Muḥarram dalam Pandangan Ulama
Oleh: Kang Bahar
As-suyūṭi (w. 911
H) dalam kitab Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, mengutip pernyataan Abu Bakar Ahmad bin
Zahir an-Nasā’i (279 H)
dalam Tārīkh-nya menyatakan bahwa, ketika Nabi Adam as
dikeluarkan dari Sorga dan memiliki banyak keturunan di bumi, maka sistem
kalender pada masa itu disebut dengan tahun hubūṭi ādam (dikeluarkannya Adam as dari sorga).
Penamaan tahun tersebut berlangsung sampai diutusnya Nabi Nuh as. Sejak Nabi Nuh as diutus oleh Allah sampai
peristiwa banjir bandang (tenggelam) yang membuat binasa orang-orang dimuka
bumi, maka masa tersebut disebut dengan tahun ba‘ṡi nuh (diutusnya Nabi
Nuh as). Setekah peristiwa tersebut bumi terbelah menjadi tiga bagian. Sejak
masa itu sampai datangnya peristiwa nār Ibrahim
(Nabi Ibrahim dimasukkan ke dalam Api), maka tahun tersebut dinamai tahun Ṭuffān.
Maka setelah
Nabi Ibrahim as memiliki banyak keturunan, penamaan tahun disesuaikan dengan Masa
Nabi diutus. Bani Ishaq menamai tahun dimasukannya api Nabi Ibrahim as sampai
diutusnya Nabi Yusuf as, dari diutusnya Nabi Yusuf as sampai diutusnya Nabi Musa as, dari
diutusnya Nabi Musa as sampai diutusnya Nabi Sulaiman as, dari Nabi Sulaiman as
sampai diutusnya Nabi Isa as, dari masa diutusnya Nabi Isa as sampai diutusnya Nabi Muhammad Saw.
Sementara
itu, Bani Isma’il menamainya tahun nār Ibrahim
(dari dimasukannya Nabi Ibrahim ke dalam api) sampai pada masa dibangunnya Baitullah oleh
Nabi Ibrahim dan Isma’il. Kemudian anak keturunan Bani Isma’il menyebut tahun khuruj
(keluarnya kaum) semenjak masa dibangunnya Baitullah sampai keluarnya kaum dari
Makkah, Sebagian Bani Isma’il yang lain menaminya dengan tahun khuruj
qabilah Sa’id (keluarnya qabilah Sa’id) sampai wafatnya Ka’ab bin Lu’ay
(kakek Nabi Saw yang ke tujuh). Semenjak wafatnya Ka’ab bin Luay sampai pada
peristiwa tentara bergajah yang bermaksud menghancurkan Baitullah, maka tahun
tersebut dinamai tahun gajah (fīl). Penyebutan
tahun gajah (fīl)
berlangsung sampai pada masa Khalīfah Umar bin Khaṭṭab ra.
Penggunaan kalender
Islam (hijriyah), dimulai sejak hijrahnya Rasulullah Saw yang ditetapkan oleh
Khalifah Umar bin Khaṭṭab ra. Masyarakat
Arab (quraisy) sebelum datangnya Islam telah menggunakan bulan-bulan yang
terdapat pada bulan ((hijriyah), namun mereka tidak menetapkan tahun ke berapa,
hanya menetapkan tahun apa, misalnya tahun fīl. Sebagian
lagi menamainya dengan tahun nama bapaknya, misalnya kulāb awāl dan kulāb ṡāni. Sedangkan orang-orang Nasrani menamainya
dengan tahun al-iskandar żi al-qarnain (mungkin yang dimaksud: Yunani,
bukan żu al-Qarnain yang disebut al-Qur’an sebagai Nabi).[1]
Salah satu
riwayat menyebutkan bahwa, penetapan hijriah sebagai kalender Islam, bermula
dari Abu Musa Al-Asy’ari (gubernur di masa Khalīfah Umar). menulis surat kepada Khalīfah Umar bin
Khaṭṭab, yang isinya menanyakan beberapa surat balasan sebelumnya dari Khalīfah yang hanya
tertera tanggal dan bulan saja, tanpa mencantumkan tahun penulisan,
Kritik Abu
Musa al-Asy’ari ditanggapi serius oleh Khalīfah Umar, lalu ia mengumpulkan beberapa
sahabat pada waktu itu. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Sebagian
sahabat mengusulkan maulid Rasulullah Saw. Ada juga yang menyarankan berdasarkan
pengangkatan Nabi saw menjadi Rasul (mab’aṡ). Ada pula yang mengusulkan
berdasarkan hari wafatnya Nabi Saw,
Sementara
itu sahabat Ali bin Abi Ṭalib ra
mengusulkan berdasarkan momen hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke
Madinah, Usul tersebut nyatanya disetujui oleh semua para sahabat yang
bermusyawarah, sehingga ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam
adalah pada masa hijrahnya Nabi Saw. Sedangkan mengenai penetapan bulan apa
sebagai bulan yang pertama dalam mengawali kalender Islam (hijriah), para
sahabat berbeda pendapat, sebagian sahabat mengusulkan bulan Rajab karena bulan
tersebut diagungkan oleh kaum Jāhiliah,
Sebagian yang lain mengusulkan bulan Ramadhan,
Ada pula yang mengusulkan bulan dimana keluar dari Makkah, dan ada pula
yang menyarankan saat masuk ke Makkah, Sedangkan Usman bin Affan mengusulkan
bulan Muḥarram sebagai bulan yang pertama dalam
kalender Islam,
Usulan
sahabat Usman bin Affan ra, diterima oleh semua sahabat, Semenjak itu, Muḥarram
ditetapkan sebagai bulan yang pertama
dalam sistem kalender Islam (penanggalan tahun Hijriah),[2]
Mengenai Muḥarram, bulan tersebut adalah salah satu dari empat
bulan ḥarām atau bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt.
Empat bulan tersebut adalah Żulqa‘dah, Żulḥijjah, Muḥarram dan Rajab. Allah Swt berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ
أَنفُسَكُمْ وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” (QS :
At Taubah:36).
Empat bulan ḥarām (arba‘ah al-ḥurum) memiliki
banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah (syahrullah).
Ibnu Kaṡīr ((w.774
H) dalam
tafsirnya menyatakan:
{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
في كلِّهن، ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراما، وعَظم حُرُماتهن، وجعل الذنب
فيهن أعظم، والعمل الصالح والأجر أعظم
Mengenai
ayat { فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }
“maka
janganlah janganlah kamu menganiaya diri
kamu dalam bulan yang empat itu” .
Allah melarang berbuat ẓālim di 12 bulan, namun lebih terlarang lagi pada empat
bulan ḥarām. Karena pada empat bulan tersebut bulan yang haram dan
sangat diharamkan, bermaksiat
di bulan ini dosanya akan besar (dilipatgandakan) dan beribadah pada bulan
haram pahalanya akan besar pula (dilipatgandakan).[3]
Mengenai
bulan Muḥarram, Abu Bakar Syaṭa’ dalam kitabnya menuturkan:
وإنما سميت حرما لإن العرب كانت
تحترمها وتعظمها وتحرم فيها القتال, حتى أن احدهم لو لقى قاتل ابيه او إبنه اوأخيه
فى هذه الأشهر, وكان القتال فيها محرما فى صدر الإسلام , ثم نسخ بقوله تعالى : فَإِن
تَوَلَّوْاْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتَّمُوهُمْ_____________ وإنما
سمى محرما لتحريم الجنة على ابليس
Bulan Muḥarram dinamakan “harām”, karena orang Arab sebelum datangnya ajaran
Islam, sudah dikenal sebagai bulan yang dimuliakan
dan diagungkan oleh kaum Jāhiliyah. Pada bulan ini dilarang untuk
melakukan hal-hal seperti peperangan.
Sampai-sampai andaikan seorang bertemu dengan orang yang pernah membunuh
bapaknya, anak maupun saudaranya, maka tidak boleh ada persengketaan (balas
membunuh). Ketika ajaran Islam datang, kemuliaan bulan Muḥarram dikembalikan dan
ditetapkan, sementara tradisi Jāhiliyah yang lain dihapuskan
(naskh) termasuk kesepakatan tidak
berperang, sebagaimana terungkap pada ayat:
فَإِن تَوَلَّوْاْ
فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتَّمُوهُمْ -
Apabila
mereka berpaling,maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di mana pun mereka
kamu temukan (an-Nisa:89).
Abu Bakar Syaṭa’ juga menyatakan
bahwa, dinamakan “Muḥarram” ,karena diharamkannya Iblis masuk sorga.[4]
Keutamaan
Muḥarram,
karena pada bulan ini disunatkan berpuasa, dan sebaik-baik puasa setelah
Ramadhan adalah puasa di bulan Muḥarram.
حدثني قتيبة
بن سعيد. حدثنا أبو عوانة عن أبي بشر، عن حميد بن عبدالرحمن الحميري، عن أبي هريرة
رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أفضل
الصيام، بعد رمضان، شهر الله المحرم. وأفضل الصلاة، بعد الفريضة، صلاة الليل"
Menceritakan
kepadaku Qutaibah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu
Bisyr, dari Humaid bin Abdurrahman al-Humairi, dari Abu Hurairah ra, ia
berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baiknya
puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muḥarram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah
wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim).[5]
Terdapat
pula penjelasan, bahwa puasa pada hari Āsyūra’ (10 Muḥarram) dapat menghapuskan
dosa-dosa yang telah lewat.
عَنْ أَبي قَتَادة الأنصاري رضي
اللَّهُ عنهُ أَنَّ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم سُئلَ عنْ صوم يوْمِ
عرفة فقال: "يُكفِّر السّنةَ الماضية والباقية" وسئل عَنْ صَوْم يوْم
عاشُوراءَ فقال: "يُكفِّر السّنَة الماضية
Dari Abu Qatadah al-Anshari ra, bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang
puasa hari Arafah, beliau bersabda: “Puasa
Arafah menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat dan akan datang. Dan Rasulullah ditanya tentang puasa Āsyūra’, beliau
bersabda: “Puasa Āsyūra’ dapat
menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat. …….....…....” (HR. Muslim).[6]
Menurut Jumhūr al-‘Ulama,
pada mulanya hukum puasa Āsyūra’ adalah wajib, namun setelah turun
kewajiban puasa Ramadhan, maka puasa Asyura’menjadi sunnah.[7]
Disunatkan puasa Āsyūra’ (10
Muḥarram)
berdasarkan hadis dari Abu Qatadah tersebut. Sementara itu, disunnatkan pula
puasa Tāsū’ā (9 Muḥarram) merujuk
pada hadis riwayat Ibnu Abbas ra,
فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم
التاسع.
“Jika datang
tahun depan Insyaallah kita akan berpuasa pada hari ke sembilan”. Namun Rasullah Saw wafat dan tidak
mendapati tahun depan”. (HR. Muslim).
Para ulama
dari kalangan mażhab Syāfi’i telah sepakat bahwa, puasa Āsyūra’ (10 Muḥarram) dan Tāsū’ā (9 Muḥarram) hukumnya sunnat.[8]
Pada tanggal
(10 Muḥarram), Allah
Swt menyelamatkan nabi Musa as dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka
(Yahudi), riwayat lain (Quraisy Jāhiliah) memuliakannya dengan berpuasa.
Kemudian Rasulullah Saw menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai
bentuk rasa syukur atas pertolongan Allah. Beberapa penjelasan mengenai hal
ini, dapat ditemui dalam Ṣaḥīḥain.
حدثنا عبد الله بن مسلمة، عن
مالك، عن هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان يوم عاشوراء
تصومه
قريش في الجاهلية، وكان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يصومه، فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه، فلما فرض
رمضان ترك يوم عاشوراء، فمن شاء صامه ومن شاء تركه.
Menceritakan kepada kami
Abdullah bin Musalamah, dari Malik, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari
Aisyah ra, beliau berkata: “Pada hari Āsyūra’ (10 Muḥarram), orang-orang quraisy Jahuliah berpuasa, dan
Rasulullah Saw pun berpuasa. Maka
ketika beliau sampai di Madinah, beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya
untuk berpuasa. Setelah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka Nabi Saw tidak
mewajibkan berpuasa. Barangsiapa yang berkeinginan berpuasa maka lakukanlah,
barangsiapa yang berkeinginan tidak puasa maka tinggalkanlah”. (HR. Bukhāri).[9]
حدثنا أبو معمر: حدثنا عبد
الوارث: حدثنا أيوب: حدثنا عبد الله بن سعيد بن جبير، عن أبيه، عن ابن عباس رضي
الله عنهما قال: قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة، فرأى اليهود تصوم يوم
عاشوراء، فقال: (ما هذا). قالوا: هذا يوم صالح، هذا يوم نجى الله بني إسرائيل من
عدوهم، فصامه موسى. قال: (فأنا أحق بموسى منكم). فصامه وأمر بصيامه.
Menceritakan kepada kami Abu Mu’ammar, menceritakan kepada kami Abdul
Waris, menceritakan kepada kami Ayyub, menceritakan kepada kami Abdullah bin
Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas ra, Ia berkata: bahwa, ketika Nabi Saw datang ke Madinah,
mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Āsyūra’ (10 Muḥarram) . Maka Nabi bertanya: “Hari apa ini” ? Mereka
menjawab: “ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Bani
Israil dari musuh-musuhnya, maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada
Allah. Rasulullah Saw kemudian berkata, “Saya lebih berhak mengikuti Musa
as. dari kalian semua.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya)
untuk berpuasa”. (HR. Bukhāri).[10]
حدثنا حرملة بن يحيى. أخبرنا بن وهب. أخبرني يونس عن ابن شهاب. أخبرني عروة
بن الزبير ؛ أن عائشة رضي الله عنها قالت
كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم يأمر بصيامه قبل أن يفرض رمضان فلما فرض رمضان، كان من شاء صام يوم عاشوراء
ومن شاء افطر
Menceritakan
kepada kami Harmalah bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami Ibn Wahab, mengkhabarkan
kepadaku Yunus, dari Ibn Syihab, mengkhabarkan kepadaku Urwah bin Zubair, bahwa
Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw memerintahkan berpuasa Āsyūra’ (10 Muḥarram) sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, maka
setelah datang kewajiban puasa Ramadhan, maka barangsiapa yang berkenan puasa Āsyūra’ maka
kerjakan dan yang berkeinginan meninggalkan, maka berbukalah”. (HR. Muslim).[11]
وحدثني ابن
أبي عمر. حدثنا سفيان عن أيوب، عن عبدالله بن سعيد بن جبير، عن أبيه، عن ابن عباس
رضي الله عنهما ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة. فوجد اليهود
صياما، يوم عاشوراء. فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم:
"ما هذا اليوم الذي تصومونه ؟ "
فقالوا: هذا يوم عظيم. أنجى الله فيه موسى وقومه. وغرق فرعون وقومه. فصامه موسى
شكرا. فنحن نصومه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فنحن أحق وأولى بموسى
منكم" فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم. وأمر بصيامه.
Dan
menceritakan kepadaku Ibnu Abi Umar, menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Ayyub, dari Abdullah bin Sa’id bin Jubair, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas
ra, bahwa Rasulullah Saw ketika datang
ke Madinah, mendapati orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Āsyūra’ (10 Muḥarram). Maka Rasulullah Saw bertanya kepada mereka
“Hari apa ini yang kalian semua berpuasa?”, maka mereka menjawab “Ini adalah
hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan pada hari ini Allah menenggelamkan Firaun
beserta kaumnya. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah”.
Oleh sebab itu kami pun berpuasa. Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Saya lebih
berhak mengikuti Musa as dari pada kalian semua” . Maka Rasulullah
Saw berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa. (HR. Muslim).[12]
Walaupun
terdapat kemiripan dalam hal ibadah puasa dengan apa yang dilakukan oleh kaum
Yahudi maupun Kaum Quraisy pada masa itu, akan tetapi Rasulullah Saw tetap
memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum
sebelumnya.
Dari penjelasan hadis, Nabi Saw menyarankan agar puasa hari Āsyūra’ diikuti
oleh puasa satu hari sebelumnya (Tāsū’ā /9 Muḥarram).
وحدثنا الحسن
بن علي الحلواني. حدثنا ابن أبي مريم. حدثنا يحيى بن أيوب. حدثني إسماعيل بن أمية
؛ أنه سمع أبا غطفان بن طريف المري يقول: سمعت عبدالله بن عباس رضي الله عنهما
يقول: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه، قالوا: يا
رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
"فإذا كان العام المقبل إن شاء الله، صمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام
المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Menceritakan
kepada kami al-Hasan bin Ali al-Halwani, menceritakan kepada kami Ibn Abi
Maryam, menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub, menceritakan kepada kami
Isma’il bin Umayyah, bahwa Isma’il mendengar Abu Ghathafan bin Tharif al-Murriy
berkata: Saya mendengar Abdullah bin Abbas berkata:”Ketika Rasulullah Saw
berpuasa Asyura’ dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa, maka para sahabat
bertanya: “Ya Rasulullah, bukankan hari Āsyūra’ (10 Muḥarram) adalah
yang dimuliakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani”. Maka beliau bersabda:”Jika
datang tahun depan Insyaallah kita akan berpuasa pada hari ke 9 Muḥarram.”. Namun
Rasullah Saw wafat dan tidak mendapati tahun depan”. (HR. Muslim).[13]
Ibnu Ḥajar
al-Haitami (w. 973
H) berpandangan bahwa, hikmah disunnatkannya pelaksanaan puasa 9 Muḥarram (Tāsū‘ā) adalah dimaksudkan agar berbeda dengan kaum Yahudi.[14] An-Nawāwi (W. 677 H) dalam kitab al-Majmū‘ menyatakan bahwa, menurut para pengikut Syāfi‘i, ada
tiga indikator mengenai hikmah dibalik disunnatkannya puasa 9 Muḥarram (Tāsū‘ā). Pertama, agar berbeda
dengan apa yang telah dilakukan oleh Yahudi, yaitu puasa tanggal 9, 10 dan 11 Muḥarram.
Sebagaimana hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
صُومُوا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا
وَبَعْدَهُ يَوْمًا
Berpuasalah
kalian semua pada hari Asyura’ dan bedakanlah dengan kaum Yahudi, dan puasalah
kalian semua pada hari sebelum maupun Āsyūra’ (10 Muḥarram).
Kedua, dimaksudkan agar menyambungkan Āsyūra’ dengan
salah satu hari (sebelum atau sesudahnya), yaitu tanggal: 9 dan 10, atau 10 dan
11 Muḥarram. Hal
ini dilakukan sebagaimana puasa yang dikerjakan pada hari jum’at. Ketiga,
sebagi bentuk kehati-hatian (iḥtiyāṭ) atas
kekawatiran dan penghitungan tanggal (hilāl) Muḥarram.[15]
Bertolak
dari beberapa riwayat hadis, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatāwā al-Kubrā
al-Fiqhiyyah-nya menyimpulkan bahwa, puasa 10 Muḥarram yang dilakukan oleh Nabi
Saw, dapat dilihat dari 4 hal:
1.
Sewaktu Nabi Saw berada di
Makkah, dan tidak memerintahkan umatnya untuk berpuasa, berdasar Ṣaḥīḥain dan lainnya,
dari Aisyah ra, bahwa, pada hari Āsyūra’, kaum Quraisy berpuasa dan Nabi Saw pun
berpuasa, hal ini dilakukan pada masa Jāhiliyah (sebelum turun wahyu).
2.
Ketika datang di Madinah, dan
melihat kaum Ahlul Kitab berpuasa Āsyūra’, dan Nabi Saw memerintahkan umatnya untuk
berpuasa.
3.
Ketika telah datang kewajiban
puasa Ramadhan, maka Nabi Saw, mensunnahkan puasa Āsyūra’.
4.
Azam Nabi Saw dalam usianya, untuk
melakukan puasa tanggal 9 Muḥarram/Tāsū‘ā (menggabungkan dengan 10 Muḥarram /Āsyūra’), agar
berbeda dengan puasa yang dilakukan Ahlul Kitab, namun Nabi Saw wafat sebelum
sampai pada tahun berikutnya.[16]
Dari uraian di
atas, maka, ada tiga pilihan dalam menyikapi puasa Āsyūra’. Pertama,
dapat dilakukan pada tanggal 10 Muḥarram saja. Kedua,
dilakukan tiga hari (9-11 Muḥarram). Ketiga, dilakukan
dua hari yakni 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muḥarram.
Bulan Muḥarram adalah bulan mulia, oleh
sebab itu, kita anjurkan melaksanakan amalan-amalan yang baik. Menurut
sebagian ulama’ terdapat beberapa amalan baik yang dapat dilaksanakan
pada hari Āsyūra’ (10 Muḥarram). di
antaranya adalah:
1) Memakai
celak mata
2) Berpuasa
3) Shalat
(sunnah muthlaq)
4) Mandi
5) Berziarah
kepada orang shaleh
6) Bermunajat
kepada Allah
7) Menjenguk
orang sakit
8) Menambah
nafaqah keluarga
9) Bershadaqah
10)Membaca
surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali
11)Mengusap
kepala anak yatim
12)Membaca ayat
kursi sebanyak 360 kali disertai bismillah setiap satu kali
13)Menghidupkan
malamnya
Wallahu A‘lam.
Daftar Pustaka
Ad-Dimyaṭi,
Abu Bakar Muhammad Syaṭa’, I’ānah aṭ- Ṭālibīn,
Beirut: Dar al-Fikr,1993.
Al-Naisapuri, Muslim bin al-Hajjāj Ṣaḥīḥ Muslim, [Maktabah Syāmilah).
Al-Asqalani ,Ibnu
Hajar, Bulūg al-Marām, Semarang:
Toha Putra,t.t.
Al- Bukhāri, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il, Ṣaḥīḥ Bukhāri, (Maktabah
Syāmilah).
Al-Haitami,
Ibnu Ḥajar, Tuhfah
al-Muḥtāj, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah
t.t.
_________________________
Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah,1997.
Al- Ḥaḍrami Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad, Bugyah al-Mustarsyidīn, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah,t.t.
Jalāl ad-Din As-suyūṭi , Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, Maktabah
al-Adab, ttp.,t.t.
Aṣ-San‘āni, Subul as-Salām, Mesir :Maktabah Muṣṭafā al-Bābi al-Halabi, 1960.
An-Nawāwi,
al-Majmū‘ Syarh al-Muhażżab,
Beirut: Dar Ālim
al-Kutub,2003.
Kaṡīr , Ibnu, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓ īm (Maktabah
Syāmilah).
[1] Jalāl ad-Din As-suyūṭi , Asy-Syamārīh fī ‘Ilm at-Tārīkh, (Maktabah al-Adab, ttp.,t.t.),hlm.7-10.
[2] Ibid,,hlm, 11-15,
[4] Abu Bakar Muhammad Syaṭa’ ad-Dimyaṭi, I’ānah aṭ- Ṭālibīn, (Beirut: Dar
al-Fikr,1993), jilid II,hlm.307.
[6] Ṣaḥīḥ Muslim,hadis no: 1166, lihat pula Ibnu Hajar
al-Asqalani, Bulūg al-Marām, (Semarang: Toha Putra,t.t),hlm.137.
[9] Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il al- Bukhāri, Ṣaḥīḥ
Bukhāri, (Maktabah
Syâmilah),
hadis no: 1898 (bab puasa Āsyūra’).
[14] Ibnu Ḥajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muḥtāj, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.t),jilid
I,hlm. 532.
[16] Ibnu Ḥajar
al-Haitami, Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah,1997),jilid II,hlm. 22.
[17] Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al- Ḥaḍrami, Bugyah
al-Mustarsyidīn,
(Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,t.t),hlm.114.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan