Isnin, 30 Disember 2013

indikasi kesialan rabu pungkasan dalam perspektif syara'



RABU PUNGKASAN
Indikasi Kesialan dalam Perspektif Syar’i 
 
Tahun baru Masehi kali ini bertepatan dengan rabu terakhir di bulan Shafar, dalam kepercayaan masyarakat jawa di sebut “rabu pungkasan” atau (arba’ mustamir). Hari yang mungkin bagi sebagian orang di percaya sebagai turunnya bermacam bala bencana di muka bumi. Dan pada hari tersebut terkesan di keramatkan dan mistik, terbukti dengan berbagai pelaksanaan ritual dan ibadah yang di laksanakan pada hari tersebut.
           Adakah indikasi kesialan (orang jawa menyebut hari na’as) pada tahun ini ? lantas apa yang di maksud dengan “yaumin nahsin” dalam al-Qur’an surat al-Qamar, kemudian bagaimana pandangan ulama mengenai permasalahan ini ? Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjawabnya.
           Adalah Syaikh Ahmad al-Dairabi, dalam kitabnya Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir[1] mengatakan :
 (فائدة أخرى )كر بعض العارفين من أهل الكشف و التمكين أنه ينزل من كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا   من البليات  وكل ذالك فى يوم اللأربعاء الأخير من شهر صفر فيكون ذالك اليوم أصعب أيام السنة كلها   
Artinya : (Faidah Ukhra) , Sebagian ahli ma'rifat yang memiliki kemampuan  tinggi dalam ber-mukasyafah, menyatakan bahwa pada setiap tahun, Allah Swt menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, sehingga hari itu menjadi hari yang tersulit dalam satu tahun.
             Bulan Shafar  dalam kalender penanggalan hijriyah Islam adalah bulan yang kedua, sebagaimana dengan bulan-bulan lainnya,tentu bulan Shafar berjalan sesuai dengan iradahnya Allah Swt yang telah di gariskan padanya.   
Menurut bahasa Shafar berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka (sehingga kosong) untuk berperang ataupun bepergian jauh. Namun ada pula yang menyatakan bahwa nama Shafar diambil dari nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangatlah, berbahaya. Itulah sebabnya mereka menganggap bulan Shafar sebagai bulan yang penuh dengan kejelekan.  Kepercayaan tentang hari naas atau kesialan memang sudah ada  sejak orang-orang badui dan Masyarakat Jahiliyah. Misalnya saja keyakinan munculnya bencana di tandai dengan terbangnya burung hantu yang melintasi rumah seseorang,
Pendapat lain menyatakan bahwa Shafar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkena menjadi sakit.
Kepercayaan yang berbau mistis yang menganggap bahwa pada bulan itu setiap manusia akan mendapatkan bencana (bala), sehingga pada hari itu segala bentuk aktifitas dihentikan, tidak boleh melakukan bepergian,  bahkan tidak boleh melakukan pernikahan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.[2]
Rupa-rupanya tradisi ini menular hingga sampai saat ini, masyarakat Jawa menyebutnya rabu pungkasan atau arba’ mustamir. Pada hari rabu terakhir bulan Shafar, kesan mistik mulai nampak sebagai upaya untuk menangkal bencana (bala’) dengan melakukan beberapa ritual khusus mulai dari penggunaan rajah-rajah (jimat), melakukan mandi Shafar, shalat rabu pungkasan dan lain-lain, hal ini menjadi gambaran bahwa rabu pungkasan menjadi hari yang keramat serta menakutkan, karena anggapan bencana yang akan di turunkan Allah Swt pada hari tersebut.
           Benarkah hari rabu di akhir bulan Shafar adalah hari sial, hari penuh bencana ? inilah yang akan penulis kaji dalam tulisan berikut ini
Pertama, indikasi adanya bencana pada hari akhir di bulan Shafar terdapat dalam al-Qur’an, dan al-Hadis, berikut ini penjelasannya :
Di dalam al-Qur‘an Allah Swt telah menceritakan peristiwa azab Allah kepada kaum `Ad di kala dalam kesesatan dan kedurhakaan serta mendustakan Rasul-Nya. Allah Swt membinasakan mereka dengan menghembuskan angin kencang yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus.
Peristiwa ini di abadikan dalam firman Allah Swt surat al-Qamar.
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ  إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
Kaum 'Aad pun mendustakan. Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan peringatankan-Ku! Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus, yang membuat manusia bergelimpangan , mereka bagaikan pohon-pohon korma yang tumbang dengan akar-akarnya. ( QS. al-Qamar : 18-19 ).[3]

Yang di maksud يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ  “hari nahas yang terus menerus”  menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya[4] menceritakan bahwa menurut Ibnu Abbas, peristiwa tersebut terjadi pada hari rabu yang terakhir pada bulan itu  (يوم الأربعاء في آخر الشهر ). Senada dengan hal tersebut di tuturkan oleh al-Baghawi dalam tafsirnya[5], al-Thabari dalam tafsirnya.[6] Dan yang dimaksudkan hari nahas di dalam ayat tersebut Allah Swt membinasakan kaum ‘Add yang kafir dan orang-orang mendustakan Rasul mereka saja. Dengan kata lain Allah tidak membinasakan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dengan rasul mereka. Dan azab atau siksa yang di rasakan tersebut terus menerus karena nahas-nya, bahkan di katakan kesialan-kesialan tersebut sampai nanti di neraka jahanam.
Dalam ayat-ayat yang lain yang bersamaan maksudnya adalah firman Allah Swt dalam surat Fushshilat :

فأرسلنا عليهم ريحا صرصرا في أيام نحسات
Maka Kami meniupkan angin yang sangat kencang kepada mereka dalam beberapa hari nahas (sial). QS. Fushshilat :16.
Selanjutnya al-Thabari[7] menuturkan hadis yang dikeluarkan oleh Ibn Murdawaih dari Anas ra, berkata : Rasulullah Saw di tanya tentang beberapa hari dan di tanya  tentang hari rabu, kemudian Rasulullah Saw benjawab : “hari nahas”. Para sahabat bertanya : Seperti apakah hari nahas tersebut ya Rasulallah ?, beliau menjawab : hari nahas adalah hari dimana Allah Swt menenggelamkan fir’aun dan kaumnya dan juga pada hari tersebut Allah Swt membinasakan kaum ‘Aad dan Tsamud.
Dan di riwayatkan oleh Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dan al-Khathib al-Baghdadi.melalui jalur sanad dari  Ibn Abbas berkata:Rasulullah Saw bersabda :
آخر أربعاء في الشهر يوم نحس مستمر
Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya nahas (sial) terus menerus.
Tidak ketinggalan pula Imam Zakariya Al-Qozwiny[8] mengatakan: Hari rabu merupakan hari yang memiliki sedikit kebajikan, dan hari rabu pada akhir bulan merupakan hari sial yang terus menerus.
Berkaitan dengan hadis “hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari nahas/sial terus menerus” seperti yang disebutkan di atas, bahwa ternyata hadis tersebut adalah dla’if  dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum syara’  sebagaimana yang diungkap oleh al-Minawi dalam kitabnya[9] :
وروى الطبراني بسند ضعيف  يوم الأربعاء يوم نحس مستمر

Al-Thabrani meriwayatkan hadis dha’if (rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus). menurut Salim Al-Baihany[10]  hadis tersebut adalah maudhu’ (palsu). Ulama berpendapat bahwa beberapa orang perawi hadis ini adalah pendusta dan tidak bisa dipakai riwayatnya. Di antara mereka itu ialah Maslamah bin Al-Shilat, Al-Abrazi, Ibrahim bin Abu Hibbah dan Isa bin Abdullah.
Dalam kaitan ini al-Maraghiy, memberikan komentarnya dalam tafsirnya [11]
وما روي من شؤم بعض الأيّام فلا يصحّ شيء منه
Artinya : “Adapun apa yang diriwayatkan (diceritakan) sebagian orang tentang adanya sebagian hari (seperti rabu pungkasan ) yang membawa kesialan/bencana, maka cerita itu tidak benar sama sekali”.

Kedua, indikasi tidak benarnya kesialan atau bencana yang turun pada rabu akhir di bulan Shafar tersebut di buktikan dengan beberapa riwayat hadis shahih di antaranya adalah :
Riwayat Bukhari dari Abu Harairah :
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (لا عدوى ولا طيَرة، ولا هامة ولا صفر، وفِرَّ من المجذوم كما تفرُّ من الأسد).
Abu Hurairah Berkata: Rasulullah Saw bersabda : Tidak ada penularan (dalam suatu penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula keyakinan pertanda buruk,  tidak ada (kepercayaan akan sialnya) burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.(HR. Bukhari).[12]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ بَعْدُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ وَأَنْكَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ حَدِيثَ الْأَوَّلِ قُلْنَا أَلَمْ تُحَدِّثْ أَنَّهُ لَا عَدْوَى فَرَطَنَ بِالْحَبَشِيَّةِ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ فَمَا رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَه                                       

Dari Abu Hurairah ra dia berkata: Nabi Saw bersabda: "Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada shafar (kesialan bulan shafar dan tidak pula hammah (keyakinan sialnya burung hantu)." Lalu seorang Arab badui berkata: "Wahai Rasulullah, lalu bagsimana dengan unta yang ada di padang pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?" Maka Nabi Saw bersabda: "Lalu siapakah yang menulari yang pertama?" Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan:  Nabi Saw bersabda: "Janganlah (unta) yang sakit dicampur baurkan dengan yang sehat.". Sepertinya Abu Hurairah mengingkari hadits yang pertama, maka kami bertanya; "Tidakkah anda pernah menceritakan bahwa tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit)." Lalu dia bicara dengan bahasa Habasyah, maka aku tidak pernah melihatnya lupa terhadap hadis selain hadis di atas”[13].
Riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah
عن أبي هريرة قال: قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: " لاعدوى، ولاطيرة، ولا صفر، ولا هامة
Abu Hurairah berkata : Rasulullah Saw bersabda : Tidak ada penularan (dalam suatu penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula pertanda buruk,  tidak ada kesialan pada bulan Shafar dan juga tidak ada (kepercayaan akan sialnya) burung hantu.(HR. Abu Dawud).[14]
Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah menegaskan bahwa :
الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا                                                                            
Pengertian dari hadis tersebut adalah masyarakat jahiliyah meyakini akan datangnya sial pada bulan Shafar. Mereka berkata, bahwa Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi Muhammad Saw membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.[15]
            Dalam hadis tersebut, Rasulullah Saw menolak anggapan adanya penyakit yang menular (tanpa kehendaknya) dan thiyarah  seperti yang di yakini oleh masyarakat Jahiliah. Beliau secara tegas mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi kehidupan seseorang dan  thiyarah itu hanyalah anggapan dan keyakinan yang keliru. Demikian juga dengan anggapan akan terjadi pertanda buruk dengan munculnya burung hantu. Terkait dengan keyakinan kesialan atau kepercayaan terjadinya bencana pada bulan Shafar. Sabda Nabi Saw: (وَلاَ صَفَرَ) sekaligus menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Saw pun menghilangkan kebenaran anggapan tersebut dan membatalkannya, dengan menyatakan :
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
Tidak ada penularan (dalam suatu penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula keyakinan pertanda buruk,  tidak ada (kepercayaan akan sialnya) burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar.

Dengan demikian ,kita umat Islam seharusnya senantiasa bersikap  al-fa’lu (berprasangka baik) terhadap terjadinya sesuatu. Hal ini telah di tegaskan oleh Rasulullah Saw:
 لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap sial pada sesuatu) dan yang menakjubkanku adalah al fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab: "Kalimat yang baik."[16]
            Oleh sebab itu tidak ada alasan lagi untuk menyatakan bahwa rabu akhir pada bulan Shafar adalah hari yang buruk. Secara umum, rabu adalah hari yang baik untuk mengawali sesuatu terus menerus, menurut Ibn Hajar al-Asqalani bahwa anggapan hari rabu yang menjadi keluhan dan kesialan oleh kebanyakan manusia yang pesimis, pada dasarnya dinafikan oleh Allah Swt, bahkan sesuatu pekerjaan yang dimulai hari rabu maka keempurnaanlah yang akan ia dapatkan, termasuk ketika memulai proses ta’lim (belajar mengajar).[17]
           Ketiga, dalam perspektif sufi, indikasi kesialan terjadi pada rabu terakhir di bulan Shafar (rabu pungkasan).
           Di awal pembahasan penulis sudah mengemukakan bahwa Sebagian ahli ma'rifat yang memiliki kemampuan  tinggi dalam ber-mukasyafah, menyatakan bahwa pada setiap tahun, Allah Swt menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, sehingga hari itu menjadi hari yang tersulit dalam satu tahun.
           Berbicara tentang mukasyafah, tentu harus mengetahui pengertian mukasyafah itu sendiri. Kasyf secara kebahasaan berarti membuka atau menyingkap ta’bir. Sementara makna kasyf menurut istilah adalah pancaran Tuhan, yaitu pengetahuan yang diberikan Allah kepada seseorang sehingga orang itu mengetahui sesuatu tanpa proses pembelajaran dan penelitian. Para ahli hadis sejak masa Nabi sampai masa kini, tidak pernah ada yang menggunakan metode kasyf untuk membuktikan otentitas (keshahihan) hadis. Apabila metode kasyf ini dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya memilih metode ini, dan pada gilirannya hadis-hadis palsu dapat berubah menjadi hadis sahih.[18]
           Terlepas dari itu semua, tentu menarik untuk di perbincangkan akan adanya bencana yang di turunkan Allah pada rabu terakhir di bulan Shafar. Informasi ini di munculkan oleh ulama tashawuf yang memiliki spiritual tingkat tinggi dengan metode kasyf.atau mukasyafah. Namun hasil dari metode ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam hukum syara’(hujjah syara’). Menurut hemat penulis apa yang dikhabarkan oleh mereka selayaknya menjadi anjuran atau peringatan bagi setiap orang Islam untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt.
           Klaim adanya 320.000 macam bala bencana yang diturunkan oleh Allah pada hari rabu pungkasan di jelaskan dalam beberapa kitab-kitab sufi, di antaranya terdapat dalam kitab Mujarrobat karya Syaikh Ad Dairabi , Syaikh Al Buni dalam kitabnya Al Firdaus, Syaikh Al Kamil Farid al-Din dalam Kitabnya Jawahirul Khamsi, Syaikh Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds mufti sekaligus Imam Masjidil Haram Mekkah dalam kitabnya Kanzun Najah, dan juga Syaikh Muhammad bin Ismail al-Fathani dalam kitab Bahjatu al Mardiyyaħ fi Fawaidi al Ukhrawiyyah.
           Untuk menghindari bala bencana pada rabu pungkasan,  ada usaha beberapa amalan yang dapat dilaksanakan sebagai penangkal bala’, di antaranya seperti yang dikemukakan Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds.[19], dan Imam Nawawi al-Bantani.[20]
-        Shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatain 1 kali, kemudian berdoa setelah salam.
Doanya adalah :
بسم الله الرحمن الرحيم اَللَّهُمَّ ياَشَدِيْدَ اْلقَوِيِّ  وَياَشَدِيْدَ اْلمِحَالِ ياَعَزِيْزُ ياَمَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ  إِكْفِنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ ياَمُحْسِنُ ياَ مُجْمِلُ ياَمُتَفَضِّلُ ياَمُنْعِمُ ياَمُتَكَرِّمُ ياَمَنْ َلاإِلهَ إِلاَّأَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ ياَأَرْحَمَ اَّلراحِمِيْنَ. أَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَجَدِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِي شَرَّ هَذَااْليَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ ياَكَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ ياَدَافِعَ اْلبَلِيَّاتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا وَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ ولاحول ولاقوة إلابالله العلي العظيم وصلى الله تعالى على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم                                                                     
-   Menulis ayat-ayat berikut dan membasuhnya dengan air dan meminumnya
سَلامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍ رَّحِيْمٍ
سَلامٌ عَلَى نُوْحٍ فِي العِالَمِيْنَ
سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
سَلامٌ عَلَى مُوْسَى وَ هَارُوْنَ
سَلامٌ عَلَى إِلْ يَاسِيْنَ
سَلامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَالِدِيْنَ
مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الفَجْرِ
Terkait dengan pelaksanaan shalat rabu pungkasan, pernyataan berbeda di kemukakan Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad ,ia mengatakan bahwa, sholat Shafar termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat pada hari itu (bulan Shafar), hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak (shalat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangan).[21] 
Jadi bagi mereka yang ingin melaksanakan anjuran sebagian ahli marifat, untuk melaksanakan shalat rabu di akhir Shafar (rabu pungkasan) hemdaknya hanya sebatas sholat hajat lidaf’il bala’ al-makhluf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana tuntunan syara’.

Tulisan ini tidak ada kesimpulan.........
Silahkan disimpulkan sendiri !!

DAFTAR PUSTAKA
Ajaib Makhluqat,
Faidul Qadir
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Mujarrobat al-Dairabi al-Kabir
Hadis-Hadis Bermasalah
Ishlahul Mujtama’
Kanzun Najah
Lathaif al-Ma’arif
Minhaj al-Surur
Nihayatuzzain
Syarah Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah
Shahih Bukhari
Sunan Abu Dawud
Tafsir al-Jami’ li ahkami al-Qur’an
Tafsir Jami al-Bayan fi Ta’will al-Qur’an
Tafsir Ma’alim al-Tanzil
Tafsir al-Maraghi





               [1] Ahmad al-Dairabi, Mujarrobat al-Dairobi al-Kabir, hlm.74, lihat pula Abdul Hamid ibn Muhammad ‘Ali Quds, Kanzun Najah,hlm.23,
                                                                                                              
[2] Syarah Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah,juz 3,hlm.469
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar,2004)
                [4]Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li ahkami al-Qur’an (Riradh: Dar ‘Alim al-Kutub,2003.juz. xxiv,hlm.135.
[5] Al-Thabari,  Jami al-Bayan fi Ta’will al-Qur’an, (Maktabah Syamilah),juz xxii,hlm.586.
                [6] Al-Baghawi, Tafsir Ma’alim al-Tanzil, [Maktabah Syamilah].juz.vii.hlm.430.
[7] Al-Thabari,  loc.cit
[8] Zakariya Al-Qozwiny,‘Ajaib Makhluqat, hlm.115.
[9]Muhammad Abdurrauf al-Minawi, Faidul Qadir,juz 1,hlm.64.
[10] Salim Al-Baihany, Ishlahul Mujtama’ hlm.271.
[11] Al-Maraghi, juz 9,hlm.78,
[12] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari , Shahih Bukhari, (Maktabah Syamilah), hadis no:5380. Bab al-Judzam.
[13]Shahih Bukhari,hadis no: 5437.
[14] Abu Dawud al-Sijitsani, Sunan Abu Dawud, (Maktabah Syamilah), hadis no:3911.
[15] Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif,hlm.14
[16] Shahih Bukhari,hadis no: 5424.
[17] Syarah Thariqah...,op.cit,.juz iii,hlm.486.
[18] Ali Mustafa Ya’qub, Hadis-Hadis Bermasalah, (Jakarta: Pustaka firdaus,2012),hlm.79.
               [19] Kanzun Najah,hlm.23.
فمن صلى في ذلك اليوم أربع ركعات يقرأ في كل ركعة منها بعد الفاتحة سورة ﴿ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الكَوْثَر ﴾ سبع عشرة مرة و الإخلاص خمس مرات و المعوذتين مرةً مرة ويدعو بعد السلام بهذا الدعاء حفظه الله تعالى بكرمه من جميع البلايا التي تنزل في ذلك اليوم ولم تحم حوله بلية من تلك البلايا إلى تمام السنة                                                                         
Barangsiapa yang menunaikan shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatain 1 kali, kemudian berdoa setelah salam dengan (doa ini), maka Allah akan menjaganya dengan kemuliaannya dari semua malapetaka yang turun pada hari tersebut, dan tidak akan mendapatkan bala bencana sampai setahun.Doanya adalah :
و كتب بعد ذلك هذه الآيات و غَسَلها بالماء و شرب منه أَمِن مما ينزل من البلاء في ذلك النهار إلى تمام العام . و الآيات هي هذه : ﴿ سَلامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍ رَّحِيْمٍ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى نُوْحٍ فِي العِالَمِيْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى مُوْسَى وَ هَارُوْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَى إِلْ يَاسِيْنَ ﴾ ﴿ سَلامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَالِدِيْنَ ﴾ ﴿ مِّن كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الفَجْرِ ﴾ . قلتُ : و هذه الرواية هي التي كان يفعلها شيخنا رضي الله تعالى عنه و هي أحسن لعموم النفع بها للصبيان و النسوان و العبيد و نحو ذلك ممن لا يقدر على فعل شئ مما تقدم
Kemudian menulis ayat-ayat berikut dan membasuhnya dengan air dan meminumnya, maka ia akan aman dari bala` yang turun pada siang hari itu sampai sempurnanya satu tahun.Adapun ayat yang ditulis adalah (ihat atas). Aku (Abdul Hamid ibn Muhammad Ali al-Quds) berkata: Riwayat inilah yang dilakukan oleh Syaikhinaa radliyallaahu Ta’alaa ‘anhu. Dan riwayat ini lebih bagus, karena bisa dimanfaatkan secara umum untuk anak-anak, wanita, hamba dan sebagainya, yaitu bagi siapa saja yang tidak bisa melakukan apa-apa yang diterangkan pada riwayat-riwayat yang terdahulu.
[20] Al-Nawawi al-Bantani, Nihayatuzzain,hlm.64.
[21] Minhaj al-Surur,hlm.17-18.