KONSEP DAN PROSPEK ILMU
KEISLAMAN INTEGRATIF
A.
PENDAHULUAN
Studi
Islam sudah terjadi sejak lslam itu sendiri datang dibumi dimana studi Islam
itu dilakukan. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana, sesuai
dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti
agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan.
Setiap
kajian di UIN harus menghubungkan, mengaitkan, bahkan jika mungkin menyatukan
antara apa yang selama ini dikenal dengan ilmu Islam dengan ilmu umum, melalui
dialektika segitiga: tradisi teks (hadharah an-nash), tradisi
akademik-ilmiah (hadharah al-‘ilm) dan tradisi etik-kritis (hadharah
al-falsafah).
Jadi, sudah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separeted
entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yang tunggal (single
entity). Tingkat peradaban kemanusiaan saat ini yang di tandai dengan
semakin melesatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, tidak memberi
altemasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur
sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya.
Namun
seperti apakah realitas keimuan kita? Dimana menurut penulis saat ini,
ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di PTAI hanya berkisar pada pengantar dan
devinisi dan jauh dari analisis dengan disiplin ilmu lain yang bersangkutan.
Mudah-mudahan makalah ini dapat menguak tentang konsep dan prospek ilmu keislamaman
integratif.
B.
PEMBAHASAN
1.
Filsafat
Ilmu-Ilmu Keislaman
Ilmu-Ilmu Ke-Islaman
Dan ketika kita bicara
filsafat ilmu, maka menurut gagasan Waryani Fajar Riyanto;
tentang filsafat ilmu integral harus juga mencakup aspek-aspek sebagai berikut
: ontologi (objek ilmu), epistemologi (subjek ilmu) dan aksiologi (nilai
ilmu),sebab membicarakan filsafat ilmu ,adalah juga membicarakan tentang
hubungan antara subjek, objek dan hubungan diantara keduanya.
Filsafat ilmu,
dengan titik tekan epistemologi ilmu,tidak cukup jika hanya mencakup dimensi
ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan saja. Tetapi juga harus
memasukkan ilmu-ilmu kealaman. Disinilah pentingnya antara prinsip-prinsip ilmu
qauliyah (normatitivitas), kauniyah (kausalitas)
dan nasfsiyah (historitas),
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي
الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ
يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ –٥٣
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala afaq
(kauniyah atau natural science) dan pada diri mereka sendiri (nafsiyah atau
social science), hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an (qauliyah atau
religious science) itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa sesuingguhnya Tuhanmu
(tauhid integratif) menjadi saksi atas segala sesuatu.
Berdasarkan
ayat diatas, maka filsafat ilmu dalam al-Qur’an mencakup ilmu-ilmu kauniyah atau
natural science, ilmu-ilmu nafsiyah atau social science
dan ilmu-ilmu keagamaan atau religios science, di integrasikan oleh
pilar tauhid atau ketuhanan.
Menurut Nasuka,
sebagaimana dikutip Waryani Fajar Riyanto.,
bahwa yang dimaksud ilmu-ilmu ke-Islaman adalah ilmu-ilmu agama Islam.
Ilmu-ilmu agama Islam sendiri adalah keseluruhan pengetahuan yang disusun
secara sistematis dan metodis yang mencakup tentang ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw, yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ruang lingkup
ilmu-ilmu agama Islam (relegious knowledge), misalnya mencakup bidang
akidah (ilmu kalam), syari’ah (ilmu fiqih), dan akhlak (ilmu tasawuf)
Kalau di Barat
ilmu berpijak dari suatu premis kesangsian, maka dalam level wahyu,
ilmu-ilmu ke-Islaman bersumber pada premis keyakinan, jadi kebalikan.
Disini pula pembicaraan secara akademik sering macet, lantaran sudah di patoki
dengan wahyu tadi. Kita sering terjebak oleh jerat kita sendiri bahwa ilmu-ilmu
ke-Islaman identik dengan wahyu; tasawwuf identik dengan wahyu, dan seterusnya.
Menurut Amin
Abdullah
selama ini praktek pendidikan dan pengajaran agama Islam terlalu menekankan
pada sumber dan kebenaran tekstual. Para pendukung ilmu ini melupakan kenyataan
bahwa ketika gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan
keimanan yang berlandaskan teks itu dipraktekkan dan dioperasionalisasikan di
lapangan, maka secara otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi. Ibn
Rusyd pernah mendokumentasikan berbagai model pemahaman dan interpretasi yang
terkait dengan persoalan ibadah dalam pemikiran keislaman dalam bukunya Bidayah
al-Mujtahid.
Menurut A. Qodri
Azizy
di dalam Islam, munculnya ilmu-ilmu ke-Islaman adalah dalam rangka memahami
wahyu untuk dipraktekkan. Wahyu yang di dalam wujudnya adalah al-Qur’an, atau
katakanlah wahyu sendiri adalah hudan, bukan proposisi, bukan buku
undang-undang (not a book of code), bukan teori, bukan hipotesa, bahkan
bukan asumsi dalam kadarnya yang “ilmiah”, yang berarti bisa diobrak-abrik oleh
manusia dengan kedok “ilmiah” pula. Bukankah ciri ilmiah itu bisa dan sah serta
mudah untuk ditolak secara ilmiah pula? Sedangkan ilmu-ilmu ke-Islaman adalah
produk ijtihad para ilmuan (ulama/mujtahid). Dengan penempatan
pada level yang demikian, maka ilmu-ilmu ke-Islaman yang kita kenal sekarang
ini adalah tidak identik dengan wahyu, namun sudah menurun pada level hasil ijtihad
(produk) manusia.
Dengan demikian,
selain berbicara tentang esensi wahyu tadi, maka keberadaan ilmu-ilmu
ke-Islaman tersebut ditempatkan pada posisi yang tidak jauh, kalau tidak
dikatakan sama, dengan ilmu-ilmu umum (‘sekuler”) yang selama ini kita kenal,
setidaknya dalam rangka pembidikan epistemologi ini. Tentu kita harus sadar
akan adanya perbedaan esensial sebagai konsekuensi adanya sumber berupa wahyu
Allah, meskipun dalam prakteknya tidak
mustahil akan memperoleh hasil paralel.
Demikian pula,
kita harus menyadari bahwa wahyu sebagai dasar tidak berarti kaku dan sempit,
namun dapat pula berarti pembatas, ketika akal diperankan secara wajar, sesuai
dengan ajaran wahyu itu sendiri. Jadi, nantinya akan kita lihat terjadinya
keseimbangan antara deduktif, berdasarkan dalil nashsh, dan induktif
(empirik) berdasarkan akal dan dalil kauniyah.
Masih menurutnya,
bahwa kajian ilmiah untuk ilmu-ilmu ke-Islaman tetap bisa dilakukan. Demikian
pula premis kesangsian juga bisa diterapkan. Tentu saja kita harus
membatasi wilayah kajian kita.
Pertama,
Kita tidak akan mengacak-ngacak al-Qur’an dan hadis sebagai wahyu. Bahkan juga
bisa kita batasi, tidak perlu menggugat kodifikasi al-Qur’an seperti yang
dilakukan oleh Arkoun didalam bukunya Rethinking Islam. Oleh karena
perwujudan ijma’ shahabat sudah jelas.
Kedua,
Yang menjadi kajian adalah produk manusia, meskipun dianggap “manusia suci”, Dengan
demikian ,maka semua disiplin ilmu-ilmu ke-Islaman bisa menjadi jangkauannya lantaran ilmu-ilmu tersebut juga tidak lepas
dari pada hasil kajian atau penelitian manusia. Jenis-jenis ilmu yang berkaitan
dengan hadis (ilmu rijal al-hadis, ilmu dirayah, ilmu al-jarh wa al-Ta’dil),
bahkan juga kodifikasi hadis itu sendiri adalah hasil ijtihad atau karya
manusia. Oleh karena ilmu-ilmu tersebut adalah produk manusia, maka bisa
menjadi lapangan kajian ulang secara kritis. Dalam level seperti ini, maka premis
kesangsian tidak harus ditolak. Statement-statement yang sangat baku pun
bisa dikaji ulang, kalau statement tersebut merupakan produk ijtihad
manusia.
Menurut M. Amin
Abdullah
terdapat tiga wilayah keilmuan dalam Islam.
1.
Wilayah praktek
keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian
rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli pada bidangnya dan
oleh anggota masyarakat pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya tanpa melalui
klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan, yang pentingkan disini adalah pengalaman.
Pada level ini perbedaan antar agama dan tradisi, agama dan budaya, antara belief
dan habits of mind sulit dipisahkan.
2.
Wilayah
teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya
oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing.
Apa yang disebut-sebut ulum al-tafsir, ulum al-hadis, islamic thaught
(kalam, falsafat dan tasawuf), hukum dan pranata sosial (fiqh), sejarah dan
peradaban Islam, pemikiran Islam, dan dakwah Islam ada pada wilayah ini
sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama Islam
yang diabstrasikan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks
wahyu manupun secara induktif dari praktik-praktik keagamaan yang hidup dala
masyarakat muslim era kenabian, sahabat, tabiin
maupun sepanjang sejarah perkembangan
masyarakat muslim dimana pun mereka berada.
3.
Telaah kritis ,
yang lebih populer disebut meta discourse, terhadap perkembangan jatuh
bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis
kedua. Lebih-lebih jika teori-teori pada disiplin tertentu, ulum al-Qur’an
umpamanya dialogkan dengan teori-teori
yang biasa berlaku pada wilayah lain, ulum al-hadis, sejarah peradaban
Islam dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam didialogkan dengan
teori yang berlaku pada wilayah tasawuf, dan begitu seterusnya. Belum lagi jika
teori-teori yang berlaku dalam wilayah Islamic studis, pada lapis kedua
dihadapkan dan didialogkan dengan teori-teori diluar disiplin ilmu keilmuan
agama Islam seperti disiplin ilmu kealaman, ilmu budaya, ilmu sosial dan relegius
studies. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated
inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.
Pemikiran Ilmu Dalam Tradisi Islam
Budaya dan
tradisi pemikiran Islam yang diwarisi dari generasi terdahulu bisa disebut
dengan istilah at-tsuras al-qadim. Secara materiil, at-turas al-qadim
sebenarnya tersusun dari beberapa elemen dasar ,yaitu Kitab Suci (wahyu),
keilmuan naqli murni, keilmuan naqli-‘aqli, keilmuan ‘aqli
murni dan folklore atau mitologi. Warisan kultural ini bisa sampai
kepada kita melalui saluran “cerita” lisan maupun tertulis, bukan melalui
saluran partisipasi dan penyaksian langsung. Telah diketahui bahwa kegiatan
melestarikan dan mentranmisikan warisan tersebut, baik dalam lingkup
intra-generasi maupun inter-generasi sudah berlangsung sekian lama.
Para imam
madzhab yang selalu menggagas pemikirannya dalam berbagai bidang kehidupan itu
dapat dilakukan secara terbuka. Mereka berani dan bebas melaksanakan kreasi
intelektual melalui proses interpretasi terhadap kedua sumber tersebut secara
dinamis untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam dengan tanpa terjebak
dalam pengaruh pemahaman doktrinal setempat atau kekuasaan politik tertentu.
Belakangan, pemikiran dinamis para madzhab tersebut dijadikan doktrin teologis
statis oleh sebagian kalangan masyarakat muslim.
Kalau kita
cermati, dalam Islam kita mempunyai wahyu Allah berupa al-Qur’an. Kita sepakat bahwa
al-Qur’an ini qat’iy al-wurud. Artinya, umat Islam sepakat bahwa
keberadaan al-Qur’an termasuk teksnya sudah final. Tidak ada perbedaan di
antara umat Islam tentang keberadaan al-Qur’an ini. Wujud wahyu Allah yang
final adalah al-Qur’an ini. Dengan kata lain, teks al-Qur’an ini tidak ada
campur tangan pemikiran dan penelitian manusia. Dengan demikian keberadaan
al-Qur’an berarti atas dasar kepercayaan (belief). Sedangkan sunah Nabi,
hampir bisa dikatakan bahwa secara konseptual sunnah dari segi kedudukannya
juga atas dasar kepercayaan (meskipun ada yang ingkar sunnah).
Sedangkan
keberadaan atau wujud dari sunnah itu melalui proses penelitian ulama. Kitab
kumpulan hadis, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan yang
lainnya adalah hasil karya ulama waktu itu. Peranan akal dan kerja atau
penelitian seseorang sangat menentukan. Itulah sebabnya maka tidak jarang
terjadi perbedaan penilaian tentang kedudukan sebuah hadis.oleh karena
keberadaan hadis itu merupakan hasil penelitian orang, maka konsekunsinya
seharusnya tetap terbuka untuk di adakan penelitian ulang. Kalau al-Qur’an itu
wilayah penelitiannya adalah pemahamannya, maka peran penelitian untuk sunnah,
bukan hanya pemahamannya namun juga meliputi penilaian terhadap keberadaanya.
Untuk
memahami al-Qur’an dan sunnah itu telah terjadi pemikiran bebas oleh ulama.
Sebagai hasilnya, atau akibatnya, telah muncul beberapa jenis ilmu/disiplin
yang kemudian di sebut sebagai ilmu ke-Islaman atau ilmu agama Islam. Hal ini meliputi
ajaran Islam itu sendiri, yang sering kita terjebak dengan menggunakan istilah
doktrin. Padahal itu semua karya manusia untuk memahami wahyu tadi. Yang juga
berarti merupakan sejarah pemikiran ulama. Dan dari jenis-jenis yang sudah di
anggap baku lantaran sudah berjalan bertahun-tahun akan selalu dimungkinkan
muncul jenis baru atau bercabang yang biasanya di sebut new camers
(dalam tradisi barat). Hanya saja dalam prakteknya telah mandeg bertahu-tahun.
Kemudian berbalik apa yang semua hasil ijtihad atau hasil penelitian
(termasuk dalam hal akidah), kini naik kedudukannya menjadi doktrin yang mati
bahkan ada yang menganggap sakral yang seolah tidak mungkin lagi di sentuh oleh
akal manusia, tidak human.
Sedangkan
kalau kita mau kembali pada masa-masa yang awal, hasil pemikiran Muslim itu
sangat berkembang dan sama sekali tidak ada stagnasi. Karena perkembangan dan
proses perubahan yang tidak ada hentinya itulah, maka al-Syafi’i selalu
melarang orang lain menisbatkan ilmu itu kepada nama dirinya. Ini yang tertuang
dalam semua tulisan tentang biografi dia. Al-Syafi’i sendiri mebuktikan
perkembangan ilmu itu. Kita kenal dua model pemikiran al-Syafi’i (qaul qadim
dan qaul jadid) yang menggambarkan betapa perubahan dan perkembangan
ilmu waktu itu. Baik dalam dunia fiqih maupun dalam dunia ilmu kalam, apalagi
dunia tasawuf, perkembangan, perubahan dan penelitian itu menjadi ciri utamanya.
Dalam
tradisi keilmuan Islam seringkali disebut dengan al-muhafadhah al al-qadim
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang sudah ada
yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).
2.
Konsep
Ilmu Keislaman Integratif
Ajaran Islam
memuat semua sistem ilmu pengetahuan, maka mustahil untuk mempertentangkan
keduanya. Tujuan tertinggi dari ajaran Islam adalah kebaikan manusia. Islam
dalam hal ini berfungsi sebagai pedoman mencari keselamatan diri sekaligus
wujud tata laku hidup menuju kebaikan sosial.
Berikut dibawah
ini penjelasan tentang tauhidiq system yang menjadi landasan
pengintegrasian antara ilmu umum dan ilmu agama.
Etika Tauhidik Sebagai Dasar
Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama
Hingga
kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama”
dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempuyai
wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek
formal-material, metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang dimainkan
oleh ilmuan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi
penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama dan
agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah praktek kependidikan dan
aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif
yang di timbulkan dan di rasakan oleh masyarakat luas, oleh karenanya, anggapan
yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.
Secara umum,
istilah dan kata-kata yang seringkali digunakan adalah integrasi antara ilmu
dan agama (science and relegion). Hal ini disebabkan oleh realita bahwa
ada sejumlah ilmuan yang menolak intervensi kaum agamawan dalam urusan ilmu,
sebaliknya terdapat sejumlah agamawan yang menolak kehadiran ilmu dan ilmuan
yang dipandang tidak jarang menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan
ajaran agama. Relasi ilmu dan agama terlihat , antara lain, pada ungkapan:
“ilmu tanpa agama lumpuh , dan agama tanpa ilmu buta”. Namun ada juga sejumlah
kalangan yang menolak kemungkinan terjadinya integrasi antara ilmu dan agama
dengan argumen: ilmu berasal dari manusia yang relatif dan profan, sedangkan
agama berasal dari tuhan yang absolut dan sakral. Atas dasar ini, maka kemudian
muncul pemikiran bahwa integrasi itu adalah antara ilmu dan pemahaman tentang
agama,dan dari sini pula kemudian dikenal istilah integrasi antara agama, dan
darisini kemudian dikenal istilah integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama (secular
and religious sciences).
Gagasan
integrasi atau islamisasi ilmu juga mengimplikasikan ide sekularisasi yang
memisahkan yang sakral (bidang studi agama) dan profan (bidang studi agama).
Implikasi sekularisasi ini kemudian melahirkan kerancuan paradigmatik
pendidikan Islam, antara keyakinan tauhid yang hanya meyakini satu Tuhan dan
satu kebenaran Islam dan kenyataan pluralitas yang mengandaikan kesedihan
menghormati keyakinan keagamaan orang lain. Adanya kebenaran tunggal ini
menjadi akar tumbuhnya sistem dan orientasi keagamaan yang indoktrinatif, bukan
edukatif atau pembelajaran. Karena itu, “pendidikan Islam” lebih merupakan
indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak mungkin dibantah. Akhirnya,
ruang kelas laksana “penjara” yang pengap tanpa peluang masuknya udara
pemikiran kritis dan kreatif.
Dalam Islam,
secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu dilandaskan
pada tauhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir
dari segalanya. Dalam perspektif ini, maka integrasi dilakukan antara ilmu
umum, yakni ayat-ayat alam semesta atau wahyu yang tidak tertulis (kauniyyah)
dan ilmu agama, yakni ayat-ayat al-Qur’an atau wahyu tertulis (qauliyyah).
Menurut Musa
‘Asy’arie, sebagaimana dikutip oleh Waryani Fajar Riyanto
bahwa tauhid yang seakar dengan
angka satu (wahid), wahidah, tidak merujuk pada makna satu saja,
tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan
proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak berbagi-bagi. Ia menjadi sumber
realitas yang ada. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa tauhid itu
bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi
merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam relitas kehidupan
muslim.
Pada dasarnya
integrasi direalisasikan dalam dua bidang: Pertama dalam studi Islam
sendiri, artinya ,studi Islam yang telah terbagi menjadi kotak-kotak berupa
bidang-bidang atau disiplin-disiplin tertentu harus mampu diintegrasikan dan
dihubungkan antara satu dengan yang lain. Kebanggaan satu disiplin yang sering
kita saksikan selama ini menjadi tidak relevan. Kedua integrasi antara
ilmu agama/Islam dan ilmu umum.
Menurut Akh. Minhaji
semua pihak hendaknya menyadari bahwa Islam itu sendiri telah menyejarah, dan
oleh karena itu, pemahaman Islam tidak hanya cukup dengan mempelajari
ajaran-ajaran normatif tetapi juga bagaimana Islam dipahami, diimplementasikan,
sekaligus sentuhannya dengan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi atau
budaya dan peradaban pada umumnya sepanjang sejarahnya.
Adalah
Kuntowijoyo
ketika berbicara tentang program pembaruan pemikiran untuk reaktualisasi Islam
yang dapat dilaksanakan pada saat ini diantaranya adalah mengubah Islam yang
normatif menjadi teoritis. Selama ini kita cenderung lebih menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an pada level normatif dan kurang memperhatikan adanya
kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori
ilmu.
Tetapi ada hal
lain yang juga amat penting dalam hal ini, yakni pandangan teologis-ideologis
tentang ilmu yang berkembang selama ini dan amat mempengarui persoalan
integrasi ilmu. Ada sebagian kalangan Islam yang belum mampu (atau memang
sengaja) membedakan antara Islam dan umat Islam atau antara ajaran Allah yang
disebut syari’ah (relegion) dengan pemahaman manusia terhadap syari’ah
yang disebut fiqh (religious knowledge). Akibatnya, segala sesuatu yang
diberi label agama (Islam) diyakini pasti benar dan harus diikuti. Implikasi
lebih jauh, hal demikian seringkali melahirkan tafsir tunggal agama dan
sekaligus tidak memberi kesempatan pihak lain untuk berbeda. Pemahaman agama
yang dilahirkan di-indentikan dengan agama itu sendiri. Pemahaman manusia yang
masuk wilayah fiqh diindentikan dengan syari’ah, yang menjadi wilayah
Allah. Menolak pemahaman tersebut berarti menolak agama atau syari’ah. Itu
berarti, mereka menempatkan dirinya sejajar dengan pembuat agama atau syari’.
Dalam konteks
UIN , semua ilmu itu sama sebagai produk manusia dan semuanya harus berdasarkan
pada metodologi yang juga merupakan produk manusia, namun semuanya harus
berlandaskan pada tauhid. Keyakinan tauhid dan juga keyakinan
akan nilai-nilai agama bisa lahir dari ilmu apa saja termasuk ilmu yang selama
ini digolongkan pada ilmu umum.
Dengan kata
lain, semua kajian yang ada harus memperhatikan ajaran agama (normative
juga kadangkala disebut qauliyah) dan sekaligus empiris-historis (empirical/historical
juga kadangkala disebut kauniyah), dan tanpa mengabaikan perlu dan
pentingnya berbagai sistem yang ada, semua analisa dalam studi Islam harus
berlandaskan dan berujung pada sistem teologi Islam (tauhidic system)
yang menempatkan Allah sebagai asal dan akhir segala sesuatu. Inilah yang
disebut teologi dan ideologi Islam.
Filsafat menjadi
penting terutama untuk mendorong para ilmuan berfikir radikal dan fundamental
dan tidak hanya terjebak pada persoalan detail (furu’) tetapi masuk pada
tataran ontologis, epistemologis dan juga aksiologis. Disamping itu, ia tidak
hanya berhenti pada disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mampu
menghubungkannya dengan disiplin-disiplin lainnya. Dengan demikian ,ilmuan yang
dimaksud diharapkan mempunyai satu pandangan bahwa semua ilmu bertemu pada satu
titik, yakni menguasai dunia guna kemakmuran manusia sebagai perwujudan iman
kepada Allah, sebagai konsekuensinya seorang ilmuan akan memandang setiap ilmu
itu penting dan secara bersama-sama dapat berkontribusi terhadap masa depan.
Contoh Integrasi Ilmu dan Agama
Paradigma
keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan
temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak
akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan
manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan
lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi
epistemplogi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar
sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan
radikal dalam banyak hal.
Tentu sangat
menarik jika dikemukakan sejumlah contoh integrasi keilmuan dimaksud. Pada
dataran teori dan metodologi, kita bisa melihat sejumlah pemikiran penting
dalam fiqh dan ushul fiqh yang bisa diintegrasikan dengan hal-hal yang terdapat
dalam studi-studi umum yang selama ini berkembang di/dan berasal dari dunia
Barat. Kajian-kajian ontologi yang dikenal dalam filsafat yang berkembang saat
ini bisa dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman tentang hakekat hukum Islam
sekaligus untuk mempertegas perbedaan antara hukum Islam sebagai hukum Allah (syari’ah/relegion)
dengan pemahaman manusia tentang hukum Allah tersebut (fiqh, relegious
knowledge). Pemahaman kebahasaan, sebab-akibat, konteks sosial dan yang
semacamnya dalam memahami teks-teks ajaran Islam dan teks-teks lainnya bisa dikembangkan dengan mempertimbangkan
secara cermat, teliti, sekaligus hati-hati tentang linguistik, hermeneutika,
fenomenologi, dan yang semacamnya.
Beberapa contoh
dibawah ini akan memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik
bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat
diambil dari Ekonomi Syari’ah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara
wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI
Syariah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama
menyediakan etika dalam prilaku ekonomi di antaranya adalah hasil (al-mudharabah),
dan kerjasama (al-musyarakah). Di situ terjadi proses
objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi
orang dari semua penganut agama, non agama, atau bahkan anti agama. Dari orang
yang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-‘alamin). Kedepan,
pola kerja keimuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang
humanistik ini di tuntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti
psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
begitu seterusnya.
Tidak kalah
menarik apa yang dilakukan Ali Syari’ati, ia mencoba mengembangkan teori dengan
berangkat dari/membaca al-Qur’an, kemudian melihat realitas empiris kehidupan
umat manusia sekaligus teori yang berkembang dalam ilmu sosial-budaya. Ia
kemudian mengembangkan teori menyangkut “hijrah” atau “migrasi”, dan kemudian
sampai kepada kesimpulan bahwa hijrah mempunyai peran penting dalam kesuksesan
usaha seseorang. Mereka yang hijrah cenderung lebih berhasil ketimbang mereka
yang tidak hijrah..
Rekonstruksi Proses
Keilmuan Dalam Islam
Ketika Nabi
Muhammad saw masih hidup, para sahabatnya selalu mendapatkan bimbingan langsung
dari Nabi. Wahyu Allah juga turun ke bumi sebagai petunjuk-Nya (hudan)
,yang kita kenal dengan nama al-Qur’an. Itulah sebabnya, al-Qur;an di turunkan
secara berangsur-angsur (munajjaman), yang pada umumnya sesuai dengan
konteksnya. Karena itulah kita memperoleh pengetahuan tentang ashbab
al-nuzul (sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an).
Jika diantara
sahabatnya menemui kasus tertentu atas kesulitan, mereka dengan mudah bertanya
kepada Nabi dan akan mendapatkan jawaban, baik berupa ayat al-Qur’an, hadis
Nabi, atau menunggu sesaat. Yang jelas, semuanya terselesaikan dengan mudah,
karena Nabi masih hidup dan Nabi menjadi pusat rujukan umat dimana jawabannya
adalah final, bukan interpretasi. Final disini temasuk memberi kesempatan
kepada umatnya untuk bebeda antara satu dengan lainnya. Hal-hal yang berkaitan
dengan wahyu dan Nabi itulah kemudian disebut dengan ajaran Islam.
Setelah Nabi saw
wafat, sudah menjadi konsensus umat Islam bahwa sumber utama Islam adalah
al-Qur’an dan hadis Nabi (kecuali sekelompok kecil yang biasanya disebut inkar
al-sunnah). Untuk yang pertama tidak ada satu pun yang membantah. Sedangkan
untuk yang kedua ada sedikit orang yang tidak mengakuinya, dengan alasan bahwa
hadis itu hanyalah penjelasan terhadap al-Qur’an bukan sebagai sumber utama
yang berdiri sendiri. Secara singkat ini berarti bahwa ketika kita berbicara
mengenai Islam, maka akan selalu kembali pada kedua sumber utama tadi yang kita
sebut dengan nashsh. Dalam perjalanan sejarahnya, para pemikir atau
ulama telah banyak menghabiskan waktunya untuk memahami nashsh.
Jika di lihat semata-mata
dari wujud nashsh, adanya nashsh itu terbatas, sementara itu
kehidupan manusia selalu berkembang dan berubah, maka dari sisi ini terkadang
terjadi kesenjangan kasus. Mereka tidak bisa membiarkan dan melewatkan beberapa
kasus yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nashsh yang ada,
namun kemudian mereka menggunakan cara berpikir argumentatif dan induktif.
disamping berpikir deduktif. Aktifitas mereka luar biasa banyaknya untuk memeras
pikirannya demi memahami nashsh tersebut. Maka sahabat sudah mulai
berkembang pemikirannya, bahkan sangat jauh maju, sebagaimana di praktekkan
oleh Umar bin al-Khaththab dan para sahabat yang tinggal di luar Hijaz.
Para tabi’in
lebih berani lagi dalam melakukan perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman, sedangkan
para imam madzhab juga tidak kalah beraninya mengembangkan pemikiran Islam ini.
Kita di beri informasi tentang statement imam Abu Hanifah atau imam al-Syafi’i
yang “menantang” tabi’in dengan ungkapan “hum rijal wa nahnu rijal”
(mereka para tabi’in dianggap sebagai tokoh atau ahli, kamipun juga tokoh atau
ahli, sehingga kami bebas berpikir dan tidak ada kewajiban harus mengikuti
pendapat mereka).
Dalam kebebasan
dan kemampuan mengembangkan pemikiran Islam atau ilmu-ilmu ke-Islaman, meskipun
harus berbeda pendapat dengan tabi’in. Dalam waktu berikutnya, aktifitas mereka
menghasilkan pemahaman yang terbangun, yang kemudian berubah dari pemikiran
menjadi disiplin ilmu. Maka muncullah beberapa jenis disiplin ilmu dalam Islam,
seperti ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadis, dll.
Secara singkat
dapat disebutkan beberapa fase sebagai berikut :
Fase
pertama, pengkajian Islam berarti mendengarkan penjelasan
Nabi, baik lewat al-Qur’an maupun hadisnya.
Dalam fase kedua, Ulama Islam mencoba
memahami atau menafsirkan nashsh tersebut sambil memberi jawaban terhadap
kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nashsh.
Sedangkan dalam fase ketiga,
pengkajian Islam berupa mempelajari pikiran ulama yang sudah terbangun sebagai
disiplin keilmuan (the body of knowledge). Hanya saja sampai disini
sering terjadi bentuk dogmatik, doktrinal, dan normatif, sebagai akibatnya
bukan saja pemahaman nashsh tidak kontekstual, namun pemahaman terhadap
karya ulama (the body of knowledge) tadi juga menjadi doktrinal dan
dogmatik yang seolah tidak tersentuh oleh akal manusia sekarang. Padahal itu
semua merupakan hasil ijtihad ulama waktu itu dengan pengaruh budaya,adat
dan subyektifitas perorangan.
Oleh karena itu, perlu ada
penyegaran pengkajian terhadap proses pemikiran ulama itu sebagai fase
keempat. Disini sudah mulai jelas menempatkan apa yang selama ini di anggap
doktrin atau dogma sebagai hasil ijtihad ulama. Sampai disini tampaknya
masih berkutat dalam aktifitas eksploratif yakni hanya menjelaskan secara
diskriptif apa yang telah terjadi. Akibat yang akan muncul adalah stagnasi ,
kemandegan dalam pengkajian atau hanyalah berputar-putar, meskipun telah
menyentuh aktifitas kritis. Artinya, pemikiran ulama waktu itu tidak lepas dari
kondisi yang mengitarinya dan mempengaruinya serta suasana batin yang sangat
berpengaruh dalam keputusan pribadi ulama (individual judgment).
Fase kelima, beda antara fase
keempat dan kelima adalah sebagai berikut: dalam fase keempat, pengkajian
Islam mempunyai target berupa pengungkapan sejarah pemikiran ulama secara apa
adanya (obyektif atau value free) tanpa prasangka dan tanpa agenda
penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini sebenarnya juga sudah mulai
proses desakralisasi, sedangkan dalam fase kelima, pengkajian Islam sudah
memulai usaha inovatif dan obyektif untuk menilai/mengetes kembali (re-examine)
terhadap pemikiran mengenai Islam. Disinilah kajian kritis terhadap disiplin
ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini dianggap baku dan doktrinal baru
dimulai.
Fase keenam adalah usaha
kelanjutannya, yaitu, merekontruksi keilmuan Islam yang dianggap baku untuk
kemudian disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Ini dapat merupakan ijtihad baru
sebagai kontruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislaman yang sudah ada dan selama
ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan disiplin, pengembangan atau
pengurangan disiplin atau penciptaan disiplin baru sebagai anak cucu disiplin
yang ada, meskipun dengan mereformulasi pemahaman ulang terhadap yang ada.
Sudah barang tentu tidak bisa diterima terjadinya keterputusan alur atau proses
pemikiran dari apa yang sudah dilakukan ulama.
Menurut M.Amin Abdullah
studi keislaman semakin hari semakin dirasakan perlunya untuk dikembangkan
karena beberapa faktor :
a.
Islamic studies
bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup. Ia merupakan disiplin ilmu yang
terbuka. Islamic studies atau Dirasah Islamiyah adalah bangunan
keilmuan biasa yang harus di uji ulang validitasnya lewat perangkat
konsistensi, koherensi dan korespondensi oleh kelompok ilmuan sejenis.
b.
Agama Islam
bukan satu-satunya agama yang hidup (living relegion) pada saat sekarang
ini. Dalam dunia sekarang ini terdapat banyak living relegion yang
mempunyai sistem tata pikir dan seperangkat nilai dan keyakinan sama persis
seperti yang dipraktekkan oleh umat Islam, hanya saja kitab suci, bahasa yang
digunakan, nabi atau rasul yang dijadikan tokoh charismatik dan panutannya,
tatacara ritual peribadatannya serta letak geografis para pemeluknya berbeda.
c.
Semakin dekatnya
hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik, ras, suku dan
agama sebagai akibat dari teknologi, tranportasi, komunikasi dan informasi yang
canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan waktu yang biasa
dipikirkan dan diimaginasikan oleh umat beragama pada abad-abad sebelumnya.
Setiap saat, lewat media elektronik dan media cetak, apa yang terjadi pada
belahan dunia lain menembus, menerobos dan mempengarui tatacara berpikir umat
beragama dan membangkitkan emosi mereka dimanapun mereka berada.
3.
Paradigma
Dikotomi Pendidikan Islam dan Penyelesaiannya Berdasar Prinsip Integrasi
Salah satu
faktor mencolok lain penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam
beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat
melahirkan sikap eklusivisme. Gerakan Islam termasuk dalam kategori gerakan
eklusif tersebut.
Maka diperlukan
suatu studi ilmu yang bersifat menyeluruh dan integratif, dan filsafat adalah
salah satunya ilmu pengetahuan yang mampu mengintegrasikan sistem keilmuan yang
parsial tersebut. Oleh karena itu, secara normatif untuk mengintegrasikan
dikotomi ilmu dalam karakteristik atau ciri khusus sesuai dengan ajaran Islam
di perlukan kajian-kajian kefilsafatan.
Pendidikan Islam
lebih tepat bagi sebutan institusi mandiri yang dikelola, dilaksanakan dan
diperuntukan bagi umat Islam, sedangkan pendidikan agama Islam lebih tepat
untuk sebutan salah satu studi ilmu yang diajarkan di sekolah umum.Islam di
kategorikan sebagai sebutan untuk lembaga/institusi pendidikan, sedangkan
Pendidikan Agama Islam lebih tepat untuk sebutan suatu bidang studi (ilmu).
Berikutnya
persoalan dikotomi sekolah agama yang di wakili oleh madrasah dengan sekolah
umum. Dalam bidang pendidikan penggunaan istilah “sekolah-sekolah agama” dan
“sekolah-sekolah umum” sebagai dampak konkret pertentangan “ilmu yang Islam”
dengan “ilmu yang non Islam”, menunjukan terjadi “displacement” konsep
dan pemikiran.
Dalam pandangan
“ilmu”, sekolah agama dengan sekolah umum sama dan tidak mengandung perbedaan.
Karena “agama” dan filsafat yang merupakan akar dari keilmuan “sekolah umum’
bermuara pada realitas dan metodologi yang sama. Implikasinya sekolah agama
dengan sekolah umum atau sekolah filsafat dalam perspektif “ilmu’ sama. Berbeda
dengan pendekatan “kelembagaan’. Istilah sekolah agama berdasarkan pengertian
kebahasaan berarti sekolah yang khusus mempelajari ilmu-ilmu “agama”. Agama
dalam hal ini di pandang sebagai bentuk spesifikasi atau profesionalisme studi
ilmu. Sementara sekolah umum artinya sekolah dalam pengertian tak terbatas.
Bidang keilmuan yang dikaji pun bermacam-macam bentuk dan jenis, dan ilmu agama
termasuk filsafat secara konseptual merupakan bagian atau salah satu studi ilmu
yang di ajarkan dalam sekolah umum.
Pengembangan Keilmuan Islam (PAI)
di Indonesia
Ketika
kita berbicara mengenai pendidikan di Indonesia (ilmu umum-?), berapa banyak
kita mampu meyakinkan para ahli pendidikan bahwa tidak sedikit nilai Islam yang
tidak dapat berperan, atau bahkan menjadi isu atau materi, dalam pengembangan
keilmuan tersebut ? Seharusnya hal ini dapat dilakukan oleh para akademisi
PTAI, baik berangkat dari “ilmu tarbiyah” atau deduktif sekalipun, maupun
berangkat dari “ilmu pendidikan” atau induktif sekalipun. Ini pun seharusnya
dapat bekerja dari tingkatan devinisi sampai dengan aplikasi paling detail
sekalipun. Ketika kita dicekik oleh krisis multidimensional yang salah satu
aspeknya adalah kegagalan pendidikan kita, kita diam seribu bahasa. Mengapa
ilmu tarbiyah kita tidak dapat berani atau mampu tampil kedepan untuk
menyelesaikan persoalan pendidikan nasional kita? Dan begitu pula disiplin ilmu
keislaman yang lain, termasuk hukum Islam dan lainnya.
Apa
yang seharusnya kita lakukan? Inilah yang akan penulis kaji pada pembahasan ini
mengenai perlunya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu tertetu dengan ilmu yang
lain, demi kemajuan dan mengatasi problem pendidikan agama Islam, khususnya
PTAI di Indonesia.
Salah
satu ciri di PTAI adalah penelitian. Dengan penelitian itu harus mampu
mewujudkan kajian kritis, bahkan inovasi dan mampu menghasilkan sumbangan ilmu
pengetahuan (contribution of knowledge), baik merupakan pengembangan
maupun merupakan penemuan baru sama sekali.
Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks (hadharah
an-nas) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa di luar entitas keilmuan
mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praktis aplikatif yang faktual-historis-empiris
sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas problem kemanusiaan (hadharah
al-‘ilm) seperti social sciences,natural sciences dan humanities.
Selain entitas hadarah al-‘ilm, masih ada satu lagi entitas etik
filosofis (hadharah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling
bertegur sapa, tidak berdiri sendiri karena tidak ada satu disiplin keilmuan
yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya..
Oleh karena itu,
harus ada kesungguhan untuk mengadakan perubahan yang mendasar, sehingga
sebagai perguruan tinggi yang sesuai dengan predikat utamanya, perlu melakukan
minimal empat hal sebagai berikut :
Pertama,
pemanfaatan ilmu bantu untuk pemahaman ulang (reinterpretasi) ajaran Islam.
Ini meliputi ilmu sosial, humanities,
dan sain-teknologi. Dalam konteks pemanfaatan ilmu bantu untuk kajian Islam,
seberapa jauh hasil sain dan teknologi dapat dijadikan pertimbangan, dasar,
atau bahkan metode dalam penerapan hukum Islam, umpamanya.
Ilmu fiqh sebagai contoh, membutuhkan biologi dan laboratoriumnya ketika
membahas fiqh al-haidh.
Demikian pula untuk menentukan darah istihadah
tidak perlu dengan hitungan hari, seperti landasan berpikir ulama klasik; namun
cukup masuk laboratorium. Akan tetapi kemudian akan muncul pertanyaan,
bagaimana dengan pengukuran iddah, jika kebersihan kandungan seorang
mantan isteri daoat diketahui dengan mudah melalui laboratorium? Lalu akan
muncul penjelasan bahwa iddah menurut al-Qur’an itu tidak semata-mata
fisik berupa bersihnya rahim, namun ada nilai psikologis yang memerlukan waktu.
Dengan demikian
keberadaan ilmu bantu di PTAI merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis, bukan
sesuatu yang mati dan sekedar kepura-puraan formalitas.
Kedua,
mereformasi posisi beberapa ilmu (ilmu bantu itu), dari segi pengajarannya,
sampai dengan pengembangannya. Pada akhirnya, PTAI hendaknya mampu melahirkan
pemikiran yang bukan hanya menggunakan ilmu bantu tersebut untuk kajian Islam,
namun juga mampu menunjukan pemikiran Islam untuk pengembangan ilmu bantu tersebut.
Ini harus ada perubahan mendasar, sampai pada perubahan paradigma. Dengan
demikian. PTAI telah menunjukan kehidupan akademik, yang mampu membawa Islam,
bukan semata-mata hasil pemahaman ulama masa lalu diposisikan sebagai barang
mati yang dogmatik untuk ditaqlidi begitu saja.
Ketiga,
perlu merekontruksi yang diawali dengan dekontruksi kajian Islam di PTAI,
terutama sekali di Pascasarjana. menurut A. Qadri Azizy ; perlu ada
tahapan-tahapan dibawah nanti. Menurutnya yang dimaksud adalah ilmu- ilmu
keislaman yang sudah dianggap baku selama ini, sebagaimana ilmu-ilmu yang
menjadi spesialisasi di IAIN. Istilah ini lebih sempit dari pada “ilmu-ilmu
yang Islam” atau bahkan “ilmu Islam” yang bisa mencakup ilmu sosial dan
humanities pada umumnya. Tahapan-tahapan
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Hasil karya
ulama yang lalu yang selama ini ditempatkan sebagai doktrin atau sebagai hal
yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang
sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu (humanisasi
ilmu-ilmu keislaman), sehingga doktrin yang sakral tersebut menjadi sesuatu
yang bisa tersentuh manusia.
2.
Melihat hasil ijtihad
tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai, hasil
ijtihad inilah yang mempunyai kedudukan sebagai pemberi inspirasi dan contoh
dari produk para pemikir terdahulu yang telah memberi jawaban tantangan zaman
pada masanya atau contoh pemahaman dan interpretasi mereka terhadap wahyu,
lantaran dikelilingi oleh keadaan sosial yang ada. Oleh karena itu usaha
kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa lampau perlu di gairahkan,
bahkan suatu keharusan.
3.
Setelah mampu
menciptakan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Ini
harus dilandasi oleh kemampuan interpretasi hasil ijtihad tersebut, bukan
penolakan terhadapnya dan dilanjutkan dengan interpretasi, dan pada waktunya
akan ada tuntutan pembaruan (reform) terhadap pemahaman Islam dari
wahyu. Ijtihad bukan jargon yang didengung-dengungkan tanpa ada
realisasi yang serius. Ini hendaknya merupakan tanggung jawab dan konsekuensi
logis bagi sarjana muslim, setidaknya berangkat dengan model tematis (fi
al-maudhu’at). Kerjasama antar disiplin juga diperlukan.
Keempat,
mengembangkan disiplin ilmu-ilmu keislaman. Untuk itu terutama sekali membawa
ilmu keislaman yang dianggap hanya untuk akhirat ke alam dunia yang realistik
dan dalam hal-hal tertentu empirik. Mungkin tahap ini yang paling berat
dibandingkan dengan tuntutan dari ketiga hal atau tingkata yang harus dilakukan
diatas. Yang pertama menuntut PTAI agar mampu menjadikan ilmu-ilmu bantu
sebagai alat analisis atau metodologi dalam kajian Islam.
Yang kedua,
menuntut PTAI agar mampu menjadikan ilmu-ilmu keislaman agar dapat mengisi,
memperkaya, mengembangkan dan memberi ruh (sebagai subyek) terhadap ilmu-ilmu
bantu. Yang ketiga menuntut PTAI agar mampu merekontruksi diawali dari
dekontruksi ilmu-ilmu keislaman dan doktrin agama sebagai hasil pemikiran ulama
terdahulu. Yang keempat, menuntut PTAI agar mampu mengembangkan ilmu-ilmu
keislaman bukan hanya yang berkaitan dengan keakhiratan sebagai panduan
beribadah dalam pengertian sempit (ibadah mahdhah), namun juga
mampu menjadikan ilmu-ilmu keislaman sebagai panduan dan pedoman kehidupan di
dunia.
Ringkasnya, jika
kita sederhanakan maka sumber ilmu saat ini ada dua; Timur dan Barat atau bisa
disebut kitab kuning dan kitab putih. Integrasi yang menjadi visi PTAI di
Indonesia menuntut penguasaan kedua sumber tersebut, dan ini merupakan satu hal
yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Pada waktu yang sama juga
perlu dicatat bahwa pembatasan kajian hanya pada salah satu sumber bukan hanya
kurang baik dan kurang strategis tetapi akan mengancam eksistensi PTAI itu
sendiri dalam membangun dirinya sebagai kiblat ilmu pengetahuan. Sejarah
membuktikan bahwa maju tidaknya satu peradaban sangat ditentukan oleh kemampuan
peradaban itu sendiri dalam meramu dan mengembangkan ilmu yang berasal dari
berbagai budaya dan peradaban.
C.
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ilmu-ilmu ke-Islaman adalah produk ijtihad para ilmuan
(ulama/mujtahid). Dengan penempatan pada level yang demikian, maka
ilmu-ilmu ke-Islaman yang kita kenal sekarang ini adalah tidak identik dengan
wahyu. Dan bukan rahasia lagi bahwa
praktek pendidikan dan pengajaran agama Islam selama ini terlalu menekankan
pada sumber dan kebenaran tekstual. sehingga melupakan kenyataan bahwa ketika
gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan keimanan yang
berlandaskan teks itu dipraktekkan dan dioperasionalisasikan di lapangan, maka
secara otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi.
Perlu diketahui bahwa integrasi antara
ilmu umum dan ilmu agama itu pada dasarnya dilandaskan pada tauhidiq system,
yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Karena keyakinan
tauhid dan juga keyakinan akan nilai-nilai agama bisa lahir dari ilmu
apa saja termasuk ilmu yang selama ini digolongkan pada ilmu umum. Sebagai
masyarakat akademisi tentunya menjadi suatu tantangan untuk mewujudkan bahwa Islam
adalah rahmat seluruh alam, yang tetap memiki arah kemaslahatan dunia dan
akhirat.
Maka bukanlah sesuatu hal yang
mustahil apabila PTAI kelak menjadi kiblat ilmu pengetahuan dengan syarat ada
kesungguhan untuk mengadakan perubahan yang mendasar, diantaranya
reinterpretasi ajaran Islam, mereformasi posisi beberapa dari segi
pengajarannya, sampai dengan pengembangannya, merekontruksi yang diawali dengan
dekontruksi kajian Islam, serta mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Kontowijoyo,
Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1999.
Muliawan,
Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2005.
Minhaji,
Akh, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Suka-Press,2013.
Tholkhah,
Imam dan Ahmad Barizma, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.