Jumaat, 31 Mei 2013

Pemikiran Tradisionalisme dalam Pendidikan



PEMIKIRAN TRADISIONALISME DALAM PENDIDIKAN

I.                   PENDAHULUAN
            Filsafat yang dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat atau bangsa merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa termasuk aspek pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang di anut oleh suatu bangsa. Sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat itu sendiri.
            Pendidikan sebagai suatu lembaga berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem-sistem norma tingkah laku yang di dasarkan pada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat.[1] Dalam filsafat terdapat berbagai aliran, seperti progresivisme ,esensialisme, perenialisme dan rekontruksionisme dan lainnya.karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga bermacam aliran.[2]
            Pada makalah ini dibahas tentang aliran pemikiran perenialisme dan esensialisme, yang dalam konteks pemikiran pendidikan Islam terwakili oleh  aliran tradisionalisme.

II.                PEMBAHASAN
A.                Tentang Tradisionalisme
Tradisionalisme berasal dari kata latin tradere yang artinya menyerahkan, memberikan, meninggalkan.  Dari kata ini terbentuk kata benda traditio yang berarti penyerahan, pemberian, peninggalan, warisan tradisi Kata traditio inilah yang menjadi asal istilah tradisionalisme. Tradisionalisme adalah ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup. Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama, ini disebut tradisi kultural. Dapat pula berasal dari keyakinan keagamaan yang berpangkal pada wahyu ini disebut tradisi keagamaan.
Sebagai aliran etis, tradisionalisme dapat berpegang pada tradisi budaya atau kultural yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang, atau pada tradisi keagamaan yang bersumber pada wahyu keagamaan. Tradisi etis itu tampak juga dalam bahasa, seperti petuah, nasihat, pepatah, norma dan prinsip, dalam perilaku, seperti cara hidup, bergaul, bekerja, dan berbuat, serta dalam pandangan dan sikap hidup secara keseluruhan. Bentuk bahasa, perilaku, pandangan, dan sikap hidup merupakan tempat menyimpan nilai-nilai etis ,wahana pengungkapan, dan sarana mewujudkannya.[3]
                Filsafat pendidikan merupakan ilmu yang tergolong relatif masih baru. bidang ini baru berkembang pesat pada awal abad ke 20 meskipun dasar-dasarnya telah ada sejak zaman Yunani. Filsafat pendidikan muncul dalam rangka memecahkan berbagai problematika yang ada khususnya dalam bidang pendidikan. Ada beberapa aliran dalam filsafat pendidikan yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu tradisional dan kontemporer. Yang termasuk dalam kelompok tradisional adalah perenialisme dan esensialisme. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah progresivisme, rekonstruksionisme, dan existensialisme.[4]
                Sebelum mengetahui lebih lanjut tentang pemikiran tradisionalisme dalam pendidikan ,penulis ketengahkan terlebih dahulu aliran perenialisme dan esensialisme dalam filsafat pendidikan, karena pemikiran tradisionalisme lebih dekat atau terwakili oleh  perenialisme dan esensialisme, berikut ini penjelasannya :

B.                Aliran Filsafat Pendidikan
Perenialisme
Aliran ini dianggap sebagai “regresive road to culturer” yakni jalan kembali , mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau” kebudayaan yang di anggap ideal.[5] Dalam pengertian yang lain, Perenialisme memandang tradisi sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah umat manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan merupakan hakikat insaniah manusia. [6]
            Perenialisme melihat zaman sekarang sedang mengalami krisis kebudayaan karena kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Dalam rangka mengatasi gangguan kebudayaan ini maka diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan lingkungan sosio-kultural, intelektual, dan moral. Dan ini menjadi tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Regresif, merupakan salah satu langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah ini. Regresif meruapakan kembalinya kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar untuk bertingkah pada zaman kuno dan abad pertengahan.[7]
            Aliran ini memandang pendidikan bukan sebagai imitasi kehidupan, namun merupakan suatu upaya untuk mempersiapakan kehidupan. Sekolah tidak akan pernah menjadi situasi yang riil. Anak hanya menyusun dan merancang di mana ia belajar dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugas seorang anak didik adalah belajar dan merealisasikan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur dan bila memungkinkan untuk meningkatkan prestasi yang dimiliki melalui usaha sendiri.[8]
            Prinsip dasar pendidikan aliran ini adalah membantu anak didik menemukan dan menginternalisasi kebenaran abadi, karena kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan merupakan alat transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran dan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Aliran ini menilai belajar itu untuk berfikir.[9]
Esensialisme
            Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peadaban umat manusia.[10] Aliran esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia (Muhammad Noor Syam, 1988:260). Esensialisme didasari atas pandangan humanisme serba ilmiah dan materialiistik ,selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari penganut aliran idealisme dan realisme (Zuhairini,, 1995, 25).[11]
            Aliran esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama dipandang telah melakukan banyak kebaikan untuk manusia. Kebudayaan lama ini telah ada sejak masa Renaissance dan tumbuh berkembang. Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno. Aliran ini merupakan gabungan antara ide filsafat idealisme dan realisme.[12]
            Diantara prinsip-prinsip pendidikan menurut aliran esensialisme adalah :
a.      Belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras dan kadang-kadang dapat menimbulkan keseganan dan menekankan pentingnya prinsip disiplin.
b.      Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik (guru) bukan pada anak.
c.      Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari subyek materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru.
d.     Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
e.      Tujuan akhir dari pendidikan ialah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena dianggap merupakan tuntunan demokrasi yang nyata.(Uyoh Sadullah,2003:163-164 dan Burhanuddin Salam,1997:58-59).[13]
            Bertolak dari penjelasan tersebut ,maka selanjutnya penulis sampaikan model pemikiran (filosofios) pendidikan Islam, dimana pemikiran tradisionalisme ternyata lebih dekat atau terwakili oleh  perenialisme dan esensialisme. Berikut ini penjelasannya :

C.                Keterkaitan Tradisionalisme Dengan Perenialisme dan Esensialisme
            Menurut Muhaimin, pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, Abdullah (1996) mencermati adanya empat model pemikiran keislaman ,yaitu : 1) Model Tekstual Salafi; 2) Model Tradisional Mazhabi; 3) Model Modernis; dan 4) Model Neo-Modernis.[14]
            Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan model Tekstual Salafi dan model Tradisional Mazhabi yang terkait dengan pemikiran tradisionalisme.
Tekstualis Salafi
Aliran ini berusaha untuk memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah dan melepaskan diri dari atau kurang memperhatikan konteks dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya baik pada era klasik ataupun modern. Masyarakat yang diidam-idamkan adalah masyarakat salaf di era nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya. Landasan pemikiran aliran ini hanya ada dua yaitu al-Quran dan al-Sunnah dan tanpa menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Dalam menjawab berbagai tantangan zaman, aliran ini hanya menggunakan al-Quran dan al-Sunnah. Ini menunjukkan bahwa aliran ini lebih bersikap regresif dan konservatif.[15]
Jika kita lihat kepada pemikiran filsafat pendidikan, ada dua tipe yang lebih dekat dengan aliran tekstualis salafi, yaitu aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori tradisional (perenialisme dan esensialisme). Perenialisme menghendaki kembalinya kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, sedangkan tekstualis salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era Nabi dan sahabat). Namun intinya, kedua aliran ini sama-sama regresif. Adapun  esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai ini sampai kepada manusia tentunya telah teruji oleh waktu. Tektualis Salafi menjunjung tinggi nilai-nilai salaf dan perlu dilestarikan keberadaannya, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, aliran ini menyajikan kajian tentang pendidikan secara manquli, yakni memahami atau menafsirkan nas-nas tentang pendidikan dengan nas yang lain, atau dengan mengambil pendapat sahabat. Aliran ini berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tekstual-lughawi atau berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami al-Quran, hadits Nabi, dan perkataan sahabat, serta memperhatikan praktik pendidikan pada era salaf, untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai tersebut hingga saat ini. Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perenial-tekstualis salafi dan sekaligus esensial-tekstualis salafi. Untuk menyederhanakan model ini, maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi.[16]
Tradisionalis Madzhabi
Aliran ini berupaya memahami ajaran dan nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun tidak begitu memperhatikan keadaan sosio-historis masyarakat setempat di mana ia hidup di dalamnya. Hasil pemikiran para ulama terdahulu dipandang sudah pasti tanpa melihat sisi historisnya. Masyarakat ideal bagi aliran ini adalah masyarakat muslim era klasik, di mana menganggap bahwa semua persoalan agama telah dikupas tuntas oleh para ulama terdahulu. Mereka bertumpu kepada ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tentang ketuhanan, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Kitab kuning menjadi rujukan pokok aliran ini.
Aliran ini menonjolkan akan wataknya yang tradisional dan madzhabi. Tradisional ditunjukkan dalam bentuk sikap, cara berpikir, dan bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai, norma, dan adat kebiasaan yang telah turun temurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio historis dengan berubahnya masyarakat dan zaman. Watak madzhabi dari aliran ini diwujudkan dalam kecenderungannya mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin yang dianggap sudah relatif mapan pada masa sebelumnya.[17]
Dengan ketradisionalan dan kemadzhabannya, aliran ini dalam pengembangan pemikiran filsafat pendidikan Islam lebih menekankan pada pemberian penjelasan dari materi-materi pemikiran para pendahulunya tanpa adanya perubahan substansi pemikiran pendahulunya. Pendidikan Islam dengan model ini berupaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya serta praktik sistem pendidikan terdahulu dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan zaman yang dihadapinya. Melihat wataknya yang sedemikian itu, aliran ini juga lebih dekat dengan perennialism dan essensialism, karena wataknya yang masih regresif dan konservatif. Aliran ini disebut tipologi perenial-esensial madzhabi.
Aliran ini membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap khazanah pemikiran Islam terdahulu, baik dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum, hubungan guru murid, metode pendidikan, sampai kepada lingkungan pendidikan yang dirumuskan.
Berbeda dengan aliran yang pertama, aliran ini lebih menghargai hasil yang telah diciptakan oleh pendahulunya. Karena aliran ini masih menganggap dan menggunakan sistem pendidikan yang digunakan oleh masa sebelumnya dan hal itu dirasa baik. Namun di sini masih ada sikap tertutup dari aliran ini yang tidak menerima hal-hal yang baru, dan menurut hemat penulis, sikap ini  yang kurang bijak karena apapun di dunia ini selalu berubah. [18] 

D.                Implikasi Pemikiran Tradisionalisme Terhadap Pendidikan
 Perenial-Esensialis Salafi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan era salaf (era kenabian dan sahabat). Pendidikan diorientasikan kepada penemuan dan internalisasi kebenaran masa lalu yang dilakukan oleh anak didik, menjelaskan dan menyebarkan warisan salaf melalui inti pengetahuan yang terakumulasi dan telah berlaku sepanjang masa dan penting untuk diketahui semua orang.[19]
Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin agama, kitab-kitab besar, kembali kepada hal-hal yang mendasar, serta mata pelajaran kognitif yang ada pada era salaf. Dalam kurikulum pendidikan agama Islam bidang akidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain), atau membaca al-Quran yang dimaksudkan untuk melestarikan dan mempertahankan, serta menyebarkan akidah dan amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan yang dilakukan para salaf.
            Metode pembelajran yang dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur. Evaluasi menggunakan ujian-ujian objektif terstandarisasi, dan tes kompetensi barbasis amaliah. Guru memliki otoritas tinggi yang paham akan kebijakan dan kebenaran masa lalu dan tentunya ahli dalam bidangnya.[20]
Perenial-Esensialis Madzhabi
Tipologi ini menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan memiliki kecenderuangan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin serta pemahaman pemikiran-pemikiran masa lampau yang dianggap sudah mapan. Pendidikan Islam berfungsi melestarikan dan mengembangkannya melalui upaya pemberian penjelasan dan catatan-catatan dan kurang ada keberanian untuk mengganti substansi materi pemikiran pendahulunya. Di sini pendidikan Islam lebih dijadikan sebagai upaya untuk mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.[21]
Pendidikan berorientasi pada upaya murid untuk menemukan dan menginternalisasi kebenaran-kebenaran sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik. Menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai, dan pemikiran para pendahulu yang dianggap mapan secara turun temurun. Pengembangan kurikulum ditekankan pada doktrin-doktrin dan nilai agama yang tertuang dalam karya ulama tedahulu mengenai hal-hal yang esensial serta mata pelajaran kognitif yang ada pada masa klasik. Sama seperti aliran sebelumnya namun aliran ini hanya memberikan penjelasan atas pemikiran pendahulunya dan dianggap menyeleweng jika tidak sesuai dengan pendapat pendahulunya. Metode yang digunakan adalah ceramah, dialog, perdebatan dengan tolok ukur pandangan imam madzhab, dan pemberian tugas. Manajemen dan lain sebagainya sama dengan aliran sebelumnya.[22]

III.             KESIMPULAN
            Aliran pendidikan yang termasuk dalam kategori pemikiran tradisionalisme  adalah  (perenialisme dan esensialisme). Dalam pemikiran filsafat pendidikan Islam disebut  aliran tekstualis salafi, untuk menyederhanakan model ini, maka dapat kita sebut dengan istilah perenial-esensial salafi, dan tradisionalis madzhabi atau di sebut perenial-esensial madzhabi.

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Djumransjah ,M, Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan ,Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,2011.
Khobir,Abdul , Filsafat Pendidikan Islam ,Pekalongan: Stain Press,2009.
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003.


  [1] Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,2011),hlm.19.
[2] Abdul Khobir,Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: Stain Press,2009),hlm.45.
[4] M. Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm, 175-176.
[5] Abdul Khobir, op.cit.,hlm.62.
[6] Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), hal. 158
[7] M. Djumransjah,op.cit.,hlm.187
[8] Muhmidayeli,op.cit,hlm.163.
[9] Ibid,hlm.164.
   [10] Jalaluddin, Abdullah Idi, op.cit.,hlm.95.
[11] Abdul Khobir,op.cit.,hlm.56.
[12] M. Djumransjah, op. cit., hal. 181
[13] Abdul Khobir,op.cit.,hlm.59-60.
  [14] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003),hlm.50.
 [15] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Jakarta; PT Grafindo Persada, 2005), hal. 88-89.
[16] Ibid,hlm.90.
[17] Ibid,hlm.91.
[18] Ibid,hlm.92-93.
[19] Ibid,hlm.126
[20] Ibid,hlm.127
[21] Ibid,hlm.127.
[22] Ibid,hlm.128.

Epistemologi Ilmu Sains



EPISTEMOLOGI ILMU SAINS

I.              PENDAHULUAN
Manusia mempunyai ciri istimewa ,yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.[1] Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata di butuhkan panca indera, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menterjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan.[2]
Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia ? Apakah kita mempunyai pengetahuan menganai kodrat sebagaimana adanya ? Sikap skeptis inilah yang mengawali munculnya epistemologi.[3]
Harapan penulis makalah ini dapat mengungkap tentang epistemologi ilmu yakni berkaitan dengan sumber pengetahuan dan bagaimanakah cara untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri.

II.                PEMBAHASAN
A.                  Pengertian  Epistemologi
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun. Nanti ,tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak sekali sementara kawannya yang berumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak daripada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu ? mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya ? Hal-hal semacam ini di bicarakan didalam epistemologi.
Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, strcture,methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854 (runes, 1971:94).[4]
Menurut DW. Hamlyn, sebagimana yang dikutip Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu, epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[5]
Menurut Waryani Fajar Riyanto, filsafat ilmu sendiri adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah.[6]
Pembahasan epistemologi bersangkutan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Pembicaraan tentang hakikat pengetahuan ini ada dua teori. Teori pertama yang disebut dengan realisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Jadi, pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan.[7]

B.            Pengertian Ilmu (Sains)
Kata “’ilm” merupakan terjemahan dari kata “science” yang secara etimologis berasal dari kata latin “scienre” artinya “to know”. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif.[8]
Berikut ini beberapa devinisi tentang ‘ilmu yang disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut ‘Abd al-Jabbar dari Mu’tazilah, ‘ilmu adalah “apa yang menghasilkan ketenangan jiwa,kesejukan dada dan ketentraman hati”; Bazdawi dari Maturidiyah mendevinisikan ‘ilmu sebagai  “menangkap objek ilmu sesuai dengan kenyataannya”; Jurjani, ‘ilmu adalah i’tiqah yang pasti dan sesuai dengan realitas objek; Juwaini dan Baqilani (keduanya dari Asy’ariyah) dan Abu Ya’la (dari Hanbaliyah) sebagai, ‘ilmu adalah mengetahui objek ilmu  sesuai realitasnya’; Ibn Hazm, ‘ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana realitasnya sendiri , dan lain-lain.
            Menurut  Waryani Fajar Riyanto, istilah ‘ilm dalam tradisi Islam dan science dalam tradisi barat tidaklah identik. Istilah “sains” atau (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia barat sejak beberapa abad. Di sana “sains” dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern-berbeda dengan kebanyakan bahasa lain-untuk membedakan science, sebagai istilah yang di pakai untuk ilmu pengetahuan alam atau “ekstra” (pasti) ,dari berbagai cabang pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora.[9]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dikutip Amsal Bakhtiar, ilmu disamakan dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya ,kita dapat mengetahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.[10]
Kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intiusi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi ,kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji, sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (‘ilm) berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, jadi ,ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika (Kartanegara,2003).[11]

C.           Epistemologi Ilmu
Sesuai dengan cakupan filsafat ilmu, maka pada bagian ini kita pahami epistemologi ilmu ,yakni menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan obyek ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam memperoleh ilmu, dan validitas atau cara mengukur benar tidaknya ilmu.

1.             Obyek Ilmu
            Ada orang yang ingin tahu dan berusaha memuaskan keinginannya itu lebih mendalam. Ia ingin tahu akan hal yang dihadapinya dalam keseluruhannya, tidak hanya memperhatikan gunanya saja, bahkan sekiranya tidak berguna , masih diselidikinya juga. Tidak puas akan sifat air yang mendidih juka dipanasi , diselidikinya pula bagaimanakah air itu ? unsur dasarkah ,atau paduan dari beberapa unsur. Apakah unsur-unsur dari air itu ? jika dipanasi memang mendidih , apakah syarat yang sebenarnya, berapakah tinggi suhu yang harus diadakan, serta syarat apa lagi yang mendidihkan air itu pada ketinggian suhu tersebut ? obyek air itu diselidiki sepenuhnya. Lepas dari gunanya bagi diri sendiri, sejarah membuktikan bahwa ada kelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui yang mendalam atas suatu obyek.[12]
            Jujun S. Suriasumantri (1994) menyatakan bahwa obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.
            Sepanjang dapat diketahui secara empiris, maka semua gejala apa saja dapat diteliti dan apabila hasil uji cobanya meminculkan teori, kemudian teori-teori tersebut dikelompokkan ,maka pada hakikatnya akan menjadi ilmu dan struktur ilmu, baik cabang-cabang ilmu maupun isi masing-masing ilmu itu sendiri, obyek yang menjadi kajian ilmu, meskipun bersifat spesifik tetapi tentulah sangat luas, dalam hal ini dapat saja berupa alam itu sendiri maupun penghuninya seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[13]
            Seorang ingin mengetahui jika jeruk di tanam ,apa buahnya. Ia menanam bibit jeruk,ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa jeruk berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sains (scientific knowledge), sebenarnya pengetahuan sains tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika juga. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Namun pada dasarnya pengetahuan sains tetaplah suatu pengetahuan yang berdasarkan bukti nyata (bukti empiris). Dalam bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains ini mempunyai paradigma dan metode tertentu ,dan paradigmanya dapat disebut paradigma positif (positifistic paradigma) dan metodenya  di sebut metode ilmiah (scientific method).[14]

2.             Cara Memperoleh Ilmu
Ada beberapa cara dan sekaligus tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Secara sederhana dapat kita cermati sebagai berikut :
a.  Menggunakan akal
            Mengapa manusia dalam mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan perlu menggunakan akal ? setidaknya ada dua alasan yang mendasari mengapa akal dipergunakan untuk mendapatkan ilmu, yakni sebagai berikut :
1). Akal telah dianggap mampu untuk mendapatkan ilmu, dan telah terbukti sepanjang sejarah perkembangan manusia sekaligus perkembangan ilmu pengetahuan.[15]
Akal atau rasionalitas menempati posisi yang tinggi dalam etika Islam. Nashiruddin al-Thusi menyebut akal sebagai kesempurnaan atau kamaliyah (entelechy) manusia. Pada akallah terletak esensi manusia yang membedakannya dari jenis hewan lainnya, bagi mereka. Akal mempunyai kecakapan kognitif sehingga mampu menyerap entias-entias ma’kulat (rohani) membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah.[16]
2). Akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama , yakni berupa logika. Termasuk dalam kaitan ini, maka dalam filsafat lahirlah rasionalisme yang berpandangan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Bila logis ,maka benar, bila tidak logis maka tentu salah, yang selanjutnya perlu dicari dimana letak ketidak sesuaiannya.[17]
            Orang- orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat indera tadi, dapat dikoreksi seandainya akal di gunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil karena bayangannya yang jatuh dimata kecil, kecil karena jauh. Gula pahit bagi orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak normal. Fatamorgana adalah gejala alam, begitulah seterusnya.[18]
Karena pada kenyataannya seringkali hasil simpulan akal pada hal-hal tertentu juga tidak akurat ,mengingat keterbatasannya, sehingga diperlukan alat lain, yaitu :
b. Berdasarkan empirik
            Untuk mengatasi kelemahan rasional,disamping logis, maka diperlukan bukti empirik, bukti empirik merupakan fakta yang dapat di indra, baik dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan atau yang lainnya. Contoh: rasio orang awam susah memahami adanya ilmu santet, tapi kenyataannya ada, dan dapat dibuktikan . misalnya dalam perut seseorang setelah di operasi terdapat benda logam bahkan tajam. Oleh ahlinya kejadian demikian dapat dijelaskan secara rasio, dan oleh orang yang mau memikirkannya dapat menerima karena masuk akal. Tetapi tetap susah bagi orang awam dan yang tidak mau menelusuri atau mempelajari lebih lanjut.
c. Terukur
Mengingat empirik baru pada batasan umum,yakni menyangkut misalnya : besar, sedang, dan kecil, atau dingin, hangat, dan panas. Pada pengkategorian tersebut belum ada ukuran seberapa besar dan panasnya. Untuk itu tentu diperlukan ukurannya, berapa drajat panasnya, berapa mili meter besarnya, dan sebagainya. Inilah sumbangan aliran positivisme yang menyatakan: ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya, dan yang terukur. Tapi bagaimana cara mengukurnya agar didapat simpulan yang akurat atau paling tidak mendekati ?.[19]
Tokoh aliran ini ialah August Compte (1798-1857). Ia penganut empirisisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas di ukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan meteran, berat di ukur dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan sebagainya.
Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketika panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas ,tidak panas, kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar di mulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur “Terukur” itulah sumbangan positivisme.[20]
d. Metode ilmiah
            Metode ilmiah menyatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar ,maka sekali lagi di tegaskan –lakukan langkah sebagai berikut : logico-hypphothetico-verificatif, yang berarti :buktikan bahwa itu logis, selanjutnya ajukan hipotesis tersebut secara empiris. Secara rinci dan operasional, metode ilmiah dijelaskan oleh bidang ilmu yang disebut metode riset atau metode penelitian yang menghasilkan model-model penelitian dari hasil operasional , model-model peneletian inilah yang menghasilkan berbagai teori dan ilmu pengetahuan.

3.             Mengukur Kebenaran Ilmu
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori. Pada awalnya kita mengajukan hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji secara logika,contoh: “Ketika datang hari raya idul fitri, kebutuhan masyarakat Indonesia secara umum terhadap sandang dan pangan akan meningkat”. Menurut teori bahkan hukum ekonomi (penawaran dan permintaan),hipotesis ini lebih cenderung benar, karena itu tentu akan ada pihak-pihak yang berkesempatan untuk meraih keuntungan yang banyak. Secara uji logika , momentum idul fitri akan meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok, menjadi suatu hal yang rasional, dan luluslah ia.
Untuk meyakinkannya maka adakan peninjauan ke pasar-pasar dan tanyakan pada para pedagang dan pembeli tentang perkembangan harga-harga tersebut. Bila ternyata benar, uji empiris atau pengalaman lapangan menunjukan demikian, maka hipotesis secara logika dan empirik benar adanya, kemudian menjadi teori. Dan jika demikian terjadi pada setiap moment idul fitri, maka teori meningkat menjadi hukum atau aksioma.
Dengan demikian hipotesis yang kita rumuskan hendaknya telah mengandung kebenaran secara logika, sehingga kelanjutannya tinggal kebenaran empirisnyalah yang perlu dibuktikan. [21]
Sebagai analisa dari makalah ini,  Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan bahwa  pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik, pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Tiga macam pengetahuan manusia ,masing-masing jelas paradigmanya, metodenya, dan objeknya ,jadi jelas bedanya dan jelas kaplingnya.  Tabel pengetahuan manusia berikut bermaksud meringkaskan pengetahuan itu. [22]

Pengetahuan Manusia
Macam pengetahuan
Objek
Paradigma
Metode
Ukuran

Sains

Filsafat

Mistik





Empiris

Abstrak logis
Abstrak Supralogis

Positivisme

Logis

Mistis

Sains

Rasio

Latihan Mistik

Logis dan empiris

Logis

Rasa, yakin, kadang-kadang empiris

III.             KESIMPULAN
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcme yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni :epistemology dan ontology (on= being, wujud, apa + logos = teori), ontology (teori tentang apa).
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan  dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ,ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang emperisme-positivesme ,sedangkan ilmu melampainya dengan non empirisme seperti metamatika dan metafisika.
Obyek kajian ilmu hanyalah obyek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia, yaitu semua obyek yang empiris, yang dapat di indera. Tahapan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. a)  Menggunakan akal, b) Berdasarkan empirik, c) Terukur, d) Metode ilmiah.
Bila kita hendak mengukur kebenaran ilmu, pada intinya kita mengukur kebenaran teori,karena isi dari ilmu adalah teori-teori.

IV.             DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu,  Jakarta :PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Kartanegara,Mulyadi ,Nalar Religius , Jakarta: Erlangga,2007.
Maifur, Filsafat Ilmu,  Bandung: CV.Bintang WarliArtika, 2008.
Riyanto,  Waryani Fajar, Filsafat Ilmu Integral [FIT},Yogyakarta:2012.
Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian,   Yogyakarta: Andi,2007.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat ,Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum , Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004.
Zar, Sirajuddin ,Filsafat Islam ,Jakarta: PT.RajaGrafindo ,2004.




[1] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  Filsafat Ilmu  dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi,2007),hlm.6.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta: PT.RajaGrafindo) ,2004,hlm7.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.149.
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004),hlm.23.
[5]Amsal Bakhtiar, op.cit.,hlm.148.
[6]Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral [FIT},(Yogyakarta:2012), hlm.567.
[7] Sirajuddin Zar, loc.cit.
[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT.Bumi Aksara,2008),hlm.9.
[9] Waryani Fajar Riyanto, op.cit., hlm.37-38.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta :PT RajaGrafindo Persada,2004),hlm.89.
[11] Waryani Fajar Riyanto, op.cit.,hlm.566.
[12] Soetriono & SRDm Rita Hanafie,  opcit.,hlm.12.
[13] Maifur, Filsafat Ilmu,(Bandung: CV.Bintang WarliArtika,2008),hlm.69-70.
[14] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.16.
[15] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[16] Mulyadi Kartanegara, Nalar Religius (Jakarta: Erlangga,2007),hlm.48.
[17] Maifur,op.cit.,hlm.70.
[18] Ahmad Tafsir, op.cit.,hlm.25.
[19]Maifur,op.cit.,hlm.71.
[20] Ahmad Tafsir,op.,cit.,hlm.26.
[21] Maifur,op.cit.,hlm.71-72.
[22] Ahmad Tafsir,op.cit.,hlm.17-18