Jumaat, 17 Januari 2014

Atas Pertolongan Allah Swt

Atas Pertolongan Allah Swt


Seseorang terkadang berusaha untuk menolong dirinya sendiri akan tetapi usaha tersebut gagal, dan adakalanya seseorang beranggapan bahwa keberhasilan dan kemenangan yang di raihnya adalah berkat kerja keras dan kepandaiannya dalam mengatur aktivitasnya.
Akan tetapi perlu di ingat bahwa keberhasilan yang hakiki tidak akan terwujud begitu saja kecuali atas pertolongan Allah Swt kepada hamba-Nya.

Wuhaib bin al-Ward al-Makki (w.153 H) pernah menegaskan :

نصرة الله لعبده خير من نصرته لنفسه

"Pertolongan Allah Swt kepada hamba-Nya itu lebih baik daripada pertolongannya terhadap dirinya".

Bila Cinta Bicara

Bila Cinta Bicara
Cinta memang suatu perasaan yang dapat mewujudkan kebahagiaan sesama hamba yang saling mencintai. Ia dapat menanamkan kasih sayang dan kecintaan di dalam jiwa mereka, ruangan yang sempit bagaimanapun akan terasa leluasa dan nyaman jika cinta itu berada. Bagi para pecinta duduk tidak akan terasa sempit karena tempat duduknya di penuhi cinta.
Pepatah mengatakan:
"Lubang jarum (yang ditempati) orang-orang yang saling mencintai bagaikan berada di lapangan luas".

Oleh sebab itu tiada lagi kata sempit, gelisah dan susah jika cinta yang bicara.

Dzun Nun al-Mishri (w.245 H), pernah menuturkan :

ما ضاق مجلس بمتحابين

"Tidaklah terasa sempit, suatu majlis dari kalangan orang yang saling mencintai (karena Allah)".

Konsep dan Prospek Ilmu Keislaman Integratif

KONSEP DAN PROSPEK ILMU KEISLAMAN INTEGRATIF
A.           PENDAHULUAN
Studi Islam sudah terjadi sejak lslam itu sendiri datang dibumi dimana studi Islam itu dilakukan. Sudah barang tentu awalnya dengan cara yang sangat sederhana, sesuai dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan.[1]
Setiap kajian di UIN harus menghubungkan, mengaitkan, bahkan jika mungkin menyatukan antara apa yang selama ini dikenal dengan ilmu Islam dengan ilmu umum, melalui dialektika segitiga: tradisi teks (hadharah an-nash), tradisi akademik-ilmiah (hadharah al-‘ilm) dan tradisi etik-kritis (hadharah al-falsafah).[2] Jadi, sudah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separeted entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yang tunggal (single entity). Tingkat peradaban kemanusiaan saat ini yang di tandai dengan semakin melesatnya kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, tidak memberi altemasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu pada level filosofis, materi, strategi atau metodologinya.[3]
Namun seperti apakah realitas keimuan kita? Dimana menurut penulis saat ini, ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di PTAI hanya berkisar pada pengantar dan devinisi dan jauh dari analisis dengan disiplin ilmu lain yang bersangkutan. Mudah-mudahan makalah ini dapat menguak tentang konsep dan prospek ilmu keislamaman integratif.
B.            PEMBAHASAN
1.             Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman
Ilmu-Ilmu Ke-Islaman
Dan ketika kita bicara filsafat ilmu, maka menurut gagasan Waryani Fajar Riyanto[4]; tentang filsafat ilmu integral harus juga mencakup aspek-aspek sebagai berikut : ontologi (objek ilmu), epistemologi (subjek ilmu) dan aksiologi (nilai ilmu),sebab membicarakan filsafat ilmu ,adalah juga membicarakan tentang hubungan antara subjek, objek dan hubungan diantara keduanya.
Filsafat ilmu, dengan titik tekan epistemologi ilmu,tidak cukup jika hanya mencakup dimensi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan saja. Tetapi juga harus memasukkan ilmu-ilmu kealaman. Disinilah pentingnya antara prinsip-prinsip ilmu qauliyah (normatitivitas), kauniyah (kausalitas) dan nasfsiyah (historitas),
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ –٥٣
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala afaq (kauniyah atau natural science) dan pada diri mereka sendiri (nafsiyah atau social science), hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an (qauliyah atau religious science) itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa sesuingguhnya Tuhanmu (tauhid integratif) menjadi saksi atas segala sesuatu.[5]
            Berdasarkan ayat diatas, maka filsafat ilmu dalam al-Qur’an mencakup ilmu-ilmu kauniyah atau natural science, ilmu-ilmu nafsiyah atau social science dan ilmu-ilmu keagamaan atau religios science, di integrasikan oleh pilar tauhid atau ketuhanan.
Menurut Nasuka, sebagaimana dikutip Waryani Fajar Riyanto.[6], bahwa yang dimaksud ilmu-ilmu ke-Islaman adalah ilmu-ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu agama Islam sendiri adalah keseluruhan pengetahuan yang disusun secara sistematis dan metodis yang mencakup tentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ruang lingkup ilmu-ilmu agama Islam (relegious knowledge), misalnya mencakup bidang akidah (ilmu kalam), syari’ah (ilmu fiqih), dan akhlak (ilmu tasawuf)
Kalau di Barat ilmu berpijak dari suatu premis kesangsian, maka dalam level wahyu, ilmu-ilmu ke-Islaman bersumber pada premis keyakinan, jadi kebalikan. Disini pula pembicaraan secara akademik sering macet, lantaran sudah di patoki dengan wahyu tadi. Kita sering terjebak oleh jerat kita sendiri bahwa ilmu-ilmu ke-Islaman identik dengan wahyu; tasawwuf identik dengan wahyu, dan seterusnya.[7]
Menurut Amin Abdullah[8] selama ini praktek pendidikan dan pengajaran agama Islam terlalu menekankan pada sumber dan kebenaran tekstual. Para pendukung ilmu ini melupakan kenyataan bahwa ketika gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan keimanan yang berlandaskan teks itu dipraktekkan dan dioperasionalisasikan di lapangan, maka secara otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi. Ibn Rusyd pernah mendokumentasikan berbagai model pemahaman dan interpretasi yang terkait dengan persoalan ibadah dalam pemikiran keislaman dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid.
Menurut A. Qodri Azizy[9] di dalam Islam, munculnya ilmu-ilmu ke-Islaman adalah dalam rangka memahami wahyu untuk dipraktekkan. Wahyu yang di dalam wujudnya adalah al-Qur’an, atau katakanlah wahyu sendiri adalah hudan, bukan proposisi, bukan buku undang-undang (not a book of code), bukan teori, bukan hipotesa, bahkan bukan asumsi dalam kadarnya yang “ilmiah”, yang berarti bisa diobrak-abrik oleh manusia dengan kedok “ilmiah” pula. Bukankah ciri ilmiah itu bisa dan sah serta mudah untuk ditolak secara ilmiah pula? Sedangkan ilmu-ilmu ke-Islaman adalah produk ijtihad para ilmuan (ulama/mujtahid). Dengan penempatan pada level yang demikian, maka ilmu-ilmu ke-Islaman yang kita kenal sekarang ini adalah tidak identik dengan wahyu, namun sudah menurun pada level hasil ijtihad (produk) manusia.
Dengan demikian, selain berbicara tentang esensi wahyu tadi, maka keberadaan ilmu-ilmu ke-Islaman tersebut ditempatkan pada posisi yang tidak jauh, kalau tidak dikatakan sama, dengan ilmu-ilmu umum (‘sekuler”) yang selama ini kita kenal, setidaknya dalam rangka pembidikan epistemologi ini. Tentu kita harus sadar akan adanya perbedaan esensial sebagai konsekuensi adanya sumber berupa wahyu Allah, meskipun dalam  prakteknya tidak mustahil akan memperoleh hasil paralel.
Demikian pula, kita harus menyadari bahwa wahyu sebagai dasar tidak berarti kaku dan sempit, namun dapat pula berarti pembatas, ketika akal diperankan secara wajar, sesuai dengan ajaran wahyu itu sendiri. Jadi, nantinya akan kita lihat terjadinya keseimbangan antara deduktif, berdasarkan dalil nashsh, dan induktif (empirik) berdasarkan akal dan dalil kauniyah.
Masih menurutnya, bahwa kajian ilmiah untuk ilmu-ilmu ke-Islaman tetap bisa dilakukan. Demikian pula premis kesangsian juga bisa diterapkan. Tentu saja kita harus membatasi wilayah kajian kita.
Pertama, Kita tidak akan mengacak-ngacak al-Qur’an dan hadis sebagai wahyu. Bahkan juga bisa kita batasi, tidak perlu menggugat kodifikasi al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh Arkoun didalam bukunya Rethinking Islam. Oleh karena perwujudan ijma’ shahabat sudah jelas.
Kedua, Yang menjadi kajian adalah produk manusia, meskipun dianggap “manusia suci”, Dengan demikian ,maka semua disiplin ilmu-ilmu ke-Islaman bisa menjadi jangkauannya  lantaran ilmu-ilmu tersebut juga tidak lepas dari pada hasil kajian atau penelitian manusia. Jenis-jenis ilmu yang berkaitan dengan hadis (ilmu rijal al-hadis, ilmu dirayah, ilmu al-jarh wa al-Ta’dil), bahkan juga kodifikasi hadis itu sendiri adalah hasil ijtihad atau karya manusia. Oleh karena ilmu-ilmu tersebut adalah produk manusia, maka bisa menjadi lapangan kajian ulang secara kritis. Dalam level seperti ini, maka premis kesangsian tidak harus ditolak. Statement-statement yang sangat baku pun bisa dikaji ulang, kalau statement tersebut merupakan produk ijtihad manusia.[10]
Menurut M. Amin Abdullah[11] terdapat tiga wilayah keilmuan dalam Islam.
1.      Wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat dan para ahli pada bidangnya dan oleh anggota masyarakat pada umumnya. Wilayah praktik ini umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan, yang pentingkan disini adalah pengalaman. Pada level ini perbedaan antar agama dan tradisi, agama dan budaya, antara belief dan habits of mind sulit dipisahkan.
2.      Wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang disebut-sebut ulum al-tafsir, ulum al-hadis, islamic thaught (kalam, falsafat dan tasawuf), hukum dan pranata sosial (fiqh), sejarah dan peradaban Islam, pemikiran Islam, dan dakwah Islam ada pada wilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama Islam yang diabstrasikan baik secara deduktif dari nash-nash atau teks-teks wahyu manupun secara induktif dari praktik-praktik keagamaan yang hidup dala masyarakat muslim era kenabian, sahabat, tabiin  maupun sepanjang sejarah perkembangan  masyarakat muslim dimana pun mereka berada.
3.      Telaah kritis , yang lebih populer disebut meta discourse, terhadap perkembangan jatuh bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua. Lebih-lebih jika teori-teori pada disiplin tertentu, ulum al-Qur’an umpamanya  dialogkan dengan teori-teori yang biasa berlaku pada wilayah lain, ulum al-hadis, sejarah peradaban Islam dan seterusnya. Teori yang berlaku pada wilayah kalam didialogkan dengan teori yang berlaku pada wilayah tasawuf, dan begitu seterusnya. Belum lagi jika teori-teori yang berlaku dalam wilayah Islamic studis, pada lapis kedua dihadapkan dan didialogkan dengan teori-teori diluar disiplin ilmu keilmuan agama Islam seperti disiplin ilmu kealaman, ilmu budaya, ilmu sosial dan relegius studies. Wilayah pada lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman.
Pemikiran Ilmu Dalam Tradisi Islam
Budaya dan tradisi pemikiran Islam yang diwarisi dari generasi terdahulu bisa disebut dengan istilah at-tsuras al-qadim. Secara materiil, at-turas al-qadim sebenarnya tersusun dari beberapa elemen dasar ,yaitu Kitab Suci (wahyu), keilmuan naqli murni, keilmuan naqli-‘aqli, keilmuan ‘aqli murni dan folklore atau mitologi. Warisan kultural ini bisa sampai kepada kita melalui saluran “cerita” lisan maupun tertulis, bukan melalui saluran partisipasi dan penyaksian langsung. Telah diketahui bahwa kegiatan melestarikan dan mentranmisikan warisan tersebut, baik dalam lingkup intra-generasi maupun inter-generasi sudah berlangsung sekian lama.[12]
Para imam madzhab yang selalu menggagas pemikirannya dalam berbagai bidang kehidupan itu dapat dilakukan secara terbuka. Mereka berani dan bebas melaksanakan kreasi intelektual melalui proses interpretasi terhadap kedua sumber tersebut secara dinamis untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam dengan tanpa terjebak dalam pengaruh pemahaman doktrinal setempat atau kekuasaan politik tertentu. Belakangan, pemikiran dinamis para madzhab tersebut dijadikan doktrin teologis statis oleh sebagian kalangan masyarakat muslim.[13]
Kalau kita cermati, dalam Islam kita mempunyai wahyu Allah berupa al-Qur’an. Kita sepakat bahwa al-Qur’an ini qat’iy al-wurud. Artinya, umat Islam sepakat bahwa keberadaan al-Qur’an termasuk teksnya sudah final. Tidak ada perbedaan di antara umat Islam tentang keberadaan al-Qur’an ini. Wujud wahyu Allah yang final adalah al-Qur’an ini. Dengan kata lain, teks al-Qur’an ini tidak ada campur tangan pemikiran dan penelitian manusia. Dengan demikian keberadaan al-Qur’an berarti atas dasar kepercayaan (belief). Sedangkan sunah Nabi, hampir bisa dikatakan bahwa secara konseptual sunnah dari segi kedudukannya juga atas dasar kepercayaan (meskipun ada yang ingkar sunnah).
            Sedangkan keberadaan atau wujud dari sunnah itu melalui proses penelitian ulama. Kitab kumpulan hadis, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan yang lainnya adalah hasil karya ulama waktu itu. Peranan akal dan kerja atau penelitian seseorang sangat menentukan. Itulah sebabnya maka tidak jarang terjadi perbedaan penilaian tentang kedudukan sebuah hadis.oleh karena keberadaan hadis itu merupakan hasil penelitian orang, maka konsekunsinya seharusnya tetap terbuka untuk di adakan penelitian ulang. Kalau al-Qur’an itu wilayah penelitiannya adalah pemahamannya, maka peran penelitian untuk sunnah, bukan hanya pemahamannya namun juga meliputi penilaian terhadap keberadaanya.
            Untuk memahami al-Qur’an dan sunnah itu telah terjadi pemikiran bebas oleh ulama. Sebagai hasilnya, atau akibatnya, telah muncul beberapa jenis ilmu/disiplin yang kemudian di sebut sebagai ilmu ke-Islaman atau ilmu agama Islam. Hal ini meliputi ajaran Islam itu sendiri, yang sering kita terjebak dengan menggunakan istilah doktrin. Padahal itu semua karya manusia untuk memahami wahyu tadi. Yang juga berarti merupakan sejarah pemikiran ulama. Dan dari jenis-jenis yang sudah di anggap baku lantaran sudah berjalan bertahun-tahun akan selalu dimungkinkan muncul jenis baru atau bercabang yang biasanya di sebut new camers (dalam tradisi barat). Hanya saja dalam prakteknya telah mandeg bertahu-tahun. Kemudian berbalik apa yang semua hasil ijtihad atau hasil penelitian (termasuk dalam hal akidah), kini naik kedudukannya menjadi doktrin yang mati bahkan ada yang menganggap sakral yang seolah tidak mungkin lagi di sentuh oleh akal manusia, tidak human.
            Sedangkan kalau kita mau kembali pada masa-masa yang awal, hasil pemikiran Muslim itu sangat berkembang dan sama sekali tidak ada stagnasi. Karena perkembangan dan proses perubahan yang tidak ada hentinya itulah, maka al-Syafi’i selalu melarang orang lain menisbatkan ilmu itu kepada nama dirinya. Ini yang tertuang dalam semua tulisan tentang biografi dia. Al-Syafi’i sendiri mebuktikan perkembangan ilmu itu. Kita kenal dua model pemikiran al-Syafi’i (qaul qadim dan qaul jadid) yang menggambarkan betapa perubahan dan perkembangan ilmu waktu itu. Baik dalam dunia fiqih maupun dalam dunia ilmu kalam, apalagi dunia tasawuf, perkembangan, perubahan dan penelitian itu menjadi ciri utamanya. [14]
                Dalam tradisi keilmuan Islam seringkali disebut dengan al-muhafadhah al al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang sudah ada yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).[15]
2.             Konsep Ilmu Keislaman Integratif
Ajaran Islam memuat semua sistem ilmu pengetahuan, maka mustahil untuk mempertentangkan keduanya. Tujuan tertinggi dari ajaran Islam adalah kebaikan manusia. Islam dalam hal ini berfungsi sebagai pedoman mencari keselamatan diri sekaligus wujud tata laku hidup menuju kebaikan sosial.[16]
Berikut dibawah ini penjelasan tentang tauhidiq system yang menjadi landasan pengintegrasian antara ilmu umum dan ilmu agama.
Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum Dan Agama
            Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempuyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kreteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah praktek kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang di timbulkan dan di rasakan oleh masyarakat luas, oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.[17]
Secara umum, istilah dan kata-kata yang seringkali digunakan adalah integrasi antara ilmu dan agama (science and relegion). Hal ini disebabkan oleh realita bahwa ada sejumlah ilmuan yang menolak intervensi kaum agamawan dalam urusan ilmu, sebaliknya terdapat sejumlah agamawan yang menolak kehadiran ilmu dan ilmuan yang dipandang tidak jarang menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Relasi ilmu dan agama terlihat , antara lain, pada ungkapan: “ilmu tanpa agama lumpuh , dan agama tanpa ilmu buta”. Namun ada juga sejumlah kalangan yang menolak kemungkinan terjadinya integrasi antara ilmu dan agama dengan argumen: ilmu berasal dari manusia yang relatif dan profan, sedangkan agama berasal dari tuhan yang absolut dan sakral. Atas dasar ini, maka kemudian muncul pemikiran bahwa integrasi itu adalah antara ilmu dan pemahaman tentang agama,dan dari sini pula kemudian dikenal istilah integrasi antara agama, dan darisini kemudian dikenal istilah integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama (secular and religious sciences).
Gagasan integrasi atau islamisasi ilmu juga mengimplikasikan ide sekularisasi yang memisahkan yang sakral (bidang studi agama) dan profan (bidang studi agama). Implikasi sekularisasi ini kemudian melahirkan kerancuan paradigmatik pendidikan Islam, antara keyakinan tauhid yang hanya meyakini satu Tuhan dan satu kebenaran Islam dan kenyataan pluralitas yang mengandaikan kesedihan menghormati keyakinan keagamaan orang lain. Adanya kebenaran tunggal ini menjadi akar tumbuhnya sistem dan orientasi keagamaan yang indoktrinatif, bukan edukatif atau pembelajaran. Karena itu, “pendidikan Islam” lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak mungkin dibantah. Akhirnya, ruang kelas laksana “penjara” yang pengap tanpa peluang masuknya udara pemikiran kritis dan kreatif.[18]
Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu dilandaskan pada tauhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Dalam perspektif ini, maka integrasi dilakukan antara ilmu umum, yakni ayat-ayat alam semesta atau wahyu yang tidak tertulis (kauniyyah) dan ilmu agama, yakni ayat-ayat al-Qur’an atau wahyu tertulis (qauliyyah).[19]
Menurut Musa ‘Asy’arie, sebagaimana dikutip oleh Waryani Fajar Riyanto[20] bahwa tauhid yang seakar  dengan angka satu (wahid), wahidah, tidak merujuk pada makna satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak berbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa tauhid itu bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam relitas kehidupan muslim.
Pada dasarnya integrasi direalisasikan dalam dua bidang: Pertama dalam studi Islam sendiri, artinya ,studi Islam yang telah terbagi menjadi kotak-kotak berupa bidang-bidang atau disiplin-disiplin tertentu harus mampu diintegrasikan dan dihubungkan antara satu dengan yang lain. Kebanggaan satu disiplin yang sering kita saksikan selama ini menjadi tidak relevan. Kedua integrasi antara ilmu agama/Islam dan ilmu umum.[21]
Menurut Akh. Minhaji[22] semua pihak hendaknya menyadari bahwa Islam itu sendiri telah menyejarah, dan oleh karena itu, pemahaman Islam tidak hanya cukup dengan mempelajari ajaran-ajaran normatif tetapi juga bagaimana Islam dipahami, diimplementasikan, sekaligus sentuhannya dengan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi atau budaya dan peradaban pada umumnya sepanjang sejarahnya.
Adalah Kuntowijoyo[23] ketika berbicara tentang program pembaruan pemikiran untuk reaktualisasi Islam yang dapat dilaksanakan pada saat ini diantaranya adalah mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Selama ini kita cenderung lebih menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an pada level normatif dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu.
Tetapi ada hal lain yang juga amat penting dalam hal ini, yakni pandangan teologis-ideologis tentang ilmu yang berkembang selama ini dan amat mempengarui persoalan integrasi ilmu. Ada sebagian kalangan Islam yang belum mampu (atau memang sengaja) membedakan antara Islam dan umat Islam atau antara ajaran Allah yang disebut syari’ah (relegion) dengan pemahaman manusia terhadap syari’ah yang disebut fiqh (religious knowledge). Akibatnya, segala sesuatu yang diberi label agama (Islam) diyakini pasti benar dan harus diikuti. Implikasi lebih jauh, hal demikian seringkali melahirkan tafsir tunggal agama dan sekaligus tidak memberi kesempatan pihak lain untuk berbeda. Pemahaman agama yang dilahirkan di-indentikan dengan agama itu sendiri. Pemahaman manusia yang masuk wilayah fiqh diindentikan dengan syari’ah, yang menjadi wilayah Allah. Menolak pemahaman tersebut berarti menolak agama atau syari’ah. Itu berarti, mereka menempatkan dirinya sejajar dengan pembuat agama atau syari’.[24]
Dalam konteks UIN , semua ilmu itu sama sebagai produk manusia dan semuanya harus berdasarkan pada metodologi yang juga merupakan produk manusia, namun semuanya harus berlandaskan pada tauhid. Keyakinan tauhid dan juga keyakinan akan nilai-nilai agama bisa lahir dari ilmu apa saja termasuk ilmu yang selama ini digolongkan pada ilmu umum.[25]
Dengan kata lain, semua kajian yang ada harus memperhatikan ajaran agama (normative juga kadangkala disebut qauliyah) dan sekaligus empiris-historis (empirical/historical juga kadangkala disebut kauniyah), dan tanpa mengabaikan perlu dan pentingnya berbagai sistem yang ada, semua analisa dalam studi Islam harus berlandaskan dan berujung pada sistem teologi Islam (tauhidic system) yang menempatkan Allah sebagai asal dan akhir segala sesuatu. Inilah yang disebut teologi dan ideologi Islam.[26]
Filsafat menjadi penting terutama untuk mendorong para ilmuan berfikir radikal dan fundamental dan tidak hanya terjebak pada persoalan detail (furu’) tetapi masuk pada tataran ontologis, epistemologis dan juga aksiologis. Disamping itu, ia tidak hanya berhenti pada disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mampu menghubungkannya dengan disiplin-disiplin lainnya. Dengan demikian ,ilmuan yang dimaksud diharapkan mempunyai satu pandangan bahwa semua ilmu bertemu pada satu titik, yakni menguasai dunia guna kemakmuran manusia sebagai perwujudan iman kepada Allah, sebagai konsekuensinya seorang ilmuan akan memandang setiap ilmu itu penting dan secara bersama-sama dapat berkontribusi terhadap masa depan.[27]
Contoh Integrasi Ilmu dan Agama
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi epistemplogi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.[28]
Tentu sangat menarik jika dikemukakan sejumlah contoh integrasi keilmuan dimaksud. Pada dataran teori dan metodologi, kita bisa melihat sejumlah pemikiran penting dalam fiqh dan ushul fiqh yang bisa diintegrasikan dengan hal-hal yang terdapat dalam studi-studi umum yang selama ini berkembang di/dan berasal dari dunia Barat. Kajian-kajian ontologi yang dikenal dalam filsafat yang berkembang saat ini bisa dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman tentang hakekat hukum Islam sekaligus untuk mempertegas perbedaan antara hukum Islam sebagai hukum Allah (syari’ah/relegion) dengan pemahaman manusia tentang hukum Allah tersebut (fiqh, relegious knowledge). Pemahaman kebahasaan, sebab-akibat, konteks sosial dan yang semacamnya dalam memahami teks-teks ajaran Islam dan teks-teks lainnya  bisa dikembangkan dengan mempertimbangkan secara cermat, teliti, sekaligus hati-hati tentang linguistik, hermeneutika, fenomenologi, dan yang semacamnya.[29]
Beberapa contoh dibawah ini akan memberi gambaran mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya. Contoh dapat diambil dari Ekonomi Syari’ah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika dalam prilaku ekonomi di antaranya adalah hasil (al-mudharabah), dan kerjasama (al-musyarakah). Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, non agama, atau bahkan anti agama. Dari orang yang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-‘alamin). Kedepan, pola kerja keimuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik ini di tuntut dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, social work, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan begitu seterusnya.[30]
Tidak kalah menarik apa yang dilakukan Ali Syari’ati, ia mencoba mengembangkan teori dengan berangkat dari/membaca al-Qur’an, kemudian melihat realitas empiris kehidupan umat manusia sekaligus teori yang berkembang dalam ilmu sosial-budaya. Ia kemudian mengembangkan teori menyangkut “hijrah” atau “migrasi”, dan kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa hijrah mempunyai peran penting dalam kesuksesan usaha seseorang. Mereka yang hijrah cenderung lebih berhasil ketimbang mereka yang tidak hijrah.[31].
Rekonstruksi Proses Keilmuan Dalam Islam
Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, para sahabatnya selalu mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi. Wahyu Allah juga turun ke bumi sebagai petunjuk-Nya (hudan) ,yang kita kenal dengan nama al-Qur’an. Itulah sebabnya, al-Qur;an di turunkan secara berangsur-angsur (munajjaman), yang pada umumnya sesuai dengan konteksnya. Karena itulah kita memperoleh pengetahuan tentang ashbab al-nuzul (sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an).
Jika diantara sahabatnya menemui kasus tertentu atas kesulitan, mereka dengan mudah bertanya kepada Nabi dan akan mendapatkan jawaban, baik berupa ayat al-Qur’an, hadis Nabi, atau menunggu sesaat. Yang jelas, semuanya terselesaikan dengan mudah, karena Nabi masih hidup dan Nabi menjadi pusat rujukan umat dimana jawabannya adalah final, bukan interpretasi. Final disini temasuk memberi kesempatan kepada umatnya untuk bebeda antara satu dengan lainnya. Hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan Nabi itulah kemudian disebut dengan ajaran Islam.
Setelah Nabi saw wafat, sudah menjadi konsensus umat Islam bahwa sumber utama Islam adalah al-Qur’an dan hadis Nabi (kecuali sekelompok kecil yang biasanya disebut inkar al-sunnah). Untuk yang pertama tidak ada satu pun yang membantah. Sedangkan untuk yang kedua ada sedikit orang yang tidak mengakuinya, dengan alasan bahwa hadis itu hanyalah penjelasan terhadap al-Qur’an bukan sebagai sumber utama yang berdiri sendiri. Secara singkat ini berarti bahwa ketika kita berbicara mengenai Islam, maka akan selalu kembali pada kedua sumber utama tadi yang kita sebut dengan nashsh. Dalam perjalanan sejarahnya, para pemikir atau ulama telah banyak menghabiskan waktunya untuk memahami nashsh. [32]
Jika di lihat semata-mata dari wujud nashsh, adanya nashsh itu terbatas, sementara itu kehidupan manusia selalu berkembang dan berubah, maka dari sisi ini terkadang terjadi kesenjangan kasus. Mereka tidak bisa membiarkan dan melewatkan beberapa kasus yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nashsh yang ada, namun kemudian mereka menggunakan cara berpikir argumentatif dan induktif. disamping berpikir deduktif. Aktifitas mereka luar biasa banyaknya untuk memeras pikirannya demi memahami nashsh tersebut. Maka sahabat sudah mulai berkembang pemikirannya, bahkan sangat jauh maju, sebagaimana di praktekkan oleh Umar bin al-Khaththab dan para sahabat yang tinggal di luar Hijaz.
Para tabi’in lebih berani lagi dalam melakukan perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman, sedangkan para imam madzhab juga tidak kalah beraninya mengembangkan pemikiran Islam ini. Kita di beri informasi tentang statement imam Abu Hanifah atau imam al-Syafi’i yang “menantang” tabi’in dengan ungkapan “hum rijal wa nahnu rijal” (mereka para tabi’in dianggap sebagai tokoh atau ahli, kamipun juga tokoh atau ahli, sehingga kami bebas berpikir dan tidak ada kewajiban harus mengikuti pendapat mereka).
Dalam kebebasan dan kemampuan mengembangkan pemikiran Islam atau ilmu-ilmu ke-Islaman, meskipun harus berbeda pendapat dengan tabi’in. Dalam waktu berikutnya, aktifitas mereka menghasilkan pemahaman yang terbangun, yang kemudian berubah dari pemikiran menjadi disiplin ilmu. Maka muncullah beberapa jenis disiplin ilmu dalam Islam, seperti ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadis, dll.[33]
Secara singkat dapat disebutkan beberapa fase sebagai berikut :
Fase pertama, pengkajian Islam berarti mendengarkan penjelasan Nabi, baik lewat al-Qur’an maupun hadisnya.
Dalam fase kedua, Ulama Islam mencoba memahami atau menafsirkan nashsh tersebut sambil memberi jawaban terhadap kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nashsh.
            Sedangkan dalam fase ketiga, pengkajian Islam berupa mempelajari pikiran ulama yang sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan (the body of knowledge). Hanya saja sampai disini sering terjadi bentuk dogmatik, doktrinal, dan normatif, sebagai akibatnya bukan saja pemahaman nashsh tidak kontekstual, namun pemahaman terhadap karya ulama (the body of knowledge) tadi juga menjadi doktrinal dan dogmatik yang seolah tidak tersentuh oleh akal manusia sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad ulama waktu itu dengan pengaruh budaya,adat dan subyektifitas perorangan.
            Oleh karena itu, perlu ada penyegaran pengkajian terhadap proses pemikiran ulama itu sebagai fase keempat. Disini sudah mulai jelas menempatkan apa yang selama ini di anggap doktrin atau dogma sebagai hasil ijtihad ulama. Sampai disini tampaknya masih berkutat dalam aktifitas eksploratif yakni hanya menjelaskan secara diskriptif apa yang telah terjadi. Akibat yang akan muncul adalah stagnasi , kemandegan dalam pengkajian atau hanyalah berputar-putar, meskipun telah menyentuh aktifitas kritis. Artinya, pemikiran ulama waktu itu tidak lepas dari kondisi yang mengitarinya dan mempengaruinya serta suasana batin yang sangat berpengaruh dalam keputusan pribadi ulama (individual judgment).[34]
            Fase kelima, beda antara fase keempat dan kelima adalah sebagai berikut: dalam fase keempat, pengkajian Islam mempunyai target berupa pengungkapan sejarah pemikiran ulama secara apa adanya (obyektif atau value free) tanpa prasangka dan tanpa agenda penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini sebenarnya juga sudah mulai proses desakralisasi, sedangkan dalam fase kelima, pengkajian Islam sudah memulai usaha inovatif dan obyektif untuk menilai/mengetes kembali (re-examine) terhadap pemikiran mengenai Islam. Disinilah kajian kritis terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini dianggap baku dan doktrinal baru dimulai.
            Fase keenam adalah usaha kelanjutannya, yaitu, merekontruksi keilmuan Islam yang dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Ini dapat merupakan ijtihad baru sebagai kontruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislaman yang sudah ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin atau penciptaan disiplin baru sebagai anak cucu disiplin yang ada, meskipun dengan mereformulasi pemahaman ulang terhadap yang ada. Sudah barang tentu tidak bisa diterima terjadinya keterputusan alur atau proses pemikiran dari apa yang sudah dilakukan ulama.[35]
            Menurut M.Amin Abdullah[36] studi keislaman semakin hari semakin dirasakan perlunya untuk dikembangkan karena beberapa faktor :
a.       Islamic studies bukanlah sebuah disiplin ilmu yang tertutup. Ia merupakan disiplin ilmu yang terbuka. Islamic studies atau Dirasah Islamiyah adalah bangunan keilmuan biasa yang harus di uji ulang validitasnya lewat perangkat konsistensi, koherensi dan korespondensi oleh kelompok ilmuan sejenis.
b.      Agama Islam bukan satu-satunya agama yang hidup (living relegion) pada saat sekarang ini. Dalam dunia sekarang ini terdapat banyak living relegion yang mempunyai sistem tata pikir dan seperangkat nilai dan keyakinan sama persis seperti yang dipraktekkan oleh umat Islam, hanya saja kitab suci, bahasa yang digunakan, nabi atau rasul yang dijadikan tokoh charismatik dan panutannya, tatacara ritual peribadatannya serta letak geografis para pemeluknya berbeda.
c.       Semakin dekatnya hubungan dan kontak individu maupun sosial antara berbagai etnik, ras, suku dan agama sebagai akibat dari teknologi, tranportasi, komunikasi dan informasi yang canggih sehingga memperpendek jarak dan tapal batas ruang dan waktu yang biasa dipikirkan dan diimaginasikan oleh umat beragama pada abad-abad sebelumnya. Setiap saat, lewat media elektronik dan media cetak, apa yang terjadi pada belahan dunia lain menembus, menerobos dan mempengarui tatacara berpikir umat beragama dan membangkitkan emosi mereka dimanapun mereka berada.
3.             Paradigma Dikotomi Pendidikan Islam dan Penyelesaiannya Berdasar Prinsip Integrasi
Salah satu faktor mencolok lain penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan sikap eklusivisme. Gerakan Islam termasuk dalam kategori gerakan eklusif tersebut.
Maka diperlukan suatu studi ilmu yang bersifat menyeluruh dan integratif, dan filsafat adalah salah satunya ilmu pengetahuan yang mampu mengintegrasikan sistem keilmuan yang parsial tersebut. Oleh karena itu, secara normatif untuk mengintegrasikan dikotomi ilmu dalam karakteristik atau ciri khusus sesuai dengan ajaran Islam di perlukan kajian-kajian kefilsafatan.[37]
Pendidikan Islam lebih tepat bagi sebutan institusi mandiri yang dikelola, dilaksanakan dan diperuntukan bagi umat Islam, sedangkan pendidikan agama Islam lebih tepat untuk sebutan salah satu studi ilmu yang diajarkan di sekolah umum.Islam di kategorikan sebagai sebutan untuk lembaga/institusi pendidikan, sedangkan Pendidikan Agama Islam lebih tepat untuk sebutan suatu bidang studi (ilmu).
Berikutnya persoalan dikotomi sekolah agama yang di wakili oleh madrasah dengan sekolah umum. Dalam bidang pendidikan penggunaan istilah “sekolah-sekolah agama” dan “sekolah-sekolah umum” sebagai dampak konkret pertentangan “ilmu yang Islam” dengan “ilmu yang non Islam”, menunjukan terjadi “displacement” konsep dan pemikiran.
Dalam pandangan “ilmu”, sekolah agama dengan sekolah umum sama dan tidak mengandung perbedaan. Karena “agama” dan filsafat yang merupakan akar dari keilmuan “sekolah umum’ bermuara pada realitas dan metodologi yang sama. Implikasinya sekolah agama dengan sekolah umum atau sekolah filsafat dalam perspektif “ilmu’ sama. Berbeda dengan pendekatan “kelembagaan’. Istilah sekolah agama berdasarkan pengertian kebahasaan berarti sekolah yang khusus mempelajari ilmu-ilmu “agama”. Agama dalam hal ini di pandang sebagai bentuk spesifikasi atau profesionalisme studi ilmu. Sementara sekolah umum artinya sekolah dalam pengertian tak terbatas. Bidang keilmuan yang dikaji pun bermacam-macam bentuk dan jenis, dan ilmu agama termasuk filsafat secara konseptual merupakan bagian atau salah satu studi ilmu yang di ajarkan dalam sekolah umum.[38]
Pengembangan Keilmuan Islam (PAI) di Indonesia
            Ketika kita berbicara mengenai pendidikan di Indonesia (ilmu umum-?), berapa banyak kita mampu meyakinkan para ahli pendidikan bahwa tidak sedikit nilai Islam yang tidak dapat berperan, atau bahkan menjadi isu atau materi, dalam pengembangan keilmuan tersebut ? Seharusnya hal ini dapat dilakukan oleh para akademisi PTAI, baik berangkat dari “ilmu tarbiyah” atau deduktif sekalipun, maupun berangkat dari “ilmu pendidikan” atau induktif sekalipun. Ini pun seharusnya dapat bekerja dari tingkatan devinisi sampai dengan aplikasi paling detail sekalipun. Ketika kita dicekik oleh krisis multidimensional yang salah satu aspeknya adalah kegagalan pendidikan kita, kita diam seribu bahasa. Mengapa ilmu tarbiyah kita tidak dapat berani atau mampu tampil kedepan untuk menyelesaikan persoalan pendidikan nasional kita? Dan begitu pula disiplin ilmu keislaman yang lain, termasuk hukum Islam dan lainnya.[39]
            Apa yang seharusnya kita lakukan? Inilah yang akan penulis kaji pada pembahasan ini mengenai perlunya mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu tertetu dengan ilmu yang lain, demi kemajuan dan mengatasi problem pendidikan agama Islam, khususnya PTAI di Indonesia.
Salah satu ciri di PTAI adalah penelitian. Dengan penelitian itu harus mampu mewujudkan kajian kritis, bahkan inovasi dan mampu menghasilkan sumbangan ilmu pengetahuan (contribution of knowledge), baik merupakan pengembangan maupun merupakan penemuan baru sama sekali.[40] Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yang bersumber pada teks (hadharah an-nas) tidak menyadari dan tidak mau peduli bahwa di luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yang bersifat praktis aplikatif yang faktual-historis-empiris sehingga bersentuhan secara langsung dengan realitas problem kemanusiaan (hadharah al-‘ilm) seperti social sciences,natural sciences dan humanities. Selain entitas hadarah al-‘ilm, masih ada satu lagi entitas etik filosofis (hadharah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri karena tidak ada satu disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan disiplin keilmuan lainnya..[41]
Oleh karena itu, harus ada kesungguhan untuk mengadakan perubahan yang mendasar, sehingga sebagai perguruan tinggi yang sesuai dengan predikat utamanya, perlu melakukan minimal empat hal sebagai berikut :
Pertama, pemanfaatan ilmu bantu untuk pemahaman ulang (reinterpretasi) ajaran Islam. Ini  meliputi ilmu sosial, humanities, dan sain-teknologi. Dalam konteks pemanfaatan ilmu bantu untuk kajian Islam, seberapa jauh hasil sain dan teknologi dapat dijadikan pertimbangan, dasar, atau bahkan metode dalam penerapan hukum Islam, umpamanya.[42] Ilmu fiqh sebagai contoh, membutuhkan biologi dan laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haidh.[43] Demikian pula  untuk menentukan darah istihadah tidak perlu dengan hitungan hari, seperti landasan berpikir ulama klasik; namun cukup masuk laboratorium. Akan tetapi kemudian akan muncul pertanyaan, bagaimana dengan pengukuran iddah, jika kebersihan kandungan seorang mantan isteri daoat diketahui dengan mudah melalui laboratorium? Lalu akan muncul penjelasan bahwa iddah menurut al-Qur’an itu tidak semata-mata fisik berupa bersihnya rahim, namun ada nilai psikologis yang memerlukan waktu.
Dengan demikian keberadaan ilmu bantu di PTAI merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis, bukan sesuatu yang mati dan sekedar kepura-puraan formalitas.[44]
            Kedua, mereformasi posisi beberapa ilmu (ilmu bantu itu), dari segi pengajarannya, sampai dengan pengembangannya. Pada akhirnya, PTAI hendaknya mampu melahirkan pemikiran yang bukan hanya menggunakan ilmu bantu tersebut untuk kajian Islam, namun juga mampu menunjukan pemikiran Islam untuk pengembangan ilmu bantu tersebut. Ini harus ada perubahan mendasar, sampai pada perubahan paradigma. Dengan demikian. PTAI telah menunjukan kehidupan akademik, yang mampu membawa Islam, bukan semata-mata hasil pemahaman ulama masa lalu diposisikan sebagai barang mati yang dogmatik untuk ditaqlidi begitu saja.[45]
            Ketiga, perlu merekontruksi yang diawali dengan dekontruksi kajian Islam di PTAI, terutama sekali di Pascasarjana. menurut A. Qadri Azizy ; perlu ada tahapan-tahapan dibawah nanti. Menurutnya yang dimaksud adalah ilmu- ilmu keislaman yang sudah dianggap baku selama ini, sebagaimana ilmu-ilmu yang menjadi spesialisasi di IAIN. Istilah ini lebih sempit dari pada “ilmu-ilmu yang Islam” atau bahkan “ilmu Islam” yang bisa mencakup ilmu sosial dan humanities pada umumnya.  Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut  :
1.             Hasil karya ulama yang lalu yang selama ini ditempatkan sebagai doktrin atau sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu (humanisasi ilmu-ilmu keislaman), sehingga doktrin yang sakral tersebut menjadi sesuatu yang bisa tersentuh manusia.
2.             Melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai, hasil ijtihad inilah yang mempunyai kedudukan sebagai pemberi inspirasi dan contoh dari produk para pemikir terdahulu yang telah memberi jawaban tantangan zaman pada masanya atau contoh pemahaman dan interpretasi mereka terhadap wahyu, lantaran dikelilingi oleh keadaan sosial yang ada. Oleh karena itu usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa lampau perlu di gairahkan, bahkan suatu keharusan.
3.             Setelah mampu menciptakan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi oleh kemampuan interpretasi hasil ijtihad tersebut, bukan penolakan terhadapnya dan dilanjutkan dengan interpretasi, dan pada waktunya akan ada tuntutan pembaruan (reform) terhadap pemahaman Islam dari wahyu. Ijtihad bukan jargon yang didengung-dengungkan tanpa ada realisasi yang serius. Ini hendaknya merupakan tanggung jawab dan konsekuensi logis bagi sarjana muslim, setidaknya berangkat dengan model tematis (fi al-maudhu’at). Kerjasama antar disiplin juga diperlukan.[46]
Keempat, mengembangkan disiplin ilmu-ilmu keislaman. Untuk itu terutama sekali membawa ilmu keislaman yang dianggap hanya untuk akhirat ke alam dunia yang realistik dan dalam hal-hal tertentu empirik. Mungkin tahap ini yang paling berat dibandingkan dengan tuntutan dari ketiga hal atau tingkata yang harus dilakukan diatas. Yang pertama menuntut PTAI agar mampu menjadikan ilmu-ilmu bantu sebagai alat analisis atau metodologi dalam kajian Islam.
Yang kedua, menuntut PTAI agar mampu menjadikan ilmu-ilmu keislaman agar dapat mengisi, memperkaya, mengembangkan dan memberi ruh (sebagai subyek) terhadap ilmu-ilmu bantu. Yang ketiga menuntut PTAI agar mampu merekontruksi diawali dari dekontruksi ilmu-ilmu keislaman dan doktrin agama sebagai hasil pemikiran ulama terdahulu. Yang keempat, menuntut PTAI agar mampu mengembangkan ilmu-ilmu keislaman bukan hanya yang berkaitan dengan keakhiratan sebagai panduan beribadah dalam pengertian sempit (ibadah mahdhah), namun juga mampu menjadikan ilmu-ilmu keislaman sebagai panduan dan pedoman kehidupan di dunia.[47]
Ringkasnya, jika kita sederhanakan maka sumber ilmu saat ini ada dua; Timur dan Barat atau bisa disebut kitab kuning dan kitab putih. Integrasi yang menjadi visi PTAI di Indonesia menuntut penguasaan kedua sumber tersebut, dan ini merupakan satu hal yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Pada waktu yang sama juga perlu dicatat bahwa pembatasan kajian hanya pada salah satu sumber bukan hanya kurang baik dan kurang strategis tetapi akan mengancam eksistensi PTAI itu sendiri dalam membangun dirinya sebagai kiblat ilmu pengetahuan. Sejarah membuktikan bahwa maju tidaknya satu peradaban sangat ditentukan oleh kemampuan peradaban itu sendiri dalam meramu dan mengembangkan ilmu yang berasal dari berbagai budaya dan peradaban.[48]
C.           KESIMPULAN
            Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu-ilmu ke-Islaman adalah produk ijtihad para ilmuan (ulama/mujtahid). Dengan penempatan pada level yang demikian, maka ilmu-ilmu ke-Islaman yang kita kenal sekarang ini adalah tidak identik dengan wahyu.  Dan bukan rahasia lagi bahwa praktek pendidikan dan pengajaran agama Islam selama ini terlalu menekankan pada sumber dan kebenaran tekstual. sehingga melupakan kenyataan bahwa ketika gagasan pemikiran, ide yang menjelma menjadi keyakinan dan keimanan yang berlandaskan teks itu dipraktekkan dan dioperasionalisasikan di lapangan, maka secara otomatis muncul berbagai pemahaman dan interpretasi.
          Perlu diketahui bahwa integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama itu pada dasarnya dilandaskan pada tauhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Karena keyakinan tauhid dan juga keyakinan akan nilai-nilai agama bisa lahir dari ilmu apa saja termasuk ilmu yang selama ini digolongkan pada ilmu umum. Sebagai masyarakat akademisi tentunya menjadi suatu tantangan untuk mewujudkan bahwa Islam adalah rahmat seluruh alam, yang tetap memiki arah kemaslahatan dunia dan akhirat.
          Maka bukanlah sesuatu hal yang mustahil apabila PTAI kelak menjadi kiblat ilmu pengetahuan dengan syarat ada kesungguhan untuk mengadakan perubahan yang mendasar, diantaranya reinterpretasi ajaran Islam, mereformasi posisi beberapa dari segi pengajarannya, sampai dengan pengembangannya, merekontruksi yang diawali dengan dekontruksi kajian Islam, serta mengembangkan ilmu-ilmu keislaman.

DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI,2003.
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKIS,2008.
Iswandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press,2003.
Kontowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan,1999.
Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005.
Minhaji, Akh, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Suka-Press,2013.
Riyanto, Waryani Fajar, Filsafat Ilmu Integratif [FIT], Yogyakarta: 2012.
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizma, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.


[1] A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman,(Jakarta: Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI,2003),hlm.30.
[2] Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Suka-Press,2013),,hlm.86.
[3] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integratif [FIT], (Yogyakarta: 2012),hlm.616.
[4] Waryani Fajar Riyanto,op.cit.,hlm.3-4.
[5] Q.S.al-Fusshilat (41);53.
[6] Waryani Fajar Riyanto,op.cit.,hlm.625.
[7] A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.12.
[8] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006),hlm.70-71.
[9] A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.13.                       
[10] Ibid.,hlm.14.
[11] M. Amin Abdullah,op.cit.,hlm.72-74.
[12] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif,(Yogyakarta: LKIS,2008),hlm.122.
[13] Iswandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press,2003),hlm.80.
[14] A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.18-19.
[15] Akh. Minhaji, op.cit.,hlm.96.
[16] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005),hlm.12.
[17] M. Amin Abdullah, op.cit.,hlm.92-93.
[18] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizma, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),hlm.204.
[19] Akh. Minhaji, op.cit.,hlm.83-84.
[20] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.25.
[21] Akh. Minhaji,op.cit.,hlm.86.
[22] Ibid,hlm.88.
[23] Lihat, Kontowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan,1999),hlm.284.
[24] Ibid.,hlm.89.
[25] Ibid.,hlm.90.
[26] Ibid.,hlm.92.
[27] Ibid.,hlm.94.
[28] M. Amin Abdullah,op.cit.,hlm.104
[29] Akh. Minhaji,op.cit.,hlm.96
[30] M. Amin Abdullah,op.cit.,hlm.105.
[31] Akh. Minhaji,op.cit.,hlm.99.
[32]A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.19-20.
[33] Ibid.,hlm.21.
[34] Ibid., hlm.22.
[35] Ibid.,hlm.23.
[36] M. Amin Abdullah,op.cit.,hlm.74-75.                                                                                         
[37] Jasa Ungguh Muliawan, op.cit.,hlm.206-207.
[38] Ibid.,hlm.217-218.
[39] A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.46.
[40] Ibid.,hlm.47.
[41] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.616
[42] .A. Qodri Azizy, op.cit.,hlm.48.
[43] Waryani Fajar Riyanto, loc.cit.
[44] A. Qodri Azizy, loc.cit.
[45] Ibid.,hlm.53.
[46] Ibid.,hlm.54-56.
[47] Ibid.,hlm.61.
[48] Akh. Minhaji,op.cit.,hlm.108.