TAFSIR ISRA'
MI’RAJ
Oleh: Saeful Bahri
Oleh: Saeful Bahri
Al-Qur’an memulai peristiwa Isrā’ Mi’rāj dengan
lafadz subḥānallah (Maha Suci Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya
(Muhammad) melintasi dimensi dan waktu hanya pada sebagian malam saja. Sebuah
ungkapan yang menunjukan peristiwa yang maha dahsyat, fantastik, dan luar biasa
yang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Dengan mengendarai Buraq,
ditemani Malaikat Jibri dan Mikail, Nabi Saw berangkat dari Masjid al-Harām
(Makkah) menuju Masjid al-Aqshā (Palestina). Kemudian melanjutkan perjalanannya
dengan mirqah menuju Sidrah al-Muntahā dan mendapatkan perintah
untuk melaksanakan shalat lima waktu. Sesaat setelah Nabi menginjakan kakinya
di bumi, kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya tersebut, maka
terpecahlah umat pada masa itu, sehingga menimbulkan banyak keraguan di antara
mereka, sebagian dari mereka ada yang beriman dan sebagian lagi menentang dan
memusuhi Nabi.
Hal ini dapat dimengerti, karena Isrā’ Mi’rāj Nabi Muhammad Saw adalah peristiwa agung yang
tidak mungkin dijangkau oleh nalar berpikir manusia, karena hanya keimananlah
yang akan bicara.
Tulisan ini akan membahas seputar
perjalanan penting Rasulullah Saw pada malam beliau di perjalankan oleh Alah
SWT melalui peristiwa yang disebut dengan Isrā’ Mi’rāj.
Isrā’ Mi’rāj
Salah satu mu’jizat terbesar yang
terjadi pada diri Rasulullah Saw adalah Peristiwa Isrā’ Mi’rāj. Makna
Isrā’
dari sudut pandang bahasa (lughat) adalah diambil dari kata maḍi
sarā-sirāyah-sarayānan. Artinya
adalah berjalan dimalam hari. Isrā’
secara istilah didevinisikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad Saw pada suatu
malam (sebagian malam) dari Masjid al-Harām (makkah) sampai ke Masjid al-Aqshā
(palestina).
Sebelum memulai pembicaraan
tentang kisah perjalanan Isrā’ Mi’rāj, terlebih dahulu penulis paparkan
tafsir surat al-Isrā’.
Peristiwa Isrā’ di dokumentasikan dalam QS.al- Isrā’ [17 ]:1, sebagai
berikut:
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha
Suci (Allah), yang telah Memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari
dari Masjid al-Harām ke Masjid al-Aqsā yang telah Kami Berkahi sekelilingnya
agar Kami Perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS.al- Isrā’ [17 ]:1).
Surat al- Isrā’ termasuk surat Makiyyah. Menurut aṣ-Sāwī surat ini juga
dikenal dengan nama surat Banī Isrā’īl dan Subḥān. Disebut surat Banī
Isrā’īl karena terdapat ayat-ayat yang mengetengahkan tentang Bani Isra’il
yang terdapat pada awal maupun akhir surat tersebut. Dan disebut surat Subhan,
karena ayat pertama dalam surat tersebut dimulai dengan kata “subḥāna”.
Oleh sebab itu, penamaan surat-surat dalam al-Qur’an biasanya diambil dari nama
dari sebagian isi surat tersebut. Jumlah ayatnya ada 110 (seratus sepuluh), atau
111 ayat, dan ada 8 ayat yang tidak termasuk Makiyyah, yaitu: ………..وإن
كادوا ليفتنونك
Ayat di atas dimulai dengan kata سُبْحَانَ
(subḥāna). Menurut
Ar-Rāzī, kata subḥāna adalah bentuk maṣdar dari kata sabbaḥa
sebagaimana ungkapan “sabbahtu tasbīḥan wa subḥānan”. Kata subḥāna
merupakan isim ‘alam yang digunakan untuk mensucikan (tanzīh)
Allah dari segala kekurangan dan ketidakberdayaan melakukan apapun yang
dikehendakinya. Aṣ-ṣāwī menyatakan bahwa, pemakaian kata tasbīh
dilakukan saat terjadinya peristiwa yang mempesona, luar biasa (ta’jīb)
dan diluar nalar kebiasaan (khāriq al-‘ādah). Menurut Ibnu Kaṡīr kata subḥāna
memiliki makna bahwa, Allah SWT memuji diri-Nya sendiri, serta mengagungkan akan
kedudukan-Nya, karena kekuasan yang dimilki-Nya tidak dapat dikuasai oleh
seorang pun.
Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa, pengucapan tasbih pada ayat tersebut dilakukan saat terjadi
perkara-perkara yang besar.
Kata الَّذِي
(al-lażī) merupakan isim
mauṣūl yang disandarkan (muḍaf) pada subḥāna. Sedangkan kata أَسْرَى
(asrā) memiliki dua bahasa
(lughat) yakni sarā dan asrā yang maknanya berjalan pada
malam hari.
Selanjutnya, kata بِعَبْدِهِ
(bi 'abdihi) yakni
Mahasuci Allah yang telah memperjalankan (hamba-Nya). Dalam ayat di atas, Allah SWT tidak mengatakan nabi-Nya atau
rasul-Nya, hal ini dimaksudkan untuk memberikan isyarat atas dua hakikat
penting.
Pertama,
penggunaan kata bi ‘abdihi (hamba-Nya) memberikan pemahaman bahwa semua
makhluq Allah adalah hamba-Nya, dan pengabdian kepada-Nya merupakan kemulian
yang tiada tara. Karena hakikatnya hamba (‘abdun) kepada Tuhannya (rabb)
adalah pengabdian kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya. Maka orang yang mengabdi
dengan ikhlas ia akan mendapatkan kebahagiaan. Oleh sebab itu, Allah SWT ingin
menyampaikan pesan bahwa pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi (maqāmat
asy-syarīfah) yang dapat dicapai oleh seorang hamba. Di sisi lain,
pemakaian kata ‘abdihi juga dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari
kesesatan sebagaimana yang dilakukan umat Nabi Isa as yang menganggap bahwa Isa
adalah anak Tuhan.
Kedua,
penggunaan kata ‘abdihi dalam surat al- Isrā’
merupakan ungkapan yang utuh yang mencakup ruh dan jasad, oleh sebab itu, Isrā’ adalah peristiwa yang hakiki yang dialami
oleh Rasulullah Saw dalam keadaan terjaga dan bukan mimpi.
Mengenai peristiwa Isrā’ Mi’rāj apakah melibatkan fisik dan ruh,
atau hanya ruhnya saja memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa, Rasulullah Saw diperjalankan dengan ruh-nya (fi al-manām),
seraya meyakini bahwa mimpi para Nabi adalah sebuah kebenaran (haq). Hal
ini merujuk pada pernyataan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ketika ditanya tentang
isra’nya Nabi Saw, maka jawabnya adalah Isrā’
adalah mimpi dan yang benar (haq) dari Allah SWT.
Selain itu, Aisyah ra, juga pernah
menyatakan bahwa, pada malam tersebut ia tidak kehilangan jasad Rasulullah Saw.
Pendapat yang serupa juga didisasarkan pada hadis dari Anas bin Malik, ia
berkata bahwa :
“Pada malam Rasulullah diisrā’kan dari Masjid al-Harām, beliau didatangi
tiga orang sebelum menerima wahyu yang pada saat itu beliau tengah tidur di
Masjid Harām……………..pada akhir kisah ini, Anas mengatakan, kemudian Rasulullah
bangun sedang beliau berada di Masjid al-Harām”.
Pendapat kedua menyatakan
bahwa, peristiwa Isrā’ terjadi dengan ruh
dan jasad (yaqaḍah), beberapa alasan dikemukakan oleh para ulama untuk
mendukung pendapat tersebut.
Pembukaan surat al-Isrā’ dimulai dengan kata سُبْحَانَ, pengucaan
tasbih dilakukan saat terjadi perkara-perkara yang besar. Hal ini
dilakukan untuk menampik anggapan yang mengatakan bahwa, peristiwa Isrā terjadi dalam kondisi tidur (mimpi). Jika
Nabi Muhammad Saw dalam kondisi tidur, berarti hal tersebut bukanlah kejadian
yang luar biasa dan bukan sesuatu yang penting.
Al-Qurṭubī dalam tafsirnya
memberikan interpretasi terhadap ayat ( سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ) bahwa, seandainya Rasulullah Saw
dalam kondisi tidur, maka firman Allah dalam ayat tersebut tentu menggunakan “rūhi
abdihi”. bukan menggunakan kata ‘abdihi yang diistilahkan dengan
manusia yang terdiri dari ruh dan jasad.
Demikian pula dalam al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
Penglihatan
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melaumpainya.(QS. an-Najm: 17).
Pada ayat di
atas, kata al-baṣar bermakna
alat material berupa penglihatan, jika dilakukan dalam kondisi tidur maka bukan
merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah dan bukan pula merupakan mu’jizat.
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga
menyatakan:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ
Dan kami tidak menjadikan pandangan mata yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia. .(QS. al- Isrā’[17]: 60).
Menurut Ibnu Abbas sebagaimana
dikutip Ibnu Kaṡīr mengatakan bahwa, kata “ar-ru’yā” dalam ayat tersebut
bermakna material berupa pandangan mata (keadaan terjaga) yang diperlihatkan
kepada Rasulullah pada saat di-Isrā’ kan
Allah.
Peristiwa Isrā’ terjadi dengan ruh dan jasad (yaqaḍah) juga
dikuatkan pula dengan tema sentral kendaraan Rasulullah Saw yang dipakai dalam
peristiwa tersebut adalah berupa buraq. Ulama memberikan penafsiran
bahwa, buraq merupakan kendaraan yang memiliki kecepatan tingkat tinggi laksana
kilat yang bersinar, di mana buraq merupakan kendaraan untuk jasad,
karena ruh tidak membutuhkan kendaraan yang dinaiki untuk bergerak menuju
tempat tujuan.
Bertolak dari beberapa penjelasan
di atas, maka seandanya Isrā’ hanyalah
mimpi atau hanya ruhnya saja, tentu bukanlah peristiwa yang menakjubkan,
istimewa, dan tidak akan menimbulkan perdebatan ataupun fitnah bagi manusia. Pengucapan
tasbih, penggunaan kata ‘abdihi, kendaraan buraq, dan
beberapa alasan lain yang memperkuat merupakan bukti bahwa peristiwa tersebut merupakan
kejadian yang luar biasa atas kehendak Allah SWT, dan bukan sekedar mimpi Nabi
Muhammad Saw belaka.
Dengan demikian, pendapat yang
ṣahīh menurut mayoritas ulama adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa,
Rasulullah Saw diperjalankan pada malam Isrā’
dengan melibatkan ruh dan jasadnya dalam keadaan terjaga (yaqaḍah),
bukan tidur.
Kata لَيْلا
(lailan) dibaca nashab sebagai ẓaraf,
maknanya sebagian malam. Penggunaan nakirah pada kata lailan
(tanpa alif lam (al)/ma’rifat) menunjukan makna bahwa,perjalanan Isrā’ yang dilakukan ditempuh dalam masa yang
sedikit (taqlīl al-muddat al-isrā’). Atas pandangan tersebut, para ulama
memberikan interpretasi dengan batasan waktu. Ada yang berpendapat hanya 4
(empat) jam perjalanan, ada pula yang berpendapat membutuhkan waktu 3 (tiga)
jam, dan bahkan dari mereka ada yang memberikan batasan waktu yang sebentar (lahẓah).
Kata مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى (min
al-masjid al-harām ilā al- Masjid al-Aqshā) artinya Allah SWT memperjalankan
Nabi Muhammad Saw pada sebagian malam dari Masjid al-harām yang terletak di
kota Makkah sampai ke Masjid al-Aqshā yaitu Bait al-Maqdis yang terletak
di Iliya (sekarang:Palestina) yang merupakan pusat para Nabi sejak Nabi Ibrahim
as. Mereka berkumpul di Bait al-Maqdis, dan Nabi Muhammad Saw di daulat
menjadi Imam shalat (tahiyatul masjid) di sana. Hal ini menunjukan
bahwa, Nabi Saw seorang pemimpin yang agung (imam al-a’dzam) dan
terdepan (imam muqaddam).
Masjid al-Aqshā menjadi tempat
akhir perjalanan Isrā’ (ghāyah al-isrā’). Disebut al-Aqshā karena
letaknya yang jauh dari Masjid al- Harām. Masjid al-Aqshā adalah masjid kedua
yang dibangun di muka bumi setelah Masjid al- Harām. Pembangunan Masjid al-
Aqshā oleh Nabi Adam as. Jarak pembangunan Masjid al- Harām dengan Masjid
al-Aqshā adalah 40 tahun. Lalu perehaban Masjid al-Aqshā dilanjutkan oleh Nabi
Sulaiman as dengan mengadakan perbaikan-perbaikan akibat terkena imbas banjir
pada masa Nabi Nuh as, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ibrahim as pada
saat mendirikan kembali pilar-pilar Bait al-Harām yang rusak.
Adapun hikmah perjalanan (Isrā’)nya Nabi Saw sampai di Masjid al-Aqshā
adalah untuk menampakan kemuliaan Nabi Saw dari seluruh para Nabi sebelumnya
dengan menjadikan beliau Imam shalat di tempat tersebut. Dari kejadian ini
terdapat pelajaran yang berharga bahwa, seorang yang didahulukan untuk berada
di depan (menjadi pemimpin) adalah mereka yang menjadi tuan rumah, karena ia
merupakan pemimpin di tempatnya, dan lebih layak di dahulukan dari pada yang
lain. Tentu saja dengan mempertimbangkan kredibilitas, integritas dan
memang kompeten dibidangnya.
Selanjutnya kata الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ (yang
telah kami berkahi sekelilingnya). Artinya Allah SWT memberikan keberkahan akhirat
(ukhrawi) yakni tempat tersebut merupakan pusat para Nabi sejak Nabi
Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan lain-lain. Dan Allah SWT memberikan keberkahan dunia
(dunyawi) bagi penduduk-penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut,
seperti melimpahnya buah-buahan, tanaman yang subur dan sungai-sungai yang
mengalir.
Kataلِنُرِيَهُ
مِنْ آيَاتِنَا (agar Kami Perlihatkan kepadanya
sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami). Huruf lam yang terdapat pada
kata لِنُرِيَهُ adalah
lam hikmah, artinya hikmah atau tujuan Rasulullah Saw diisra’kannya oleh
Allah SWT adalah untuk melihat sebagian bukti atau tanda-tanda (ayat-ayat)
kebesaran Allah SWT dan ayat-ayat yang menakjubkan dan mempesona (al-‘ajāib
al-fakhimah). Hal ini menunjukan atas keagungan dan kekuasaan Allah SWT.
Kata إِنَّه
هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير (Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar, Maha Melihat). Maksudnya Allah SWT adalah Tuhan yang
mendengar atas apa yang dialami Nabi Saw saat beliau didustakan dan dicaci maki
oleh penduduk Makkah tentang diperjalankannya Nabi Saw dari Masjid al-Haram ke
Masjid al-Aqshā. Maka Allah memberikan kenikmatan kepada Nabi Saw dengan memperjalankan
(Isrā’) dari Masjid al-Harām ke Masjid
al-Aqshā dan (Mi’rāj) naik ke langit disambut para para Nabi, dan melihat
keindahan alam malakūt
yang paling tinggi dari jagat raya ini yang tiada bandingannya, dan sebagai
puncaknya bertemu dengan Allah SWT.
Sedangkan Mi’rāj secara bahasa berarti al-‘urūj atau aṣ-ṣu’ūd (naik). Pengertiannya adalah naiknya Nabi Muhammad Saw dari
Masjid al-Aqshā (Bait al-Maqdis) menuju
langit ke tujuh sampai ke tempat yang ditentukan yakni Sidrat al-Muntahā.
Menurut Ibnu Kaṡīr,
Mi’rāj (naik) nya Nabi Saw dari Masjid
al-Aqshā menuju langit tidak menggunakan
Buraq sebagaimana yang diasumsikan sebagian umat Islam. Sebab, buraq hanya
menemani Nabi sampai di Masjid al-Aqshā dan ia ditambatkan
di tiang (depan pintu) masjid (sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Nabi
terdahulu saat menambatkan kendaraan yang dinaikinya) untuk di naiki kembali
menuju Makkah setelah selesai dari perjalanan Mi’rāj.
Sarana yang digunakan Nabi Saw untuk
melanjutkan perjalanan dari Masjid al-Aqshā menuju langit sampai naik ke Sidrat
al-Muntahā adalah
berupa mirqah (sejenis tangga) yang dipersiapkan dan didatangkan dari
sorga firdaus yang berhiaskan emas dan perak.
Peristiwa Mi’rāj didokumnetasikan
dalam QS. An-Najm[53] sebagai berikut:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِندَسِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥)
Dan sungguh, dia (Muhammad) telah
melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul
Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal (QS. an-Najm [53]:13-15).
Makna ayat di atas adalah bahwa,
Rasulullah Saw melihat[1]
bentuk asli Malāikat
Jibrīl
(yang memiliki enam ratus sayap yang masing-masing sayap
menutupi kaki langit, dari dalam sayap jibril bertaburan butir-butir mutiara
dan permata) di Sidrat al-Muntahā
untuk yang kedua kalinya pada malam beliau di Mi’rajkan oleh Allah SWT.
Sebelumnya Rasulullah Saw sudah pernah melihat bentuk asli Malāikat
Jibrīl
pada waktu menerima wahyu pertama kali di gua Hira.
Sidrat
al-Muntahā
merupakan batas akhir sesuatu yang dinaikan dari bumi, dan batas akhir sesuatu
yang turun dari tempat yang ada di atas Sidrat
al-Muntahā.
Tempat tersebut merupakan hukum tertingi yang dicapai oleh makhluk Allah SWT,
dan Rasulullah Saw telah mencapainya.
Lalu apakah Rasulullah Saw melihat
Allah SWT saat malam beliau di Israkan? Imam Muslim meriwayatkan dari Abu
Dzarr, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Apakah engkau
pernah melihat Rabb-mu? ‘Beliau menjawab: نورا أنى أراه (dalam
bentuk cahaya sesungguhnya aku telah
melihat-Nya).
Dan ia juga meriwayatkan dari
Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: “Aku pernah katakan kepada Abu Dzarr:
‘Seandainya aku sempat melihat Rasulullah Saw, niscaya aku akan bertanya kepada
beliau. ‘Maka Abu Dzarr bertanya” ‘Tentang masalah apa yang akan engkau
tanyakan? ‘Ia menjawab: ‘Aku akan menanyakan: ‘Apakah engkau telah melihat
Rabb-mu? ‘Abu Dzarr berkata: ‘Aku telah menanyakan hal itu kepada beliau, maka
beliau menjawab: رأيت نورا ‘Aku telah melihat cahaya.”[2]
Dengan demikian, Rasullah Saw melihat Allah SWT (ru’yatullah)
pada malam beliau berjumpa dengan-Nya tidaklah terjadi, sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadis di atas. Hal ini juga sejalan dengan maksud dari QS.
An-Najm [53]:18, dan al- Isrā’ [17 ]:1.
لقد رأى من ءاياته الكبرى
Sesungguhnya ia telah melihat
sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang paling besar.(
QS. An-Najm [53]:18).
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
Agar
Kami Perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS.al-
Isrā’ [17
]:1).
Seandainya Rasulullah Saw melihat
Rabbnya, niscaya hal itu akan diberitahukan kepada umat manusia, dan akan
menjadi tema perbincangan yang sengit di antara mereka. Wallahu A’lam.
Kisah perjalanan Isrā’ dan Mi’rāj Nabi Muhammad Saw dari Masjid
al-Harām ke Masjid al-Aqshā, dilanjutkan ke Sidrat
al-Muntahā dituturkan
di bawah ini:[3]
Suatu
malam, sebelum Nabi Saw di Isrā’kan
oleh Allah SWT. Nabi Saw sedang berbaring di hātim[4] bersama
Hamzah dan Ja’far bin Abu Thalib. Kemudian didatangi oleh Malāikat
Jibrīl,
Mīkāīl
dan lainnya, dan membawanya ke sumur zamzam, lalu dibedah tubuh
Nabi dari bawah leher sampai ke bawah pusarnya, dan dikeluarkan hatinya,
kemudian disucikan dengan air zamzam (tiga kali). Mīkāīl lalu membawakan sebuah baskom
terbuat dari emas yang berisi penuh dengan hikmah dan iman. setelah menuangkan sifat
santun, ilmu, keimanan dan keislaman. Kemudian dikembalikan lagi seperti
semula. Dan setelah Malāikat Jibrīl memasang cap kenabian pada sepasang
lengan Nabi Saw, didatangkan Buraq[5]
lengkap dengan kendali dan tali kekang. Barulah Nabi Saw, berangkat dari
Masjid al-Harām
(Makkah) dengan mengendarai Buraq di sertai Malāikat Jibrīl dan Mīkāīl.
Di
tengah perjalanan Nabi dan kedua Malaikat tersebut berhenti di Madinah untuk menjalankan
shalat 2 rakaat, lalu melanjutkan perjalanan dan berhenti lagi di Madyan[6] untuk
menjalankan shalat 2 rakaat. Setelah itu melanjutkan perjalanan kembali dan
berhenti lagi di gunung Turisina[7].
Selanjutnya rombongan tiba di sebuah tanah lapang (Betlehem)[8] yang
memperlihatkan dengan jelas beberapa bangunan istana Syam/Syiria dan berhenti
untuk melakukan shalat 2 raka’at. Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi hingga
sampai di Masjid
al-Aqshā (Bait
al-Maqdis/Palestina).
Sementara
itu Buraq di tambatkan di tiang (depan pintu) Masjid, untuk di gunakan saat
kembali ke Makkah. Di Masjid al-Aqshā sudah berkumpul para Nabi-nabi
terdahulu, dan Nabi Saw di daulat menjadi Imam untuk melaksanakan shalat 2
rakaat. Setelah selesai shalat, sebelum melanjutkan perjalanan (Mi’rāj),
Nabi merasa haus, dan ditawari oleh Malāikat Jibrīl untuk memilih minuman antara
arak dan susu. Dan minuman susulah yang dipilih Nabi[9].
Bersama
Malāikat
Jibrīl,
Nabi Saw dari Masjid Aqshā dibawa naik menggunakan mirqah (tangga) menuju
pintu langit yang 1 (pertama) atau langit dunia. Sampai di langit 1
(pertama), beliau berjumpa dengan Nabi Adam as, kemudian naik lagi sampai di
langit yang ke 2 (dua), dan berjumpa dengan Nabi Isa as, dan Nabi Yahya. lalu
naik ke langit ke 3 (tiga), bertemu dengan Nabi Yusuf as. Saat sampai di
langit yang ke 4 (empat), beliau berjumpa dengan Nabi Idris, kemudian naik
ke langit yang ke 5 (lima) dan berjumpa dengan Nabi Harun as.
Sesampainya di langit ke 5 (lima), beliau naik lagi hingga sampai ke
langit ke 6 (enam), disana bertemu dengan Nabi Musa as. Pada langit yang
ke 7 (tujuh), Nabi Saw bertemu dengan Nabi Ibrahim as.
Setelah
ada di langit ke 7 (tujuh),Nabi Muhammad Saw dan Malāikat
Jibrīl
kemudian naik ke Sidrat al-Muntahā. Di Sidrat al-Muntahā,
Nabi Saw, diperlihatkan kondisi telaga kautsar, surga dan neraka. di surga Nabi
Saw, melihat beragam kesenangan yang ada di surga. Demikian halnya dengan
siksaan yang ada di neraka.
Setelah
dari Sidrat al-Muntahā, kemudian naik ke Mustawā,
disana beliau mendengar suara goresan-goresan qalam yang
digunakan untuk menulis qadha’ (keputusan) dan hukum-hukum Allah
di lauh al-mahfudz. Saat di mustawā,
Malāikat
Jibrīl
berkata kepada Nabi Saw: “Saya tidak bisa mengantarkan engkau ke atas lagi
untuk menghadap Allah, karena saya nanti bisa terbakar oleh
nurullah”.
Kemudian Nabi Saw, naik ke atas
lagi dengan diliputi oleh awan sampai ke nur al-Arsy, menghadap
Allah SWT beliau mendapatkan perintah untuk melaksanakan shalat 50 waktu dalam
sehari semalam.
Setelah itu, Nabi Saw turun
sampai ke langit ke 7 (tujuh) bertemu dengan Nabi Ibrahim, namun
beliau tidak memberikan pesan. Lalu Nabi Saw turun ke langit ke 6(enam),
bertemu dengan Nabi Musa as, atas saran Nabi Musa, Nabi Saw, menghadap Allah
Swt kembali, memohon keringanan. Hal ini dilakukan sebanyak sembilan kali.
Sehingga menjadi lima waktu.
Dari langit
ke 6 (enam), Nabi Saw dan Malaikat Jibril kemudian turun sampai ke
langit yang ke-1 (pertama), hingga ke Masjid al-Aqsha (baitul
maqdis). Lalu melanjutkan perjalanan menaiki Buraq menuju Makkah.[]
Setelah
shubuh, Nabi Saw menceritakan pengalaman Isrā’ dan Mi’rāj kepada
pengikutnya dan masyarakat Makkah.
Sebagian
mereka ada yang beriman, ada pula yang mencibir dan menentang, bahkan menduduh
Nabi membuat cerita-cerita palsu. Termasuk diantara mereka yang menentang
adalah Abu Lahab. Dan orang yang pertama kali percaya dan iman adalah sahabat
Abu Bakar, dari sinilah kemudian julukan as- Ṣidīq melekat
padanya.
Di
dalam QS.al- Isrā’ [17 ]:60, Allah
SWT berfirman:
وَمَاجَعَلْنَا
الرُّؤيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلاَّفِتْنَةً لِّلنَّاسِ
Dan
Kami tidak menjadikan (penglihatan yang dialami Rasulullah Saw. pada waktu
malam Isra dan Mi’raj) yang telah Kami Perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai
ujian bagi manusia penglihatan yang maksudnya. (QS.al- Isrā’ [17 ]:60).
Wallahu A’lam[]
REFRENSI
Aṣ-Sāwī,
Ahmad bin Muhammad, Tafsīr Hāsyiyah as- Şāwī ‘alā Tafsīr al-Jalālain. Semarang:
Toha Putera,t.t.
Ar-Rāzī, Muhammad Fakhruddin, Tafsīr Fakhri ar-Rāzī, Beirut: Dār al-Fikr,1981.
Al-Qurṭubī,
Syamsuddin al-Jāmi’ li ahkām al-Qur’an, Riyadh: Dar ‘Alim al-Kutub,2003.
Al-Naisapuri,
Muslim bin al-Hajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Baerut: Dar al-fikr, t.t.
Dardīri, Sayyid Ahmad Syaraḥ
Bainamā Qiṣṣat al-Mi’rāj, Semarang: Toha Putera,t.t.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya:Danakarya,2004.
Kaṡīr,
Ibn Abu al-Fidā Isma’il bin ‘Umar, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, Dār
at-Taibah li an-Nasyr wa at-Tauzi’,t.t.p.,t.t.
Munawir, Ahmad Warson al-Munawir Kamus bahasa Arab
–Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif,1997.
Al-Qādhi, Abdurrahīm
Ahmad, Daqāiq al-Akhbār,
Semarang: Toha Putera,t.t.
[1]
Pada QS. An-Najm [53]: 8 disebutkan bahwa, Nabi Saw melihat Malāikat Jibrīl sejarak dua
ujung busur panah atau lebih dekat lagi.
[2] Lihat, selengkapnya Muslim bin al-Hajjāj Al-Naisapuri, Ṣaḥīḥ
Muslim, (Baerut: Dar al-fikr, t.t), jilid I Kitab Iman (hadis no: 291 dan
292).
[4] Hatim ialah hijr ka’bah atau
dindingnya,letaknya menurut qaul yang Ṣaḥīḥ antara rukun dan zamzam dan
maqam Ibrahim. Sebagian riwayat menyatakan, pada malam itu Nabi Saw berada
di rumahnya Umi Hani (puteri pamannya)..
[5]
Buraq adalah kendaraan yang dinaiki Nabi Saw pada malam di Israkan. Menurut
Sa’id bin Musayyab bahwa, Buraq juga menjadi kendaraan para Nabi-nabi Allah
SWT, termasuk kendaraan yang dipakai Nabi Ibrahim as ketika ia pergi menuju Bait
al-Haram. Buraq digambarkan seekor binatang yang berwarna putih yang lebih
tinggi dari pada keledai dan lebih pendek dari pada bighal. Disebut. Buraq,
karena memiliki kecepatan terbang super cepat seperti kilat (al-barq).
Ada yang mengatakan (qīl) bahwa, Buraq mempunyai 2 buah sayap yang
digunakan untuk terbang, wajahnya seperti wajah manusia, lisannya seperti orang
Arab, alisnya lebar, tanduknya besar,kedua telinganya tipis, diciptakan dari
zabarjud hijau, kedua matanya hitam bagaikan bintang yang bersinar,
ubun-ubunnya dari yaqut merah, dan ekornya seperti sapi dilapisi emas.
[6] Nama desa di daerah Syam/Syiria, tempat tersebut dulu merupakan tempat
singgah Nabi Musa as saat keluar dari Mesir karena khawatir akan kekejaman
Fir’aun dan sekutunya.
[8]
Tempat Nabi Isa as dilahirkan.
[9] Malaikat Jibril menuturkan:
minuman susu adalah perlambang agama Islam, jika engkau memilih arak, maka
kelak umatnya akan menjadi manusia yang durhaka.