebagian periwayat
yang lain menyatakan tidak di temukan hujjah untuk menyatakan bahwa
hadis tersebut adalah mauquf.
Riwayat hadis tersebut sebenarnya
tidak ada ketegasan bahwa hukum kurban adalah wajib, jadi sifatnya adalah
anjuran , akan tetapi walaupun anjuran namun harus tetap di perhatikan bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk berkurban.
Bagi ulama yang kokoh
memegang pendiriannya dengan menetapkan hukum wajib berkurban, tentu
persepsinya lain, hal ini perlu kita fahami. Mereka berargumen bahwa arah
pengambilan dalil hadis tersebut adalah ketika Rasulullah saw, melarang orang
yang mampu berkurban untuk mendekat ke mushallanya jika ia tidak mau berkurban,
hal ini dapat di tarik kesimpulan bahwa ia meninggalkan suatu kewajiban, maka
seolah-olah sama sekali tidak ada faidahnya bagi seorang muslim yang
mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan mengerjakan shalat, namun tidak
melaksanakan kurban.Secara keseluruhan, bahwa mayoritas ulama dari sahabat,
tabi’in dan fuqaha menyatakan hukum sunnah. Sedangkan golongan yang
mewajibkannya tidak memiliki dalil atau dasar yang shahih dan sharih
(jelas).[9]
Kelima, al-Syafi’i dan ashhabuna
(murid-murid al-Syafi’i) menetapkan
hukum sunnah adalah berpijak pada sebuah hadis riwayat Umu Salamah, bahwa Nabi
Muhammad telah bersabda :
إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن
شعره وأظفاره
jika kalian telah melihat hilal bulan Dzul Hijjah, dan hendaknya salah
seorang dari kalian berkurban maka lakukanlah manasik dengan memotong rambut
dan kukunya.(HR.Muslim).
Dalam pandangan al-Syafi’i, hadis di
atas, memberikan pemahaman bahwa “ketika bulan Dzul Hijjah sudah terlihat” ,
Menurutnya, sekira kurban itu adalah wajib tentu tidak di diserahkan kepada
keinginan (ta’liq bi iradah). Maka seharusnya Nabi Muhammad Saw
akan mengatakan :
فلا
يمس من شعره حتى يضحي
Maka janganlah lakukan manasik
dengan memotong rambut sampai ia berkurban.
Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat
wajib hukumnya bagi orang
yang mampu dan yang muqim
(bertempat tinggal) untuk melaksanakan kurban kecuali bagi orang
yang dalam kondisi musafir (orang yang bepergian).
Sedangkan menurut al-Syafi’i, jika
menjadi wajib bagi orang muqim (bertempat tinggal), tentu wajib pula
bagi orang yang dalam kondisi bepergian, seperti halnya dengan kewajiban
menunaikan zakat dan zakat fitrah, karena keduanya tidak ada perbedaan yakni sama-sama
ibadah maliyah (ibadah dalam bentuk harta benda).
Mengenai musafir, Abu Hanifah
memberikan penegasannya bahwa, berkurban tidaklah wajib bagi musafir
,karena hukum dengan status ada-an akan terhenti jika muncul faktor yang
memberatkan bagi musafir, dan karena juga di batasi oleh usainya waktu.
Oleh sebab itu pula, maka berkurban tidaklah wajib bagi musafir seperti
halnya tidak di wajibkannya melakukan shalat jum’at ketika dalam kondisi
perjalanan.
Di
sisi lain, para ulama Syafi’iyyah berpendapat jika berkurban adalah wajib dan
kemudian menjadi tidak wajib bagi musafir seperti shalat jum’at, maka
tentunya kewajiban itu tidak dapat menggugurkannya sebagai gantinya. Namun bagi
mereka yang mewajibkan kurban, memiliki argumen yang berbeda. Menurutnya , jika
kewajiban kurban sudah gugur maka tidak perlu lagi untuk mengqadha’inya.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram,
Semarang: Maktabah Toha Putra,[tth].
Al-Hanafi, Ibnu
Nujaim, al-Bahr ar-Raiq Syarh Kanzu al-Daqaiq, Beirut: Dar al-Ihya
al-Tsuras al-Arabi,2002.
Al-Nawawi, Yahya
bin Syaraf al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab , Beirut: Dar
al-Fikr,1997.
Al-Naisapuri,
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim,
[Maktabah Syamilah].
Al-Shan’ani, Subul
as-Salam, Mesir :Maktabah Mushtafa
al-Babi al-Halabi, 1960.
Al-Tirmidzi, Abu
‘Isa Muhammad Sunan al-Tirmidzi, [Maktabah Syamilah].
Ibn Majah, Abu
Abdillah bin Yazid Sunan Ibn Majah,
Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li
al-Nasyr wa al-Tauzi’ 1997.
RI,
Departemen Agama ,Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar,2004.
Rusydi, Ibnu, Bidayah
al-Mujtahid ,Mesir: Maktabah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1975.
[1] Ibnu Rusydi, Bidayah
al-Mujtahid (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1975),juz
1,hlm.429.
[2]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab ,(Beirut: Dar al-Fikr,1997),juz viii,hlm..277.
[3] Ibnu Rusydi, loc.cit.
[4] Ibnu Nujaim al-Hanafi ,al-Bahr
ar-Raiq Syarh Kanzu al-Daqaiq (Beirut: Dar al-Ihya al-Tsuras
al-Arabi,2002),juz viii,hlm.345.
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004),hlm.591.
[6] Ibnu Rusydi,loc.cit. lihat
pula, Shahih Muslim, hadis no :1975.
1975) حدثني زهير بن حرب. حدثنا معن بن عيسى. حدثنا معاوية بن صالح
عن أبي الزاهرية، عن جبير بن نفير، عن ثوبان. قال: ذبح رسول الله صلى الله عليه
وسلم ضحيته ثم قال (يا ثوبان! أصلح لحم هذه) فلم أزل أطعمه منها حتى قدم المدينة.
[7] Al-Nawawi, op.cit.,juz
viii,hlm.278.
lihat pula,Sunan al-Tirmidzi, hadis no :1518
dan no: 1512.
[
1518 ] حدثنا أحمد بن منيع حدثنا روح بن عبادة حدثنا بن عون حدثنا أبو رملة عن
محنف بن سليم قال كنا وقوفا مع النبي صلى الله عليه وسلم بعرفات فسمعته يقول يا
أيها الناس على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة هل تدرون ما العتيرة هي التي
تسمونها الرجبية قال أبو عيسى هذا حديث حسن غريب ولا نعرف هذا الحديث إلا من هذا
الوجه من حديث بن عون
[
1512 ] حدثنا محمود بن غيلان حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن بن المسيب
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا فرع ولا عتيرة
Sunan Ibn Majah, hadis no:3125.
3125-
حدّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ. حدّثنا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ عَنِ ابْنِ
عَوْنٍ. قَالَ: أَنْبَأَنَا أَبُو رَمْلَةَ عَنْ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ، قَالَ:
كُنَّا وُقُوفاً عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَفَةَ فَقَالَ ((يَا
أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كمُلِّ عَامٍ،
أُضَّحِيَّةٍ وَعَتِيرَةً)). أَتَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ؟ هِيَ الَّتِي
يُسَمِّيهَا النَّاسُ الرَّجَبِيَّةَ.
[8] Al-Nawawi, loc.cit. lihat pula, Al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Mesir :Maktabah Mushtafa al-Babi
al-Halabi, 1960.juz iv,hlm.91.
Shahih Muslim, hadis no: 1960.
1960) حدثنا عبيدالله بن معاذ. حدثنا أبي. حدثنا
شعبة عن الأسود، سمع جندبا البجلي قال: شهدت رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى يوم
أضحى. ثم خطب، فقال (من كان ذبح قبل أن يصلي، فليعد مكانها. ومن لم يكن ذبح،
فليذبح باسم الله).
[9]
Lihat,Sunan Ibnu Majah,hadis no::3123
3123-
حدّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ. حدّثنا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ. حدّثنا
عَبْدُ اللهِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ
سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصلانَا.
في
الزوائد: في إسناده عَبْدُ الله بْنُ عياش وهو، وإن روى له مسلم، فإنما أخرج له في
المتابعات والشواهد. وقد ضعّفه أبو داود والنسائيّ. وقال أبو حاتم: صدوق. وقال
ابْنِ يونس: منكر الحديث. وذكره ابْنِ حبان في الثقات.
Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh
alMaram, (Semarang: Maktabah Toha Putra,tth).hlm.281.
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
- - "مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ
مُصَلَّانَا" - رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ,
لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه
Al-Nawawi,loc.cit,
lihat pula, al-Shan’ani, loc.cit.
[10] Al-Nawawi,op.cit,juz viii,hlm.278-279.
Lihat pula, Ibnu Nujaim al-Hanafi ,loc.cit. Ibnu Rusydi, loc.cit.
Lihat pula, Shahih Muslim,
hadis no:1977, hadis dengan memakai
lafadz yang berbeda namun maknanya hampir senada.
(1977) حدثنا ابن أبي عمر المكي. حدثنا سفيان بن عبدالرحمن ابن حميد
بن عبدالرحمن ابن عوف. سمع سعيد بن المسيب يحدث عن أم سلمة؛
أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا دخلت العشر، وأراد أحدكم أن يضحي، فلا يمس من
شعره وبشره شيئا.
قيل لسفيان: فإن بعضهم لا يرفعه. قال: لكني
أرفعه.
(1977) وحدثناه إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا سفيان.
حدثني عبدالرحمن بن حميد بن عبدالرحمن بن عوف عن سعيد بن المسيب، عن أم سلمة
ترفعه.
قال: إذا دخل العشر، وعنده أضحية، يريد أن
يضحي، فلا يأخذن شعرا ولا يقلمن ظفرا.
(1977) وحدثني حجاج بن الشاعر. حدثني يحيى
بن كثير العنبري، أبو غسان. حدثنا شعبة عن مالك بن أنس، عن عمر بن مسلم، عن سعيد
بن المسيب، عن أم سلمة؛
أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي،
فليمسك عن شعره وأظفاره.
(1977) - وحدثنا أحمد بن عبدالله بن الحكم
الهاشمي. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة عن مالك ابن أنس، عن عمر أو عمرو بن
مسلم، بهذا الإسناد، نحوه.
(1977) وحدثني عبيدالله بن معاذ العنبري.
حدثنا أبي. حدثنا محمد بن عمرو الليثي عن عمر ابن مسلم بن عمار بن أكيمة الليثي،
قال: سمعت سعيد بن المسيب يقول: سمعت أم سلمة، زوج النبي صلى الله عليه وسلم تقول:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كان له
ذبح يذبحه، فإذا أهل هلال ذي الحجة، فلا يأخذن من شعره ولا من أظفاره شيئا، حتى يضحي.
(1977) - حدثني الحسن بن علي الحلواني.
حدثنا أبو أسامة. حدثني محمد بن عمرو. حدثنا عمرو بن مسلم بن عمار الليثي. قال:
كنا في الحمام قبيل الأضحى. فاطلى فيه ناس. فقال
بعض أهل الحمام: إن سعيد بن المسيب يكره هذا، أو ينهى عنه. فلقيت سعيد بن المسيب
فذكرت ذلك له. فقال: يا ابن أخي! هذا حديث قد نسي وترك. حدثتني أم سلمة، زوج النبي
صلى الله عليه وسلم، قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. بمعنى حديث معاذ عن
محمد بن عمرو.
2 م - (1977) وحدثني حرملة بن يحيى وأحمد
بن عبدالرحمن بن أخي ابن وهب قالا: حدثنا عبدالله بن وهب. أخبرني حيوة. أخبرني
خالد بن يزيد عن سعيد بن أبي هلال، عن عمر بن مسلم الجندعي؛ أن ابن المسيب أخبره؛
أن أم سلمة، زوج النبي صلى الله عليه وسلم أخبرته. وذكر النبي صلى الله عليه وسلم.
بمعنى حديثهم.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan